Terlalu dini untuk merasa deg-degan pada pria yang bahkan baru ditemui. Terlebih untuk ukuran wanita yang sedang patah hati lantaran dikhianati, rasanya aneh Zea merasa deg-degan hanya karena pria itu sangat tampan dan tubuhnya atletis yang sangat peluk-able. Namun, beginilah kenyataannya.
Zea segera menggeleng sekaligus menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini konyol. Akhirnya, Zea lebih memilih sibuk dengan ponselnya yang terdapat beberapa pesan masuk dari orangtuanya dan tentu saja dari Stevi yang menanyakan apakah Zea sudah tiba atau belum.
Setelah mengabarkan ibu dan ayahnya kalau dirinya sudah turun dari kapal, Zea juga tidak lupa membalas pesan sahabatnya, ‘Aku lagi di jalan naik mobil menuju kosan, Stev. Akhirnya nyampe juga setelah terombang-ambing di kapal.’
Meletakkan kembali ponselnya ke tas kecil, Zea lalu menoleh ke luar jendela untuk melihat pemandangan di luar sana. Rupanya mobil yang Rubi kemudikan mulai menjauh meninggalkan area pelabuhan.
“Kita nyampe kosan perkiraan berapa menit kalau dari sini?” tanya Zea.
“Hmm, sekitar sembilan puluh menitan.”
“Hah? Satu setengah jam? Kok lama banget?” Zea kira jaraknya dekat.
“Pelabuhan SJR tadi, ibaratnya baru pintu masuk. Kamu boleh tidur, nanti saya bangunkan saat sudah tiba,” jelas Rubi.
“Aku tadi udah tidur di kapal, jadi sekarang nggak ngantuk lagi.”
“Kamu nggak mabuk laut?”
“Kabar baiknya nggak.”
“Syukurlah.”
“Berarti kalau orang pengen keluar atau masuk Senjaratu nggak semudah itu dong?”
“Ya begitulah. Doakan saja semoga suatu saat ada bandara di Senjaratu.”
Zea terdiam.
“Kenapa? Kamu langsung menyesal karena akses transportasi di sini susah?”
“Bukannya begitu. Pak Rubi pikir aku nggak riset dulu sebelum ke sini? Aku udah tahu dan sangat tahu, tapi memutuskan tetap datang.” Sekarang Zea semakin paham, itu sebabnya banyak yang menolak saat dimutasi ke sini.
“Lalu itu kenapa?”
“Aku hanya penasaran, terus jarak dari kosan ke Bank Forena itu nggak jauh, kan?”
“Hanya tiga menit kalau naik motor atau enam sampai sepuluh menit kalau berjalan kaki.”
Zea mengangguk-angguk. “Syukurlah kalau dekat.”
Zea lalu menoleh ke arah jendela lagi. Ia hanya mendapati hutan, kebun atau semak belukar.
“I-ini jalannya bener, kan, Pak?”
“Bisakah kamu manggil saya Mas aja seperti yang lain? Saya belum se-tua itu.”
“Oh, maaf. Maksudnya Mas. Mas Rubi.”
“Jalannya udah benar. Kamu tenang aja, kamu hanya melewati jalan ini saat datang atau mau meninggalkan Senjaratu aja, kok. Tidak akan setiap hari begini.”
Rubi melanjutkan, “Untuk segala aktivitas, ya dilakukan di wilayah pusat. Makanya saya sarankan kamu tidur aja daripada berpikiran yang nggak-nggak saat melewati jalan yang pastinya asing banget bagi kamu.”
“Ini bukan hanya asing, tapi agak nggak wajar. Maksudku, aku nggak tahu ada tempat semacam ini.”
“Itu artinya mainmu kurang jauh,” balas Rubi. “Ngomong-ngomong kalau nggak mau tidur, saya ada roti dan nasi kotak barangkali kamu lapar. Minum pun ada,” tawarnya kemudian.
“Makasih, tapi untuk sekarang aku belum pengen makan apa pun.”
Sepertinya memang saran Rubi ada benarnya juga bahwa sebaiknya Zea tidur saja. Akhirnya, wanita itu berusaha memejamkan matanya sambil bersandar dengan nyaman.
***
Zea mengerjap-ngerjapkan matanya lalu perlahan matanya terbuka sepenuhnya. Rasa pegal langsung menyerang leher dan kakinya. Ternyata masih di dalam mobil dan belum nyampe juga.
“Wah, pas banget. Saya hampir aja bangunin kamu,” ucap Rubi saat menyadari wanita di sampingnya sudah bangun.
“Kita udah nyampe?” tanya Zea sambil melihat ke arah jendela.
