Siapa yang tidak terkejut saat pintu dibuka langsung menampilkan sosok pria yang hanya pakai handuk dililitkan di pinggangnya? Bikin deg-degan saja!
Ditambah lagi … kenapa Rubi tidak bilang secara jelas kalau tetangga yang dimaksud adalah dirinya?
“Hai, kita bertemu lagi,” sapa Rubi, seperti orang tidak punya dosa.
“Jadi, Mas Rubi tetangga aku?”
“Ya, mari menjadi tetangga yang baik.”
“Kenapa tadi nggak sekalian bilang kalau penghuni nomor tiga itu Mas Rubi?”
“Memang apa bedanya tetangga kamu itu saya atau bukan? Saya masih sama-sama baik dan bisa membantumu, kok,” balas Rudi. “Ngomong-ngomong ada perlu apa? Sepertinya saya perlu pakai baju dulu….”
“Aku cuma mau nanya password Wi-Fi,” potong Zea. “Hapeku tiba-tiba nggak ada sinyal.”
“Saya sarankan kamu membeli kartu baru untuk wilayah Senjaratu, pasti ada sinyal.”
“Belinya di mana?”
“Gimana kalau saya antar kamu aja? Sekalian makan malam.”
“Bo-boleh,” jawab Zea yang sengaja menunduk dan tidak menatap Rubi. Bukannya apa-apa, tubuh tanpa atasan pria itu bikin salah fokus. Apalagi perut kotak-kotaknya seperti menggoda untuk disentuh. Untungnya Zea masih punya sisa kewarasan sehingga tidak melakukan hal konyol seperti itu.
“Kamu mau mandi dulu, kan? Saya yakin kamu belum mandi.” Rubi menebak begitu karena Zea masih memakai pakaian yang sama dengan tadi.
“Ya, aku memang belum mandi. Setelah ini, aku mandi dulu.”
“Oke, saya tunggu jam setengah tujuh malam. Saya akan mengantarmu membeli sim card terbaru, lalu dilanjutkan makan malam.”
“Kalau begitu terima kasih banyak ya, Mas.” Zea sudah berbalik badan dan hendak menuju pintu kosan dirinya, tapi langkahnya terhenti saat Rubi kembali memanggil namanya.
“Zea….”
Zea tentu saja kembali memutar tubuhnya. “Iya?”
“Nikah, yuk!”
What? Apa yang dikatakan Rubi Adnan barusan? Zea salah dengar, bukan?
Dengan wajah terkejutnya, Zea bertanya, “Maksud Mas Rubi apa?”
“Itu password Wi-Fi. Kamu datang ke sini untuk bertanya itu, kan?”
Astaga. Bisa-bisanya Zea lupa dengan tujuan utamanya. Dasar perut kotak-kotak sialan! Bikin orang salah fokus saja.
“N-I-K-A-H-Y-U-K.” Rubi sengaja mengejanya. “Semuanya capslock dan tanpa spasi, ya,” tambah pria itu.
Entah apa yang ada di otak pemilik kosan sampai-sampai menjadikan itu sebagai password. Untungnya Zea bisa langsung menstabilkan ekspresinya. Selain itu, kenapa Rubi mengatakan password-nya dengan cara seperti tadi? Membuat orang salah paham saja!
“Sekali lagi terima kasih ya, Mas.” Zea lalu pamit lagi. Setelah itu, ia langsung masuk ke kosan nomor dua yang ditempatinya.
Tepat setelah menutup pintu dari dalam, Zea langsung melemparkan diri ke sofa.
“Apa-apaan ini? Kenapa malah deg-degan lagi?” gumamnya.
Namun, Zea segera mengambil ponsel dan memasukkan password sialan tadi dan benar saja, ponsel wanita itu langsung terkoneksi dengan jaringan Wi-Fi di kosan ini.
Zea sejenak menelepon orangtuanya. Ia juga tadinya ingin sekalian menelepon Stevi, tapi wanita itu akhirnya memutuskan biar nanti malam saja. Jam segini sahabatnya itu pasti masih sibuk. Selain itu, Zea merasa dirinya perlu mandi lalu bersiap-siap untuk membeli sim card baru, tentunya sambil makan malam dengan Rubi.
Lalu, bagaimana dengan lebih dari empat panggilan tak terjawab dari Jefry? Tentu saja tidak membuat wanita itu kepikiran untuk menelepon balik, malah yang ada … Zea langsung memblokir nomor mantannya itu.
