“Alex, come back!” Perintah Darius dengan nada kesal.
Elizabeth memegang tangan Darius untuk menenangkan suaminya yang mendadak syok lantaran sikap Alex. Wanita itu lalu mengalihkan tatapan tajamnya pada Malia.
"Cepat simpan kuenya dan pergi dari sini!" titah Elizabeth.
Malia tersentak oleh perintah kasar Elizabeth. Pundaknya terangkat dan tangannya sedikit gemetar. Untung saja piring berisi makanan penutup yang dipegangnya tidak jatuh.
"B-baik, Nyonya." Malia asal meletakkan kue kering berlapis selai raspberry dan krim vanila itu di atas meja tanpa menimbang-nimbang posisi yang pantas untuk memajangnya. Reaksi Darius dan perintah Elizabeth membuatnya kebingungan. Ditambah reaksi Alex tadi, Malia semakin hilang akal. Wanita itu hanya bisa melongo.
Malia pun kembali ke dapur. Ia berdiri di dekat jendela sambil memandang kerlip riak kolam ikan yang diterpa embusan angin dan diterangi lampu taman. Apa yang terjadi di ruang makan tadi menciptakan tanda tanya besar di kepalanya.
"Sudah mengantar kuenya? Disimpan di tengah-tengah meja, 'kan?" Suara Mbok Bar menyentak Malia.
Malia berputar sembilan puluh derajat, berdiri di depan Mbok Bar. "Sudah, Mbok, tapi tidak ditaruh di tengah karena—"
Braaak! Suara daun pintu dapur yang membentur dinding memutus ucapan Malia. Tina masuk dengan baki berisi piring-piring bekas steak sapi dan gelas-gelas bertangkai bekas anggur. Ia menyimpannya di atas bak cuci piring.
"Makan malam yang kacau!" seru Tina.
"Ada apa toh, kok jadi kacau?" tanya Mbok Bar sambil melihat Tina dengan pandangan heran.
"Tanya sama dia apa yang terjadi." Tina menunjuk Malia dengan dagunya.
Mbok Bar menyatukan alisnya. Raut wajahnya memperlihatkan kuriositas yang tinggi ketika ia beralih melihat Malia. "Ada apa, Nduk?"
Malia menggeleng. Ia sama sekali tidak tahu kenapa reaksi Darius dan Alex di ruang makan tadi mendadak berubah saat melihatnya. "Saya tidak tahu, Mbok. Begitu saya masuk, Tuan Alex langsung memelototi saya. Aneh, bukan?"
"Yang benar, ah?" ketidakpercayaan tercetus dari mulut Mbok Bar selanjutnya.
"Iya, Mbok Bar." Tina menegaskan. "Waktu Malia masuk ke ruang makan, Tuan Alex langsung melotot kayak ngeliat setan."
"Hush, ngomong apa sih kamu. Gadis cantik begini kok dibilang setan," protes Mbok Bar.
"Ya, maksudnya bukan Malia yang jadi setan. Tuan Alex kayak melihat setan, hantu, gitu lho, Mbok." Tina memperjelas. “Aneh, Mbok. Padahal, sudah beberapa hari Tuan Alex dilayani Malia. Sekarang kok reaksinya kayak gitu?”
"Iya, Mbok," imbuh Malia, "saya juga tidak mengerti kenapa Tuan Alex bisa begitu."
"Oh, iya. Nyonya minta malam ini kamu jangan berkeliaran dulu di dalam rumah. Setelah mencuci piring sebaiknya kamu masuk ke kamarmu saja," saran Tina.
"Baik, Mbak. Kalau begitu, saya mau mencuci piring dulu." Malia segera menuju ke bak cuci piring. Dalam waktu singkat Malia telah menyelesaikan tugasnya mengembalikan piring-piring keramik kotor dan gelas-gelas kristal menjadi bersih kembali seperti sedia kala.
"Mbok Bar, Mbak Tina, saya ke kamar saya dulu ya." Malia berpamitan kepada kedua rekan kerjanya yang sedang menghabiskan sponge cake yang tidak disentuh sama sekali oleh anggota keluarga Brighton.
"Kamu nggak mau mencicipi kuenya?" tawar Tina.
"Nanti saja, Mbak. Saya sudah kenyang. Saya permisi ya, Mbak, Mbok." Malia berpamitan pada Mbok Bar dan Tina.
Sebuah keuntungan Malia tidak diperkenan lagi berkeliaran di dalam rumah. Ia sudah cukup lelah dan akhirnya bisa beristirahat lebih awal. Namun, reaksi putra mahkota Bright Company itu sangat menarik keingintahuannya. Malia keluar dari dapur yang menjadi markas barunya di rumah itu. Ia berjalan menyusuri koridor menuju deretan kamar khusus untuk ART. Rasa penasaran masih bergelimang dalam benaknya sampai secara tidak sengaja Malia melihat bayangan dua orang yang berdiri di luar pintu kaca yang sedikit terbuka. Diam-diam, tersulut rasa ingin tahu yang tinggi, Malia mendekat dan bersembunyi di balik dinding di samping pintu. Ia berusaha menguping pembicaraan kedua orang itu.
"Seharusnya aku tidak menerimanya jadi pelayan." Suara Elizabeth terdengar jelas.
"Kalau reaksi Alex seperti tadi, artinya pelayan itu perlu dipertahankan bekerja di sini." Suara berikutnya dapat dipastikan sebagai suara suaminya.