“Saat ini … kita mulai memasuki kawasan Senjaratu pusat, di mana roda perekonomian Senjaratu berputar di sini. Segala aktivitas dari yang sederhana hingga yang luar biasa … berlangsung di sini.”
Zea tidak menjawab, tapi ia masih memperhatikan ke luar jendela. Nyatanya Senjaratu tidak se-peloksok yang Zea bayangkan. Di sini seperti pemukiman pada umumnya.
“Nah itu Forena,” kata Rubi lagi.
Bersamaan dengan itu, Zea melihat logo Forena yang sangat khas.
“Bank kebanggaan warga Senjaratu. Satu-satunya bank yang ada di sini,” tambah pria itu.
“Hah? Serius nggak ada bank lain?”
“Pernah ada beberapa, tapi selalu gulung tikar. Warga Senjaratu sepertinya sudah telanjur nyaman menjadi nasabah Forena karena nggak bisa dimungkiri … Forena itu bank pertama di sini. Dalam kata lain, mereka nggak bisa pindah ke lain hati.”
Zea mengangguk paham. “Kalau udah melewati Forena, berarti kita sebentar lagi nyampe dong? Katanya jaraknya….” Wanita itu tak melanjutkan kalimatnya karena mobil yang Rubi kemudikan mulai masuk ke halaman sebuah bangunan yang Zea pikir adalah kosan yang sedang dituju olehnya.
“Ini tempatnya, Mas?”
“Ya.”
Mereka pun turun dan tentu saja Rubi tak lupa menurunkan koper milik Zea.
“Sepertinya bangunan ini masih agak baru.”
“Bukan agak baru, karena memang baru. Lebih tepatnya baru direnovasi,” jelas Rubi. Ia lalu mengajak Zea berjalan menghampiri pintu tengah alias nomor dua karena totalnya ada tiga pintu.
“Kenapa harus yang tengah?”
“Karena nomor tiga udah ada penghuninya.”
“Kalau nomor satu?”
“Udah ada juga, cuma memang belum resmi pindah, baru booking aja. Tapi katanya, sih, dalam waktu dekat ini. Jadi, hanya tersisa yang nomor dua itu dan kamu tidak bisa milih.”
Zea mengangguk paham.
Rubi lalu memasukkan beberapa digit kode keamanan sehingga pintu pun terbuka.
“Wow, di sini udah pakai smart lock.” Zea agak takjub karena untuk ukuran kosan di desa, kosan yang akan ditempatinya ini terbilang sudah modern.
“Bangunan ini baru direnovasi dan pemiliknya memutuskan menggunakan smart lock. Nanti kartu aksesnya juga ada dan bisa digunakan kalau tidak mau ribet masukin password.”
Pintu berhasil dibuka dan mereka pun masuk. Zea merasa kosan ini melebihi ekspektasinya. Sungguh, ia pikir ini hanya bangunannya saja yang baru sedangkan isinya seperti kosan di gang sempit di kota-kota besar yang biaya sewanya di bawah satu juta per bulan.
Namun, nyatanya dalamnya pun patut diacungi jempol. Sepertinya pemilik kosan sungguh niat memberikan kenyamanan pada penyewa. Ini bisa dikatakan kosan elit walaupun lokasinya di desa. Tempatnya pun tidak sempit seperti yang sempat Zea bayangkan. Zea tentu tanpa ragu setuju untuk tinggal di sini tanpa perlu melihat-lihat kosan lain.
“Kamu boleh lihat-lihat atau istirahat … pokoknya terserah,” ucap Rubi. “Dan ini koper kamu.”
“Terima kasih ya, Mas Rubi. Soal p********n….”
“Semuanya sudah dilunasi oleh perusahaan,” kata Rubi. “Bahkan, Forena membayar saya selama tiga hari kerja, dalam kata lain sampai Minggu. Jadi kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja. Saya punya kewajiban untuk membantu terlebih saya sudah dibayar.”
Zea tidak heran, pasti Stevi ada di balik semua ini. Sahabatnya itu bukan hanya menyiapkan tempat tinggal yang sewa bulanannya ditanggung perusahaan, tapi sudah membayar jasa orang untuk mengangkut sekaligus antar-jemput dari pelabuhan ke kosan.
“Pokoknya kalau kamu butuh sesuatu atau ada yang diinginkan, kamu bisa tanya tetangga sebelah atau menghubungi saya di nomor ini.” Rubi menyerahkan sebuah kartu bertuliskan nama serta nomor ponselnya. “Saya juga udah nulis kode keamanan pintunya di situ. Nanti bisa diganti kapan-kapan karena kamu pasti merasa keberatan, kan, kalau saya tahu kode keamanannya,” sambungnya.