Ah, lagian sebentar lagi Zea ganti nomor, jadi setelah ini ia tidak akan mendapatkan gangguan dari siapa pun. Hanya orang-orang tertentu yang akan Zea beri tahu nomor terbarunya seperti orangtuanya dan tentunya Stevi juga.
***
Sebenarnya Rubi menawarkan agar mereka naik motor, tapi Zea memilih berjalan kaki saja. Toh jaraknya dekat, bukan? Zea juga ingin sekalian menghafal tempat-tempat di sini dengan detail dan teliti.
“Gimana kalau makan dulu? Setelah makan, hitung-hitung membakar kalorinya kita jalan dari rumah makan ke konter yang menjual sim card,” saran Rubi, yang saat ini berjalan beriringan dengan Zea.
“Ide bagus,” balas Zea. “Ngomong-ngomong aku yang traktir ya, Mas. Anggap aja sebagai rasa terima kasih dari aku karena udah membantuku sampai sejauh ini.”
“Dengan senang hati,” balas Rubi.
Mereka berjalan pelan beriringan sampai kemudian, tiba-tiba ada suara seorang wanita yang setengah berteriak.
“Mas Rubiii!”
Baik Zea maupun Rubi langsung menoleh ke sumber suara. Rupanya ada ibu-ibu yang sedang berjalan mendekat pada mereka.
“Iya Bu Tirah?” tanya Rubi sangat sopan.
“Mas Rub, air di rumah saya ngalirnya kecil banget seperti pipis. Bisa tolong dibenerin besok pagi?” tanya wanita berusia empat puluhan akhir yang bernama Tirah.
Belum sempat Rubi menjawab, sudah muncul beberapa ibu-ibu lain yang posisinya seolah-olah mengelilingi Zea dan Rubi.
“Kipas angin saya juga rusak, Mas. Masa harus pencet nomor tiga dulu supaya jalan. Kalau langsung nomor satu malah nggak muter-muter,” timpal Bu Wiwin. “Besok kalau senggang mampir ke rumah ya, Mas.”
“Saya juga udah nyuruh Mas Rubi mampir ke rumah dari kemarin, tapi Mas Rubi sibuk jadi belum sempat.” Kali ini Bu Enjum yang berbicara.
“Ah iya. Maaf ya, Bu Enjum. Soal mesin cuci, kan?”
“Iya, Mas Rub. Pas pembuangan airnya lama banget. Saya nyuci pagi tapi sampai siang airnya masih ada. Pasti ada yang mampet,” balas Bu Enjum.
“Maaf ya ibu-ibu semuanya, maaf karena saya lumayan sibuk. Sejujurnya saya udah ada jadwal kerjaan sampai hari Minggu. Tapi untuk Bu Wiwin dan Bu Enjum, besok saya usahakan benerin ya kipas sama mesin cucinya,” jelas Rubi. “Sedangkan untuk Bu Tirah, saya nggak bisa janji. Tapi saya usahakan pagi-pagi ke sana buat cek dulu. Kira-kira bisa dibenerin dalam waktu singkat atau butuh alat yang tentunya memakan waktu lama.”
“Saya tunggu, Mas Rubi. Makasih banget loh, lagi sibuk tapi masih bersedia bantu kami,” balas Bu Tirah.
Bu Wiwin dan Bu Enjum pun merasa terwakili. Mereka juga sangat berterima kasih.
“Kalau Senin berarti udah lumayan senggang, kan, Mas? Mau minta antar ke Puskesmas,” kata Bu Enjum menambahkan.
Rubi mengangguk-angguk. “Nanti saya kabarin lagi ya, Bu Enjum dan semuanya.”
“Sebentar Mas, saya baru sadar Mas Rubi bersama seseorang. Ini siapa ya, Mas?” tanya Bu Enjum kemudian.
“Ah iya, kenalin ya ibu-ibu … ada warga baru Senjaratu. Namanya Zea. Dia dari Jakarta.”
Zea pun mau tidak mau segera tersenyum ramah pada ibu-ibu itu.
“Calonnya Mas Rubi, ya?” tanya Bu Tirah.
“Wah, cantik banget,” timpal Bu Wiwin.
“Bukan, Bu. Jangan salah paham. Dia staf Forena yang baru dimutasi ke sini.”
“Ooooh…,” ucap ibu-ibu hampir bersamaan.
“Kebetulan tinggal di Kosan Nyaman dan sekarang saya sedang mengantarnya ke rumah makan.”
“Oh mau makan malam, ya. Kalau begitu silakan lanjutkan. Maaf banget nih perjalanan kalian jadi terhambat. Maaf ya … tadi siapa namanya? Zea, ya?”
“Iya, Zea, Bu.”