“Mempertahankannya hanya akan memperumit keadaan. Kamu tahu itu.” Suara Elizabeth terdengar lagi.
Pelayan? Yang mana? Apakah aku pelayan yang sedang mereka bicarakan? Malia bertanya-tanya dalam hati. Kini, rasa penasarannya berkembang semakin besar. Selain menjadi pelayan pribadi Alex, Malia pun harus bisa menarik simpati pria itu supaya tidak dipecat.
***
Malia berguling di atas tempat tidur. Reaksi Alex di ruang makan tadi dan ucapan Elizabeth serta Darius yang ia dengarkan diam-diam masih menjadi problem utama yang mengganggu pikirannya. Ia merasakan keanehan yang terjadi pada keluarga Brighton adalah karena kehadiran dirinya. Iya, Malia percaya itu.
Malam sudah larut dan Malia belum bisa memejam. Kumparan kemelitan baru yang tertangkap perasaannya membuat Malia terus terjaga. Berusaha untuk menghindari rasa pusing yang berdenyut di kepala, wanita itu keluar dari kamarnya. Tanpa merasa takut, ia berjalan ke taman belakang dan duduk di tepi kolam renang sambil memeluk lututnya sendiri. Beberapa saat kemudian Malia mengedarkan pandangannya ke atas ke sekeliling bangunan rumah berlantai tiga yang membelakangi kolam renang. Entah apa yang ada di pikirannya, keinginan untuk mengamati bentuk rumah itu tercipta begitu saja. Namun, ....
"Ya, Tuhan!" Malia tersentak dan hampir melompat dari duduknya ketika pandangannya mendapati sesosok pria sedang memandanginya dari balkon kamar Alex. Alex?
Selama beberapa waktu pandangan Malia tertuju pada sosok pria tersebut sampai akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kolam renang. Malia berusaha berjalan cepat, tetapi langkahnya tiba-tiba terasa berat hingga perjalanan dari kolam renang menuju ke kamarnya seperti sulit ditempuh. Angin dingin yang berembus dan menusuk kulit tak bisa mencegah keringat Malia keluar dari pori-porinya, begitupun dengan debaran jantungnya yang tidak menenang oleh heningnya suasana. Kaki telanjangnya terus melangkah di jalan setapak berbatu koral sementara pandangannya fokus ke bawah ke jalan tersebut. Tinggal beberapa meter lagi dia mencapai pintu masuk, langkah Malia harus tertahan. Lengan kirinya membentur sesuatu yang cukup keras tapi sedikit kenyal.
“Auw!” Malia memegangi lengannya yang terasa ngilu.
“Sorry.”
Suara yang melontarkan permintaan maaf itu secara otomatis menguapkan seluruh rasa nyeri Malia. Dentaman detak jantungnya semakin menggema dan mengacaukan isi kepala wanita itu. Malia memberanikan diri mengangkat wajah pelan-pelan. Ia melihat kaki yang panjang dalam balutan celana berwarna hitam. Semakin pandangannya terangkat, ia bisa melihat pinggang ramping dan d**a bidang di balik kaus ketat putih. Hingga iris gelapnya tertambat pada sepasang iris biru terang, Malia benar-benar percaya bahwa sosok pria itu adalah Alex.
“T-tuan ....”
“Sedang apa kamu di taman malam-malam begini?”
Malia menelan ludah dengan susah payah. Ia mengerjap berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak sedang bermimpi.
“S-saya tidak bisa tidur. Jadi, saya melihat-lihat taman supaya—“
“Kamu tidak sedang mengawasiku, ‘kan?” potong Alex menuduh.
Mengawasi? Malia menggeleng. Di dalam guyuran cahaya bulan dan lampu taman, Malia bisa melihat ekspresi angkuh dan menyelidik Alex. “Saya tidak mengawasi siapa pun, Tuan. Saya hanya—“
“Tidurlah.” Alex memotong dengan perintah.
“Iya, Tuan.”
Entah ada angin apa yang menyapa Alex, pria itu tiba-tiba mencekal tangan Malia dan menahannya untuk pergi saat Malia mulai melangkah. Jantung Malia hampir melompat keluar karena reaksi spontan Alex. Desir rasa yang tak terkatakan mengalir ke seluruh tubuh dan membuat Malia mematung. Selama beberapa detik Malia dan Alex saling memandang tanpa mengucapkan kata. Hanya tatapan sebiru lautan Alex yang terpapar cahaya lampu taman seakan-akan sedang berbicara bahwa ada sesuatu di antara mereka.
“Tuan.” Malia memberanikan diri melayangkan pengingat untuk Alex. Tidak bisa disangkal pesona Alex memang tak terbantah, tetapi Malia belum siap terlibat hubungan apa pun dengan sang majikan. Pertanyaan besar tentang obrolan Darius dan Elizabeth pun masih menjadi polemik dalam dirinya.
Ucapan Malia menyadarkan Alex bahwa tindakan impulsifnya kurang pantas ia lakukan. Malia adalah pelayannya dan baru bekerja beberapa hari saja. Alex kemudian melepaskan cekalannya dari tangan Malia.
“Tidurlah. Besok akan menjadi hari yang sibuk untukmu,” katanya tanpa meminta maaf telah membuat Malia kaget setengah mati. Ia pun berlalu begitu saja dari hadapan Malia.