Zea melihat kode keamanannya sejenak lalu memutuskan menyimpannya untuk berjaga-jaga. Terlebih ada nomor ponsel Rubi di sana, siapa tahu saja sewaktu-waktu membutuhkannya.
“Tunggu Mas, maksudnya tadi tetangga pintu nomor tiga?” tanya Zea kemudian.
“Iya lah. Memangnya yang mana lagi? Nomor satu, kan, masih kosong. Penghuni nomor tiga itu orang baik dan bisa kamu mintain bantuan.”
“Kalau begitu iya, Mas. Aku paham.”
Setelah itu, Rubi benar-benar meninggalkan Zea dan menutup pintu kosan ini dari luar.
Selama beberapa saat Zea melihat-lihat tempat tinggal barunya itu. Benar-benar layak huni. Kamar mandinya pun terlihat nyaman dan yang pasti airnya mengalir deras. Kalau kitchen set dan mesin cuci … tadi Rubi sempat bilang ada di sebelah pintu kosan nomor tiga. Itu bisa digunakan bersama dan bergantian dengan para penghuni di sini.
Zea tidak masalah fasilitas mesin cuci dan dapurnya ada di luar atau digunakan bersama-sama secara bergantian dengan penghuni lain, toh hanya ada tiga pintu di sini jadi tidak akan ada drama antre apalagi rebutan atau saling mengusai. Terlebih penghuni nomor satunya masih belum resmi pindah.
Puas melihat-lihat, Zea merebahkan diri di kasur yang tampak baru saja diganti seprainya. Kepindahannya memang mendadak, tapi Zea bersyukur Stevi sungguh memberikan tempat tinggal yang sangat layak ini.
Zea ingin menelepon Stevi setidaknya untuk berterima kasih, tapi kenapa ponselnya tidak ada sinyal?
Oh, ini bahaya! Kalau begini caranya, Zea tak bisa menghubungi siapa-siapa, termasuk Rubi yang bisa menolongnya. Padahal saat baru meninggalkan pelabuhan, Zea yakin ponselnya ada sinyal sekaligus jaringan internet. Ia bahkan sempat membalas pesan orangtuanya dan pesan Stevi juga.
Hanya saja, kenapa sekarang tidak ada sinyal dan jaringan?
Tunggu, bukankah di kosan ini tersedia Wi-Fi gratis khusus penghuni? Benar saja, saat Zea mengaktifkan Wi-Fi di ponselnya, ditemukanlah jaringan Wi-Fi bernama ‘KOSAN NYAMAN’. Sekarang masalahnya adalah … password-nya apa? Zea butuh password-nya agar ponselnya bisa terkoneksi internet.
Setelah mencari password-nya barangkali dipajang tapi tidak menemukannya, akhirnya Zea memasukkan beberapa password secara random, termasuk kode keamanan pintu siapa tahu saja sama, kan? Ternyata semuanya salah. Zea pun tidak punya pilihan selain bertanya pada tetangga sebelah.
Tadi Rubi bilang tetangga nomor tiga itu baik dan bisa dimintai bantuan. Zea pun memberanikan diri untuk bertanya pada tetangga barunya itu. Toh tinggal memberi tahu password yang Zea butuhkan saja, kan? Tetangga pintu nomor tiga itu seharusnya tidak keberatan.
Zea tadi lupa bertanya, penghuni nomor tiga itu pria atau wanita. Ah, masa bodoh! Yang penting baik dan semoga ada orangnya.
Beberapa saat kemudian, Zea sudah berdiri di depan pintu nomor tiga dan menekan bel-nya. Namun, pintunya tak kunjung dibuka. Apa penghuninya sedang di luar?
Baru saja Zea hendak pergi, tiba-tiba pintu perlahan terbuka. Zea spontan bersyukur karena ada orang di dalam sana. Sampai pada akhirnya, pintu terbuka lebar dan Zea mendapati seorang pria yang bertelanjang bagian atasnya alias top less, sedangkan bagian bawahnya hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggang. Jelas sekali pria itu baru selesai mandi.
Sungguh, Zea kira penghuninya wanita, ternyata seorang pria.
“Ma-maaf….” Zea menghentikan ucapannya saat mendongak menatap wajah pria itu, ia langsung dibuat terkejut.
Sebentar, sebentar … jadi, penghuni kosan nomor tiga adalah Rubi Adnan?!
Rubi Adnan yang kini terlihat sangat seksi!
Oh tidak, mata Zea serasa berdosa melihatnya.