6. Apakah Sekadar Pengalihan

1421 Kata
Malia meralat isi kepalanya yang mengatakan kalau selama beberapa hari ini ia hanya mendapatkan perlakuan aneh dari anak keluarga Brighton. Faktanya, ia menyaksikan dan mendengar sendiri perselingkuhan anak dan ibu tiri tersebut. Perut Malia tiba-tiba merasa mual mengetahui semua itu. Alex dan Elizabeth benar-benar hina di matanya. Malia tiba sore hari di rumahnya dan mendapati pintu rumah itu terkunci. Sambil berusaha menghubungi Genta melalui ponselnya, Malia duduk di bangku kayu di teras. Malia nyaris putus asa ketika Genta tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Namun, kegelisahannya hanya berlangsung kurang dari sepuluh menit. Deru mesin sepeda motor memasuki pelataran rumah sederhananya. Genta segera turun dari motor matic-nya lalu melepaskan helm. Sambil berjalan menuju beranda yang hanya berjarak beberapa meter saja dari halaman, pria berjaket kulit cokelat itu melayangkan tanya kepada Malia. “Sudah lama nunggu?” “Belum, Mas. Paling baru sepuluh menitan saja.” Genta membuka kunci dan mendorong daun pintu sampai terbuka lebar. Dia membiarkan Malia masuk lebih dulu sementara dia membuka sneakers putihnya. Pria itu langsung ngeluyur masuk ke ruang makan sekaligus dapur untuk mengambil segelas air minum. Ia lalu kembali ke ruang tamu dan duduk di samping Malia yang saat itu sedang menonton TV. “Gimana kerjaan kamu?” tanyanya. “Baik, Mas. Masih aman dan lancar.” Malia mengubah posisi duduknya sedikit miring hingga bisa melihat jelas wajah kakaknya. Perasaan sedih menyelusup ke dalam dirinya melihat garis-garis lelah di wajah Genta. Sedari kecil, kakaknya itu telah berjuang sangat keras untuk bisa menghidupi keluarga mereka. Hidup tanpa seorang ayah membuat Genta lebih cepat dewasa dan memiliki tanggung jawab yang besar. “Apakah Mas baru menjenguk Ibu?” Genta meneguk air putih dinginnya sampai setengah gelas. Pria itu kemudian mengembus napas sebelum menjawab pertanyaan Malia. “Iya.” “Bagaimana keadaan Ibu, Mas?” “Keadaan Ibu masih sama.” Genta meletakkan gelasnya di atas meja di depan sofa. “Kamu kapan mau menjenguk Ibu? Apakah kerjaan kamu sekarang nggak ada libur?” “Setiap weekend aku dikasih libur, Mas. Satu hari. Mungkin minggu depan aku akan menjenguk Ibu. Hari ini aku membantu ART lain. Aku nggak enak mau libur, baru beberapa hari kerja sudah libur.” Genta mengarahkan pandangannya pada Malia. “Kamu nggak boleh mengabaikan Ibu. Bagaimanapun kondisinya, Ibu adalah ibu kita. Ibu memang sakit dan mungkin tidak mengenali kita lagi, tapi Ibu tetap butuh dukungan kita.” “Aku tahu, Mas. Aku tidak bermaksud mengabaikan Ibu. Aku hanya ingin bekerja dengan baik sehingga aku bisa membantu Mas memenuhi biaya pengobatan Ibu.” “Aku kan sudah bilang kalau biaya pengobatan Ibu, biar aku yang menanggungnya,” sambar Genta sedikit kesal dengan kekerasan hati adiknya. “Mas, sampai kapan Mas akan mengabaikan hidup Mas sendiri? Teman-teman Mas sudah pada menikah dan punya anak, tetapi Mas masih saja sibuk mengurusi aku dan Ibu. Biarkan aku ikut membantu Mas. Aku tidak mau selamanya menggantungkan semua kebutuhan Ibu kepada Mas. Kita berbagi, oke?” Genta berdecak kesal. Adiknya itu memang keras kepala. Namun, ada baiknya jika Malia mau berbagi tanggung jawab karena itu tandanya dia berhasil mendidik Malia menjadi orang yang tahu dan sadar akan tanggung jawab. “Terserah kamu saja. Namun, kamu jangan memaksakan diri kalau kamu sudah merasa lelah. Aku tidak mampu kalau harus membiayai pengobatan dua orang sekaligus.” Malia tersenyum senang kekerasan hati kakaknya akhirnya mencair. Wanita berhidung mancung itu meletakkan tangannya yang terbuka di samping pelipis memberi hormat. “Siap, Ndan!” Genta mengacak rambut Malia setengah gemas. Adiknya itu paling susah dilarang. “Awas, jangan buat yang aneh-aneh. Kerja yang lempeng-lepeng aja.” “Iya, Masbro,” canda Malia sambil tertawa kecil. “Kamu sudah makan?” Malia menggeleng. “Kalau begitu, kita makan pecel lele di depan yuk! Aku juga belum makan dari pagi.” “Ditraktir?” Mata berbinar-binar. “Memangnya kamu punya duit? Lagakmu, Dek.” Genta mencebik. Sebelum bangkit berdiri, Genta kembali berucap, “Kamu kan bekerja untuk crazy rich The Brighton. Hati-hati. Gosip tentang mereka, ibu dan anak sambungnya itu, mulai beredar lagi. Kalau wartawan gosip tahu kamu kerja di rumah mereka, kamu bisa diburu para pencari gosip itu.” Dahi Malia mengernyit. Kuriositas mendadak berkembang pesat di otaknya. “Memangnya ada gosip apa lagi tentang mereka?” “Aku tidak tahu. Aku tidak suka bergosip, tapi para perawat di rumah sakit tadi membicarakan pasangan anak dan ibu tiri The Brighton itu. Mendadak, aku jadi teringat kamu.” Malia tidak ingin menduga-duga, tetapi jika benar ada gosip baru tentang Elizabeth dan Alex ... mungkinkah apa yang dia dengar tadi pagi ...? Tidak mungkin, pikir Malia. *** Tadinya Malia akan kembali ke rumah keluarga Brighton besok pagi, tetapi ia khawatir akan tiba terlambat di sana. Senin adalah hari yang sibuk untuk semua orang. Malia tidak berani mengambil risiko. Kecakapannya bekerja sedang dipertaruhkan. Diantarkan Genta, Malia tiba di rumah keluarga Brighton sekitar jam 9 malam. Wanita itu berjalan tergesa-gesa menuju ke area kamar ART. Lampu kamar Tina dan Mbok Bar sudah gelap. Kedua rekannya itu tampaknya sudah tidur. Malia pun segera masuk ke kamar lalu menukar pakaian kasualnya dengan piama. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit. Peringatan Genta kembali mengiang di telinga dan dengan cepat menimbulkan kekepoan luar biasa. Bangkit untuk duduk, Malia meraih ponselnya lalu berselancar ke dunia maya untuk mencari tahu tentang gosip yang dibicarakan Genta tadi. Beberapa saat kemudian Malia dikejutkan oleh hasil tangkapan kamera para pencari gosip. Ia menutup mulutnya dengan tangan sementara matanya yang melebar terfokus ke layar ponsel. Apa yang didengarkannya sambil sembunyi-sembunyi tadi pagi ternyata teralisasi. Foto-foto Elizabeth dan Alex saat mereka berada di lobi hotel sudah beredar luas. Beberapa puluh menit bergelut dengan dunia pergosipan membuat tenggorokan Malia kering kerontang. Ia butuh minum dan bodohnya, karena tergesa-gesa ingin masuk kamar, ia melupakan kebiasaannya membawa air minum ke kamar. Malia terpaksa turun lagi dari tempat tidur. Dengan langkah malas, ia pergi ke dapur. Malia sengaja tidak menyalakan lampu lantaran pantulan cahaya dari ruang makan masih sedikit menerangi dapur. Malia segera mengisi gelasnya dengan air putih dari dispenser. Di saat Malia hendak berbalik, Malia dikejutkan oleh Alex yang saat itu sudah berdiri di hadapannya. Kaget menyengat Malia dalam sekali waktu. Untung saja gelas yang berada dalam genggamannya tidak jatuh. Namun, efek keterkejutan itu membuat tubuhnya sedikit gemetaran. Malia kemudian menekan d**a dengan satu tangannya yang bebas demi bisa menenangkan diri. “T-Tuan ...,” ucapnya lirih sambil berusaha mengatur napas. “Kamu pulang dengan siapa tadi?” Malia mengernyitkan dahi. Pertanyaan Alex tidak ada relevansinya dengan pekerjaan Malia di sana. Kepo juga nih cowok. “Saya pulang diantar kakak saya,” jawab Malia. “Benarkah?” Alex melangkah lebih dekat ke Malia. Tatapannya berkilat tajam seperti hendak menerkam mangsa. Menyadari sang tuan memperpendek jarak di antara mereka, Malia pun berusaha mundur. “Seharian ini kamu ke mana saja?” tanya Alex lagi. “Saya pulang ke rumah saya,” balas Malia sambil terus mundur sampai langkahnya tertahan oleh dinding pembatas antara dapur dan ruang makan. “Hanya pulang ke rumah?” Dalam waktu cepat Malia mengobservasi sikap dan pertanyaan Alex. Alex tidak sekadar berbasa-basi, tapi dia sedang menginterogasi. Apakah pria itu sedang mencurigai dirinya? Tapi, curiga untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mendadak bermunculan di kepala Malia. Tanpa Malia sadari kedua tangan Alex sudah berada di samping lengannya, menekan ke dinding, dan mengurungnya. Alex berhasil memerangkapnya dalam ketakutan. “Tuan mau apa?” Mata Malia melebar penuh kewaspadaan. Alex mencondongkan tubuh ke depan. Seperti adegan gerak lambat dalam film, wajah Alex perlahan-lahan mendekat ke wajah Malia. Ujung hidungnya hampir menempel ke ujung hidung Malia. Dan ketika Malia membuka bibirnya untuk bicara, Alex menghentikannya dengan ciuman. Ciuman seringan bulu yang beterbangan itu langsung membekukan Malia. Selama sesaat Malia terguncang oleh rasa kaget. Sentuhan bibir Alex di bibirnya pun terasa seperti sengatan yang membuat jantungnya berhenti berdetak. Rasa tidak aman dalam dirinya membangun sikap impulsif. Wanita itu menjatuhkan gelas dalam genggamannya hingga terdengar suara prang yang cukup kencang. Ia lalu menekan d**a Alex dengan kedua tangan dan mendorongnya sekuat tenaga. “Apa Tuan tidak cukup dengan Nyonya Elizabeth sampai harus melecehkan pelayan?” sindirnya dengan ketus. Niatnya hanya bekerja, bukan mencari perkara. Pelecehan sekecil apa pun yang berlaku pada dirinya, Malia tidak akan terima. Alex mengernyitkan dahi. Matanya yang menyipit dan berkilat tajam terfokus ke mata Malia. “Kamu pikir aku pecinta wanita tua? Ternyata cara berpikirmu sama saja dengan para penggosip itu.” Malia tertegun. Ia kesal dengan sikap Alex, tetapi ia juga bingung lantaran Alex tidak mengakui gosip itu. Atau, mungkin Alex melakukan semua ini kepadanya hanya untuk mengalihkan tuduhan yang sedang beredar? Entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN