Diliputi perasaan yang bercampur aduk, Malia kembali ke kamarnya. Setelah membersihkan diri dan berbaring di atas ranjang, Malia memaksakan diri untuk memejam. Namun, malam itu Malia terbebani teka-teki yang tidak terpecahkan.
Mata Malia masih terasa lengket ketika bunyi alarm memenuhi telinga dan memaksanya bangun. Ia tercengang melihat angka jam yang tertera di layar ponselnya. "Ya, ampun! Jam 7!"
Sial. Ia terus menyumpahi dirinya sendiri lantaran salah mengatur waktu alarm. Secepatnya ia membersihkan diri dan mengenakan seragam. Tidak sempat memakai bedak apalagi lipstik, Malia segera berlari ke dapur. Di sana, ia melihat Mbok Bar sedang duduk santai sambil menikmati teh hangat. Jika Mbok Bar sudah santai, artinya semua keluarga Brighton sudah selesai sarapan. Oh, dobel sial.
"Apakah Alex ... maksud saya, Tuan Alex sudah turun, Mbok?" tanya Malia sambil berusaha mengatur napas dan mengadu keberuntungan barangkali saja nasib baik masih memihaknya.
"Tuan muda, Tuan Darius, dan Nyonya semuanya sudah turun," balas Mbok Bar sebelum menyuapkan sepotong roti lapis ke mulutnya.
"Mampus." Sebuah umpatan lolos dari mulut Malia tanpa sadar. Malia lalu menepuk dahinya.
"Ora usah nesu," kata Mbok Bar dalam bahasa Jawa.
"Saya nggak marah, Mbok. Mm, saya marah sama diri saya sendiri, Mbok. Saya telat bangun. Salah ngatur alarm." Malia mengembus napas pasrah. Baru beberapa hari bekerja, ia sudah telat bangun.
"Duduk dulu," kata Mbok Bar.
Rona panik mewarnai wajah oval Malia. Dadanya kembang kempis dengan cepat seiring ketakutan yang merengkuh dirinya. "Saya pasti akan dipecat, Mbok."
"Duduk dulu," kata Mbok Bar lagi.
Malia akhirnya memutuskan untuk duduk di seberang meja, berhadapan dengan Mbok Bar. Bahunya terasa lemas, begitupun seluruh tubuhnya. Ia hanya bisa menunduk.
"Mereka sedang berada di kolam renang. Tidak masalah kamu bangun siang. Toh, hari ini kan weekend."
"Apa, Mbok?" Malia mengangkat wajahnya menatap Mbok Bar penuh antusias.
"Hari ini hari libur. Seluruh asisten juga boleh libur."
Malia mengembus napas lega. Bodoh sekali ia tidak menyadari kalau hari itu adalah hari Minggu. "Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong, Mbak Tina ke mana, Mbok?"
"Tina sedang belanja ke Tanah Abang. Dia mau kirim baju buat saudara-saudaranya di kampung."
"Mbok Bar tidak ke mana-mana?"
"Saya nggak bisa ke mana-mana. Setiap weekend saya lembur."
Tiba-tiba interkom yang melekat di dinding di samping pintu dapur berbunyi menginterupsi obrolan mereka. Mbok Bar segera bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian wanita itu sibuk menyiapkan tiga gelas minuman.
"Biar saya saja yang membawanya ke sana, Mbok." Malia menawarkan bantuannya.
"Kamu mau?"
"Iya, Mbok. Biar saya saja." Malia dengan cekatan meraih baki berisi tigas gelas minuman yang telah dibuat Mbok Bar.
"Ya, sudah. Hati-hati."
Dengan hati-hati Malia membawa baki itu ke kolam renang. Sebenarnya, niat Malia hanya ingin melihat reaksi ahli waris satu-satunya keluarga Brighton ketika melihatnya lagi, apakah dia akan bereaksi sama seperti semalam atau tidak?
Namun, apa yang menjadi pertanyaan Malia akhirnya terjawab dengan sikap cuek Alex. Reaksi Alex terlihat biasa saja saat melihatnya. Sama seperti ketika pria itu menemuinya di sini, di taman ini semalam. Ia bahkan terkesan tidak menganggap keberadaan Malia. Aneh.
Ada kekosongan dalam hati Malia ketika melihat keanehan sikap Alex Brighton. Beralasan untuk pergi ke kamarnya pada Mbok Bar, Malia diam-diam menyelinap masuk ke dalam rumah ke kamar Alex. Penyelidikannya berhenti di jendela besar yang masih terutup tirai. Malia membuka sedikit tirai dan dari sana ia mengamati gerak-gerik keluarga Brighton yang tengah bermandikan sinar matahari pagi di kolam renang. Mereka—keluarga brighton—tampak akrab satu sama lain. Berbeda dengan semalam di mana seluruh anggota keluarga itu tampak kaku dan menjaga jarak satu dengan yang lainnya.
Ada apa dengan mereka? Ah, mungkin mereka sudah berbicara dari hati ke hati semalam, makanya sekarang mereka terlihat lebih akrab.
Pagi itu Malia tidak mendapatkan apa-apa selain pertanyaan yang masih bersarang di kepalanya. Untuk menghibur diri, ia kembali ke dapur untuk membantu Mbok Bar.
"Kamu tidak pulang? Rumahmu dekat kan dari komplek perumahan ini?" tanya Mbok Bar sambil menyiapkan salad di piring keramik ceper.
Malia mengambil satu piring kosong lagi dari dalam lemari gantung dan meletakkannya di sisi piring yang sedang diisi salad oleh Mbok Bar. "Saya baru bekerja beberapa hari, Mbok. Masa langsung libur."
"Coba saja tanya ke Nyonya, apa kamu sudah boleh berlibur?"
"Iya, Mbok. Nanti saja kalau Nyonya sedang santai."
"Jam sepuluhan nanti saatnya mereka nge-brunch. Kalau sedang libur dan kumpul bersama, menu ini yang mereka sukai. Nanti bantu saya menyiapkan semua ini di gazebo belakang ya."
"Iya, Mbok."
Malia tidak sabar menunggu jarum pendek jam berputar ke angka sepuluh. Ia ingin melihat reaksi ayah dan anak Brighton itu sekali lagi. Untuk mengisi waktu, Malia mencuci peralatan masak yang kotor dan membersihkan dapur. Mbok Bar melihat kegesitan Malia dalam bekerja dan ia merasa senang dibantu gadis itu.
Tepat jam 10.15 Mbok Bar meminta Malia menyiapkan menu brunch dan membawanya ke gazebo bambu besar yang dilengkapi dengan sofa dan kursi rotan sebagai tempat duduknya di taman belakang. Dengan nampan berisi tiga piring salad, Malia berjalan melintasi pinggiran kolam renang menuju gazebo. Ia melihat Alex sudah berganti pakaian. Pria itu mengenakan kaus polo biru dan celana jeans yang berwarna senada dengan kausnya, begitupun dengan Elizabeth dan Darius yang telah mengganti pakaian mereka dengan pakaian kasual.
Alex duduk di kursi rotan sambil bertumpang kaki dan bersedekap. Di seberang Alex, di sofa cokelat panjang, Elizabeth dan Darius tengah disibukkan oleh beberapa kertas putih berisi gambar desain baju hasil coretan tangan Elizabeth. Sementara itu, iris biru Alex menajam melihat Malia hingga nyaris tak berkedip. Sampai gadis itu tiba di depan gazebo, barulah Alex memalis dan berpura-pura tidak ingin melihatnya.
"Saya akan kembali membawa teh," tutur Malia setelah menyajikan salad di atas meja.
Elizabeth melihat ke arah Malia dengan tatapan angkuh dan mengamatinya selama beberapa waktu. "Hari ini weekend. Kamu tidak semestinya masih bekerja. Ada Mbok Bar yang mengurusi keperluan kami."
Malia mengangguk. Perasaan gugup tiba-tiba saja menjalar ke punggung dan seluruh sarafnya. Setiap kali berhadapan dengan wanita itu, Malia pasti merasakan hal yang sama. Seharusnya tidak begini.
"S-saya baru bekerja beberapa hari. Apa boleh saya libur?" tanya Malia gugup.
Elizabeth mengembus napas. Rona kesal tampak di wajahnya. Ia sama sekali tidak berkenan menjawab pertanyaan Malia dan malah balik bertanya. "Di mana Mbok Bar?"
"Mbok Bar di dapur sedang menyiapkan teh hangat." Malia merasakan adanya emosi yang meledak-ledak yang terpancar dari mata Elizabeth. Wanita itu sebentar lagi akan murka dan memarahi Mbok Bar, pikirnya. "Saya sendiri yang menawarkan bantuan pada Mbok Bar, Nyonya," lanjut Malia.
"Sudahlah, Sayang." Darius menginterupsi. Ia menyadari tensi emosi istrinya mulai meninggi. Pria itu lalu melihat ke arah Malia. "Bawakan tehnya ke mari."
Malia mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
Segera pergi, Malia kembali ke gazebo dengan nampan berisi satu teko teh hangat dan tiga cangkir keramik. Ia meletakkan teh hangat itu di tengah meja. Tidak bermaksud melirik Alex, tetapi gerakan matanya seakan tertarik magnet yang dipancarkan mata pria itu. Tatapan mereka berserobok dan saling mengunci untuk beberapa saat. Sengatan keterkejutan membekukan tubuh Malia hingga Malia hanya berdiri di depan meja. Tatapan Alex begitu tajam, tapi bukan tatap menusuk hati seperti tatapan benci. Tatapan itu seperti menegaskan sesuatu yang jauh dari jangkauan bahkan bayangan Malia.
"Jika sudah selesai, kembali ke dapur!" Perintah Elizabeth mengetuk kesadaran Malia untuk mengangguk dan segera meninggalkan gazebo.
Malia duduk kembali di kursi makan kayu berbantal busa cokelat di dapur. Ia melihat Mbok Bar sedang menikmati teh dan kue keringnya di seberang meja sambil bersenandung kecil. Wanita itu tampak sangat menyukai area yang menjadi daerah kekuasaannya.
"Kalau kamu mau menjenguk keluargamu, kamu pulang saja," cetus Mbok Bar, "mereka tidak akan makan siang di rumah. Tuan Darius ada urusan mendadak dan harus ke Yogakarta siang ini."
Mata Malia sedikit melebar. "Tuan akan pergi lagi?"
"Iya. Nyonya dan Tuan Muda akan mengantar Tuan ke bandara. Kemungkinan besar, mereka akan makan siang di luar."
"Baiklah kalau begitu. Nyonya juga tadi sudah menanyakan kenapa saya masih bekerja di hari libur."
"Ya, sudah. Tunggu apa lagi?"
"Baik, Mbok." Malia tersenyum lebar dan disambut hangat oleh rona cerah di wajah Mbok Bar.
Malia kemudian pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian. Beberapa hari berada di rumah keluarga Brighton, Malia hanya bisa melihat sikap aneh yang kerap ditunjukkan Alex dan kekagetan yang diperlihatkan Darius serta sikap pongah Elizabeth.
Hanya mengenakan kaus longgar putih dan celana jeans biru serta tas punggung hitam kecil, Malia berniat pulang. Sebelumnya, ia berniat kembali ke dapur untuk berpamitan pada Mbok Bar. Namun, Mbok Bar tidak berada di sana. Entah berada di mana koki serba bisa itu. Malia berusaha mencari Mbok Bar ke kamarnya, tapi Malia tetap tak menemukannya. Akhirnya Malia memberanikan diri mencari ke dalam rumah.
Malia memeriksa ruang makan dan ruang keluarga. Kedua ruangan itu tampak belum terjamah. Suasana di dalam pun tampak sunyi, sepertinya keluarga Brighton masih berada di taman belakang. Malia menyerah. Ia harus pulang tanpa berpamitan pada Mbok Bar.
"Kita akan bicara setelah ayahmu pergi."
Pelan, tapi suara Elizabeth cukup jelas terdengar oleh Malia yang masih bergeming di antara ruang keluarga dan ruang makan. Malia mengedarkan pandangan mencari dari mana asal suara tersebut. Beberapa saat kemudian derap langkah terdengar memasuki ruang makan. Panik menyerang Malia. Ia tidak mau ketahuan berada di dalam rumah tanpa perintah. Secepatnya ia menghindar dan bersembunyi di bawah meja mini bar yang berada di seberang meja makan.
"Kau membuatku tersiksa lebih lama, Liz." Kali ini suara Alex yang menyapa telinga Malia.
"Dengar, aku melakukan semua ini untuk kebaikanmu. Bersyukurlah karena ayahmu akan pergi lagi. Kita punya banyak kesempatan." Nada meyakinkan keluar dari mulut Elizabeth.
"Aku tidak mau kita bicara di sini."
"Kalau begitu kita akan bicara di tempat biasa."
Tempat biasa? Hanya bicara? Malia mengernyitkan alis hitam alaminya yang melengkung dan sedikit menukik di ujung. Kecurigaan tercipta dengan cepat di benaknya. Ia masih berjongkok di bawah meja mini bar sambil memeluk lututnya sampai diskusi Elizabeth dan Alex selesai dan derap langkah mereka terdengar terpisah, menjauh, lalu menghilang.