Zea pasti akan sangat tidak tahu terima kasih jika menolak permintaan tolong Rubi yang entah detailnya pun wanita itu belum tahu.
“Minta tolong apa, Mas?” tanya Zea kemudian. Ia tidak akan mendapatkan jawaban jika terus menduga-duga. Ya, tentu Zea harus menanyakannya secara langsung.
“Tolong temani saya,” balas Rubi yang kemudian mulai menyantap bubur di meja tepat di hadapannya.
Zea mengernyit. “Maksudnya temenin Mas Rubi makan bubur begini?”
Apa-apaan coba? Jika iya, Zea tak habis pikir dengan jalan pikiran Rubi. Memang apa pentingnya ditemani makan? Se-jomlo itukah?
“Ah, pria setampan ini mana mungkin jomlo,” batin Zea kemudian.
“Astaga, bukan. Saya mau minta antar ke suatu tempat.”
“Hah? Ke mana?”
“Coba deh kamu lihat di meja pemesanan.” Setelah mengatakan itu, Rubi kembali menyuapkan sendok berisi bubur ke mulutnya.
Sedangkan Zea langsung menoleh dan ia melihat ada beberapa kotak thinwall yang sedang disusun rapi dan dimasukkan ke dalam kantong belanja.
“Jumlahnya tiga puluh lima porsi,” ucap Rubi lagi, sebelum Zea bertanya.
“Mas Rubi pesan sebanyak itu?”
“Lebih tepatnya itu pesanan orang. Saya hanya mengantarkannya.”
“Maksudnya seperti kurir?”
“Ya, sederhananya begitu,” jawab Rubi. “Tadinya saya mau bolak-balik anterinnya, tapi berhubung kamu bersedia membantu … sepertinya satu kali jalan pun selesai. Kamu hanya perlu duduk di jok belakang motor saya sambil membawa satu tas belanja. Satunya saya gantung di depan,” sambungnya memperjelas.
Zea masih bengong.
“Kamu bersedia membantu, kan? Maaf ya merepotkan, jaraknya nggak terlalu jauh, kok. Setelah anterin bubur, saya langsung anterin kamu ke kosan.”
“Bisa, kan?” tanya Rubi lagi karena Zea sama sekali tak memberikan respons.
“I-iya, Mas. Aku bantu,” jawab Zea akhirnya. “Tapi kenapa Mas Rubi nggak bawa mobil aja kalau bawaannya banyak?”
“Saya telanjur bawa motor, sih,” balas Rubi. “Sebenarnya saya belum pulang ke kosan lagi setelah dari pagi-pagi buta berkunjung ke rumah para ibu yang semalam meminta bantuan saya. Setelah itu, saya langsung ke sini saat pemilik warung menelepon nyuruh saya anterin pesanan. Saya bahkan bisa makan dulu sambil nunggu semua pesanan siap. Dan secara nggak terduga … saya ketemu kamu di sini yang kebetulan perlu bantuan saya.”
Zea paham sekarang. Ia juga ingat semalam Rubi mengiyakan permintaan tolong ibu-ibu yang menyuruhnya mengecek aliran air yang kecil, kipas angin yang rusak serta mesin cuci yang pembuangan airnya bermasalah. Konyolnya, Zea hafal permintaan tolong ibu-ibu tersebut.
Mas Rubi, sebenarnya pekerjaanmu apa? Sopir, tukang service, teknisi atau kurir makanan? Bisa-bisanya banyak pekerjaan diborong seperti itu!
Tanpa Zea sadari, dirinya mulai penasaran pada sosok Rubi Adnan.
“Baiklah, kalau begitu kita impas. Aku butuh bantuan Mas Rubi dan Mas Rubi butuh bantuan aku,” kata Zea.