Setelah berpamitan, Zea dan Rubi kembali melanjutkan perjalanan mereka. Mengobrol? Tidak terlalu sempat karena setiap yang mereka lewati … hampir semuanya menyapa Rubi. Terkadang juga mereka harus berhenti dan mengobrol singkat dulu dengan warga lingkungan sini.
“Nah, itu rumah makannya,” kata Rubi.
“Akhirnya nyampe juga.”
“Sebenarnya dekat, tapi karena banyak hambatan jadi terasa lama. Maaf ya, Zea. Maaf atas ketidaknyamanan sepanjang perjalanan.”
“Santai aja kali, Mas,” balas Zea. “Cuma yang pasti sepertinya Mas Rubi sangat populer di sini.”
“Mas Rubiiii….”
“Tuh kan! Ada yang manggil lagi,” tambah Zea sambil menatap ke arah pintu rumah makan yang akan mereka masuki. Tampak pria paruh baya yang melambaikan tangannya pada Rubi.
“Kalau itu Pak RT,” jelas Rubi. “Yuk sekalian kenalan. Walau bagaimanapun warga baru seharusnya lapor sama RT,” sambungnya.
Sungguh, Zea tak menyangka malam pertamanya di Senjaratu akan bertemu banyak orang begini. Hanya saja, itu bukan masalah. Apalagi Zea merasa punya tour guide yang dengan sabar menjelaskan banyak hal padanya. Meski Zea sendiri agak bingung, sebenarnya apa pekerjaan Rubi? Kenapa semua pekerjaan seakan diborong olehnya? Namun, Zea agak sungkan untuk menanyakannya.
Pada intinya, inilah malam pertamaku di Senjaratu yang katanya banyak staf Forena yang menolak dimutasi ke sini….
Menurut Zea, sampai sejauh ini Senjaratu bukanlah tempat yang buruk.
***
Setelah memarkirkan mobilnya di basemen apartemen yang selama ini ditempatinya, Stevi turun dan melangkah menuju lift. Namun, langkahnya otomatis terhenti saat mendengar suara seorang pria memanggil namanya.
Memutar tubuhnya, Stevi mendapati seseorang yang tidak asing baginya sedang berdiri menghadap padanya.
“Kak Jodi?”
“Ya, ini aku.”
“Ada apa ke sini?”
“Nomor Zea, apa masih yang ujungnya tripel delapan?”
Stevi mengangguk-angguk. “Ya, masih yang itu. Tapi ada apa?”
“Apa benar Zea batal nikah?”
Stevi kembali mengangguk tapi gerakannya agak ragu. “Kak Jodi tahu dari mana?”
Wanita itu mulai berpikir, apa informasinya sudah menyebar? Ah, Zea pasti tak tenang jika tahu hal ini.
“Enggak penting aku tahu dari mana. Aku hanya ingin tahu di mana Zea sekarang karena nomornya yang tripel delapan itu nggak bisa dihubungi.”
“Zea pergi untuk menenangkan diri, Kak.”
“Pergi ke mana? Apakah jauh?”
“Sangat jauh. Dia mungkin akan lama perginya.”
“Bisakah kamu memberi tahu aku di mana Zea sekarang?”
Stevi ragu. Ia perlu izin dari Zea dulu. Takutnya Zea tidak nyaman ada orang selain Stevi yang tahu di mana keberadaannya.
“Sebelumnya maaf, Kak. Kenapa Kak Jodi ingin tahu Zea ada di mana?”
“Aku ingin menyusulnya.”
“Hah? Untuk apa menyusulnya?”
“Kamu serius bertanya untuk apa? Kenapa kamu pura-pura nggak tahu, Stev?”
“A-aku akan memberi tahu di mana Zea saat dia mengizinkanku memberi tahu keberadaannya pada Kak Jodi. Jadi….”
“Enggak bisa, Stev. Aku ingin kamu memberitahuku sekarang. Sekali lagi … sekarang. Aku mohon, Stev.”
Stevi sempat terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian wanita itu berkata, “Zea … pergi ke Senjaratu, Kak.”
“Senjaratu? Baiklah. Makasih banyak informasinya ya, Stev.”
“Kak Jodi serius mau ke sana?”
“Aku nggak tahu di mana Senjaratu itu, bahkan baru dengar namanya, tapi karena Zea ada di sana … aku tanpa ragu akan berangkat secepatnya.”
“Tapi, Kak….”
“Sekali lagi terima kasih, Stev. Maaf mengganggu waktumu. Sekarang aku pamit.”
Zea, aku akan menyusulmu ke sana….