Pagi pertama di Senjaratu, Zea langsung mencuci muka dan gosok gigi saat terbangun dari tidur nyenyaknya. Ya, anehnya Zea bisa langsung tidur nyenyak pada malam pertamanya berada di sini. Aneh, bukan? Padahal Zea ini bukan termasuk yang bisa tidur dengan nyaman di mana saja.
Jika di tempat baru begini, biasanya tubuh Zea akan beradaptasi dulu sampai bisa tertidur dengan sangat nyaman. Namun, bisa-bisanya Zea langsung merasa nyaman. Apa karena kosan ini diberi nama kosan nyaman? Sehingga membuat penghuninya langsung nyaman.
Zea segera menggeleng. “Ini pasti karena aku kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh, makanya bisa tidur nyenyak banget,” gumamnya.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, selama beberapa saat Zea berganti pakaian olahraga. Tidak lupa mengikat rambutnya agak tinggi agar ia merasa nyaman saat lari pagi. Zea memang memutuskan joging pada pagi pertamanya di sini. Terlebih semalam ia sudah bertanya pada Rubi tentang rute-rute terbaik untuk lari pagi.
Rubi bilang seharusnya Zea tidak nyasar, tapi kalaupun nyasar … Zea bisa menelepon Rubi atau bisa juga meminta bantuan pada penduduk desa ini agar mengantarkannya ke kosan nyaman karena semua orang di sini pasti tahu di mana letak kosan nyaman yang hanya ada satu-satunya di Senjaratu.
Sampai pada akhirnya di sinilah Zea berada. Wanita itu sudah mulai berlari mengelilingi wilayah yang sebenarnya sangat asing baginya ini. Namun, lagi-lagi Zea merasakan kenyamanan. Apa karena penduduk di sini sangat ramah? Terhitung sudah lebih dari lima orang yang menyapanya semenjak Zea keluar dari gerbang kosan nyaman.
Orang-orang pun sepertinya langsung mengenali siapa Zea. Apa karena semalam Rubi telah memperkenalkan Zea pada banyak orang? Sungguh, meskipun orang-orang mengingat nama Zea, wanita Jakarta yang baru saja pindah ke Senjaratu, tapi jangan ditanya apakah Zea hafal nama-nama orang yang menyapanya. Sama sekali tidak.
Zea masih berlari sambil memperhatikan suasana pagi Senjaratu yang udaranya bersih. Ah, mungkin karena Zea selama ini cukup akrab dengan debu dan polusi sampai-sampai merasa kalau Senjaratu ini sangat kontras sekali perbedaannya dengan Jakarta.
Zea berlari ke arah timur, sesuai yang Rubi sarankan tadi malam. Rubi bilang, ada warung bubur ayam yang lezat. Zea rencananya akan sarapan di sana.
Ah, Rubi lagi, Rubi lagi!
Seharusnya wajar Zea mengingat Rubi karena pria itu merupakan satu-satunya informan-nya semenjak berada di sini. Namun, tetap saja kenapa Zea merasa aneh?
Astaga! Buang pikiran anehmu itu, Ze!
Berusaha mengenyahkan Rubi dalam pikirannya, Zea tersenyum saat melihat banner besar yang Zea yakini merupakan warung bubur ayam yang Rubi rekomendasikan. Akhirnya setelah joging lebih dari setengah jam, Zea bisa menemukan lokasi warung bubur tersebut.
Tanpa ragu, Zea masuk dan langsung memesan buburnya. Sambil duduk di salah satu kursi yang disediakan, Zea menatap sekeliling. Kursi yang Zea pilih adalah paling pojok. Di warung bubur yang lumayan besar ini, ada beberapa orang yang juga sedang menunggu pesanan disajikan. Mereka memutuskan makan di tempat seperti Zea.
Tidak sampai sepuluh menit, pesanan Zea pun sudah tersaji di hadapannya. Asap yang mengepul, juga tampilan dan wanginya benar-benar menggugah selera. Zea lalu mencobanya dan apa yang Rubi katakan benar bahwa bubur di tempat ini sangat lezat.
Satu sendok, dua sendok, tiga sendok dan seterusnya … Zea melahap buburnya sampai mangkuknya kosong. Ia juga turut menghabiskan dua tusuk sate, satunya sate telur puyuh dan satunya lagi sate hati ayam.
Apa-apaan kamu, Zea? Pagi-pagi sudah menumpuk kalori….
Hmm, tidak apa-apa. Toh Zea tidak begini setiap hari.
Zea kemudian merogoh saku celana yang dikenakannya untuk mengambil dompet.
Tunggu, dompet apanya? Zea baru ingat dirinya tidak membawa dompet. Ya, tadi ia hanya memasukkan ponsel ke sakunya dan sama sekali tak ingat kalau seharusnya membawa dompet juga.
Tanpa ragu, Zea segera menelepon Rubi. Ah, untungnya ia sudah menyimpan kontak pria itu. Kabar baiknya juga, Zea tadi malam langsung mengaktifkan simcard terbarunya sehingga untuk jaringan internet … ia bisa menggunakan simcard terbaru, terutama saat berada di luar kosan begini.
Selain itu, simcard yang lama-nya pun sengaja masih Zea tutup sekalipun ponselnya bisa memakai dua simcard. Bukannya apa-apa, untuk sementara Zea tidak ingin berhubungan dengan orang-orang di Jakarta dulu, kecuali Stevi dan orangtua Zea.
Selama beberapa saat, Zea menunggu sampai panggilannya diangkat. Sampai kemudian, terdengar suara Rubi di ujung telepon sana.
“Halo, Zea? Ada apa nelepon?”
Zea tidak heran karena Rubi juga sudah menyimpan nomornya.
“A-aku mau mau minta tolong.”
“Tolong apa?”
“Aku ada di warung bubur yang Mas Rubi rekomendasikan semalam. Sialnya, aku lupa bawa dompet. Bisakah Mas Rubi datang ke sini dan meminjamiku uang tunai?”
“Oh, jadi kamu lagi di warung bubur?”
“Iya, Mas. Bisa ke sini sekarang? Maaf ya merepotkan, aku udah selesai makan buburnya dan nggak mungkin di sini terus. Aku nggak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan minta tolong Mas Rubi,” jujur Zea.
“Baiklah, jadi kamu di situ. Sebentar ya, kurang dari satu menit lagi saya menghampiri kamu.”
Zea mengernyit. “Mas Rubi lagi di sekitar sini?”
“Coba menoleh ke arah pukul sepuluh. Saya kebetulan sedang memesan buburnya.” Setelah mengatakan itu, Rubi memutus sambungan telepon mereka.
Zea terheran-heran saat melihat Rubi benar-benar ada di sini. Bahkan, pria itu saat ini mulai berjalan menghampirinya. Sialnya, kenapa Zea jadi deg-degan begini?
Zea semakin deg-degan saat Rubi sudah menarik kursi dan duduk di seberang tempat duduknya sehingga saat ini posisi mereka duduk berhadapan.
“Aku nggak tahu kalau Mas Rubi ada di sini,” kata Zea setelah berusaha menetralkan degup jantungnya.
“Saya juga nggak tahu kalau kamu ada di sini,” balas Rubi santai.
“Jadi, tolong pinjamkan aku uang sekarang,” pinta Zea, mengulang pembicaraan mereka via telepon beberapa saat yang lalu. “Di sini sepertinya nggak bisa non-tunai,” sambungnya.
“Pinjam seratus? Atau dua ratus?” canda Rubi.
“Kira-kira seporsi bubur dan dua tusuk sate,” jawab Zea. “Tolong sekarang karena aku mau bayar lalu pulang. Ah, hampir lupa, air mineral botol juga,” sambungnya.
Bersamaan dengan itu, pesanan Rubi datang.
“Saya akan bayar semua pesanan kamu, tenang aja. Enggak usah pinjam, saya traktir kamu.”
“Eh? Kok gitu?”
“Sebagai gantinya, tetaplah duduk dan temani saya makan bubur.”
Apa? Temani? Kenapa Rubi konyol sekali?
“Mas Rubi bercanda?”
“Saya serius. Duduklah sebentar, saya nggak akan lama, kok. Setelah saya menghabiskan ini … giliran saya yang mau minta tolong sama kamu.”
Hah? Minta tolong apa?