“Zea, asal kamu tahu … tanpa kamu bersedia membantu saya, atau dalam kata lain misalnya kamu menolak membawakan bubur-bubur itu, saya tetap harus membantu kamu. Jangan lupa, saya sudah dibayar sampai Minggu untuk membantu kamu. Jadi, seandainya kamu keberatan membantu saya, jangan sungkan untuk menolak.”
“Enggak. Aku nggak keberatan sama sekali, kok.”
Rubi tersenyum. “Kalau begitu terima kasih ya, Zea.”
“Aku juga berterima kasih karena Mas Rubi udah traktir aku sarapan.”
***
Rubi benar, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Namun, tetap saja akan memakan waktu jika harus bolak-balik. Zea sempat penasaran kenapa ada orang pesan bubur se-banyak itu, sampai kemudian ia mendapatkan jawaban bahwa yang memesan adalah pemilik usaha konveksi dan tiga puluh lima porsi bubur ayam yang dipesannya akan dibagikan untuk para karyawan yang bekerja di sana.
Setelah mengantarkan pesanan bubur ayam, Zea saat ini sedang berdiri di samping motor matic milik Rubi. Jika saja tidak ada telepon masuk ke ponsel Rubi, sudah pasti mereka telah meninggalkan tempat ini sejak beberapa menit yang lalu. Namun, setidaknya suasana di sini sangat tenang terlebih Zea bisa sedikit memanjakan matanya dengan melihat ke arah sawah yang menghijau.
“Maaf ya, jadi harus nunggu,” ucap Rubi yang sudah selesai menjawab telepon.
Zea menoleh ke arah Rubi lalu berkata, “Bukan masalah. Sebentar doang, kok.”
Setelah itu, Rubi naik ke motornya dan tak lama kemudian Zea melakukan hal yang sama. Wanita itu duduk di jok belakang, bersiap dibonceng oleh Rubi.
“Suasana di Senjaratu, ternyata lumayan juga ya,” ucap Zea bersamaan dengan motor Rubi yang mulai melaju dengan kecepatan sedang.
“Ya, begitulah. Meskipun jauh ke mana-mana, tempat ini idaman banget buat ditinggali.”
Saking tenang dan nyamannya suasana di sini, mengobrol sambil boncengan motor pun tanpa perlu teriak-teriak karena tidak bising sama sekali. Tadi saat perjalanan mengantarkan bubur, dalam perjalanan hampir tidak ada obrolan sama sekali. Baik Zea maupun Rubi sama-sama merasa tidak punya alasan untuk bicara. Namun, dalam perjalanan pulang begini, mereka akhirnya mulai saling bicara.
“Katanya, Senjaratu itu tingkat kriminalitasnya rendah. Itu benar?”
“Sangat rendah,” balas Rubi. “Saya ragu ada tempat se-sempurna ini di tempat lain,” lanjut pria itu.
Jeda sejenak.
Rubi kembali berbicara, “Untuk itu, semoga kamu betah ya di sini.”
“Mas Rubi,” panggil Zea kemudian.
“Apa?”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Tanya apa? Silakan katakan aja.”
“Sebenarnya apa pekerjaan Mas Rubi?”
Rubi terkekeh sejenak. “Kamu pasti bingung, ya? Soalnya saya mengerjakan banyak hal.”
“Ya, belum genap sehari aku di sini … aku udah melihat lebih dari empat profesi yang Mas Rubi jalani.”
“Kamu benar, saya memang memborong banyak pekerjaan. Tapi intinya … saya hanya ingin membantu yang perlu bantuan. Sederhananya begitu. Soal bayaran, saya pun nggak mematok tarif. Seikhlasnya mereka.”
Bahkan, sebenarnya bayaran termahal saat membantu banyak orang bukanlah uang. Tak bisa dimungkiri, Rubi melakukan semua ini bukan demi uang, melainkan agar Rubi bisa punya kesibukan bermanfaat yang akan membantunya melupakan luka menganga di hatinya.
Tak ayal, berbagai profesi yang dilakoninya di sini membuatnya sibuk, terkadang Rubi juga perlu mempelajari hal-hal baru misalnya memperbaiki alat-alat elektronik dan itu menambah kesibukannya.
Semakin sibuk, semakin terobati luka di hatinya. Semakin lupa pula pada segala hal yang membuatnya bersedih. Setidaknya itulah yang Rubi rasakan selama di Senjaratu.
Mendengar penuturan Rubi barusan, membuat Zea merasa takjub. Rupanya masih ada orang seperti itu di dunia yang katanya kejam ini. Sungguh, Zea hampir tak percaya masih ada orang yang bersedia membantu dan rela dibayar seikhlasnya. Apa Rubi tak butuh uang?
“Mas Rubi nggak punya hari libur dong? Bahkan, pagi-pagi buta aja udah mulai.”
“Saya memulai hari ini dengan mengecek aliran air di rumah Bu Tirah padahal matahari belum terbit, itu karena saya udah telanjur menerima pekerjaan sampai hari Minggu. Kalau nggak, saya nggak akan se-pagi itu, kok,” jelas Rubi. “Tapi kalau soal hari libur … kamu benar, saya hampir nggak punya hari libur, kecuali kalau situasi dan kondisi memaksa saya libur, barulah saya off dan menolak permintaan bantuan dari siapa pun tanpa kecuali.”
“Situasi seperti apa itu?” Sial, kenapa Zea merasa dirinya jadi sedang wawancara begini?
“Ah, Mas Rubi nggak perlu menjawab seandainya pertanyaan saya cenderung kepo dan bikin nggak nyaman,” ralat Zea.
“Saya nggak punya alasan berkata nggak nyaman untuk pertanyaan itu. Menurut saya, pertanyaanmu barusan wajar-wajar aja, kok,” balas Rubi. “Jadi, situasi yang nggak memungkinkan itu misalnya saya sakit. Tapi syukurlah saya selalu diberi kesehatan sehingga nggak kepikiran untuk libur.”
“Apa Mas Rubi satu-satunya yang membantu menyelesaikan masalah warga sini? Masalah di sini dalam kata lain … membenarkan alat elektronik yang rusak, jadi kurir, benerin aliran air, tukang jemput dan lain-lain. Maksudku, hanya Mas Rubi dan nggak ada yang lain?”
“Sejujurnya ada, tapi nggak semua orang pegang banyak kerjaan seperti saya. Hampir semuanya hanya pegang satu keahlian, baru saya aja yang se-serakah itu sampai semua kerjaan diborong,” kekeh Rubi.
“Aku lihatnya justru bukan serakah, tapi salut. Maksudnya kok bisa Mas Rubi mengerjakan semuanya? Kok bisa?”
Rubi tertawa sejenak. “Perkerjaan ini … saya sangat menikmatinya. Dan secara nggak langsung bikin saya jadi ahli dalam segala hal. Jadi, saya ini nggak tiba-tiba bisa segalanya. Butuh proses hingga bisa sejauh ini. Saya juga sangat bersyukur karena mengerjakan semuanya membuat saya belajar lagi. Ilmu baru dan pengalaman baru, saya akhirnya jadi serba bisa seperti sekarang.”
“Hmm, sekarang yang jadi pertanyaannya … karena tarif jasa bantuan Mas Rubi itu seikhlasnya, orang-orang pasti cenderung lebih memilih Mas Rubi dong. Persaingan dengan penyedia jasa lainnya menjadi nggak sehat. Sebagai contoh saat kipas angin rusak, secara logika orang-orang lebih memilih servisnya ke Mas Rubi dengan tarif seikhlasnya alih-alih ke tempat servis lain yang tarifnya ditentukan.”
Zea menambahkan, “Bisa-bisa Mas Rubi dimusuhin sama kompetitor kalau begini caranya, karena dianggap merusak tarif pasaran.”
“Kompetitor? Enggak, sama sekali nggak. Mereka nggak menganggap saya sebagai saingan. Justru mereka merasa terbantu karena jumlah tukang servis, kurir, sopir, teknisi dan lain-lain itu terbatas alias nggak banyak. Kadang saya juga menerima tugas limpahan dari mereka yang udah terlalu banyak kerjaan. Jadi, mereka nggak kekurangan job sekalipun saya serba bisa.”
Rubi masih berbicara, “Selain itu, soal tarif seikhlasnya. Kamu pasti mengira orang-orang yang memakai jasa saya akan membayar jauh lebih murah dari tarif seharusnya, itu sebabnya jasa saya cenderung laku. Asal kamu tahu, warga Senjaratu itu luar biasa sampai-sampai dikasih tarif seikhlasnya pun mereka sengaja menyamakan dengan tarif jasa pada umumnya. Mereka sebaik itu sampai-sampai sedikit pun nggak berniat memanfaatkan, padahal saya sering bilang … nggak perlu memaksakan kalau uangnya nggak ada atau bisa bayarnya nanti aja pas ada rezeki. Tapi mereka tetap bersikeras mau membayar dengan tarif wajar.”
“Wow, luar biasa,” balas Zea.
“Ya, warga Senjaratu memang luar biasa.”
“Mas Rubinya juga luar biasa. Sangat,” batin Zea.
Dalam hati, Zea merasa kalau Rubi itu sangat keren. Kalau dikota, bisa-bisa orang seperti Rubi pasti akan menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Zea bersyukur pria seperti Rubi ini lahir dan tumbuh di Senjaratu sehingga tak perlu menghadapi kerasnya hidup di kota dengan keahlian dan sifat yang se-baik itu.
Ah, Zea tidak tahu saja kalau Rubi bukan asli dari Senjaratu, melainkan pendatang seperti dirinya.
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara mereka.
Sampai kemudian Rubi yang kembali berbicara, “Jangan lupa, ya. Saya masih punya tugas buat bantu kamu sampai besok. Jadi, jangan sungkan bilang kalau perlu bantuan.”
“Iya. Aku pasti bilang kalau perlu bantuan.”
“Hmm, kalau sekarang … apa nggak ada yang perlu saya bantu lagi?”
Belum sempat Zea menjawab, tiba-tiba Rubi menarik rem mendadak sehingga Zea yang sengaja duduk agak memberi jarak, secara spontan tertarik ke depan dan otomatis tubuh bagian depannya langsung menempel pada punggung Rubi, terutama bagian dadanya. Secara spontan pula, Zea refleks memeluk Rubi.
Ternyata alasan Rubi menarik rem mendadak adalah gara-gara sekawanan bebek tiba-tiba menyeberangi jalanan yang hendak mereka lewati. Bukankah konyol? Bisa-bisanya Rubi tak fokus menyetir sehingga tidak menyadari keberadaan bebek-bebek itu. Padahal jika fokus, pasti dari jauh Rubi sudah melihatnya sehingga bisa mengantisipasi sejak awal dan tidak perlu nge-rem mendadak.
Selama beberapa saat, saking terkejutnya Zea tidak langsung menjauhkan tubuhnya. Ia pasti tidak waras, bisa-bisanya malah diam saja lantaran terkecoh dengan punggung Rubi yang bukan sekadar hangat, tapi juga sangat nyaman untuk dipeluk seperti ini.
Sementara itu, Rubi juga sama tidak warasnya. Pria itu malah membiarkan Zea memeluknya. Apa karena Rubi sudah lama tidak melakukan kontak fisik semacam ini dengan seorang wanita? Apalagi dadanya yang membuat Rubi semakin tak bisa berpikir jernih.
Percikan hasrat pun tak sulit untuk terbentuk. Bahkan tak butuh waktu lama, milik Rubi di bawah sana mulai mengeras sampai-sampai terasa sesak ingin dikeluarkan.
Oh tidak, ini bahaya!