Setelah kejadian konyol gara-gara sekawanan bebek, Zea dan Rubi tentu menjadi sangat canggung sehingga tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka sepanjang perjalanan. Setelah tiba di kosan, Zea langsung mengucapkan terima kasih dan dengan langkah cepat segera masuk ke kosan nomor dua.
Sungguh, setelah itu Zea berusaha tidak keluar kosan dulu. Ia bukan hanya akan canggung, tapi sangat malu.
“Aku pasti gila. Bisa-bisanya nggak langsung menjauh,” gumam Zea yang masih disesalinya seharian hingga hari sudah malam begini.
“Astaga malu-maluin bangeeet!” Zea masih tidak habis pikir dengan sikapnya tadi pagi yang bukan Zea banget. Sekalipun Rubi sudah cukup banyak membantunya sejak Zea berada di sini, tetap saja pria itu masih masuk kategori orang asing bagi Zea.
Andai waktu bisa diulang, Zea tidak akan se-konyol tadi pagi yang malah memeluk dan tak langsung melepaskan.
Sekarang, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Zea merasa lapar karena belum makan. Terakhir Zea makan adalah tadi siang. Ya, tadi siang melalui jendela saat melihat Rubi pergi naik motor, Zea langsung bergegas ke rumah makan untuk membeli makan siang. Ia juga tidak lupa mampir ke minimarket untuk membeli beras, mi instan dan beberapa camilan serta minuman kaleng.
Sampai kemudian Zea sadar kalau rice cooker dan kompor berada di dapur yang letaknya samping pintu nomor tiga sehingga otomatis Zea harus ke sana jika ingin memasak. Itu tidak masalah jika saja Rubi tidak ada di rumah, masalahnya Rubi ada dan Zea sedang tidak ingin berpapasan dengan pria itu.
Ah, Zea menyesal kenapa harus ada kejadian konyol seperti tadi pagi, sih? Zea jadinya serasa sulit bergerak begini. Rasanya ingin terus menghindari Rubi saking malunya.
“Ini pasti sulit karena kami tinggal sebelahan,” gumam Zea lagi.
Parahnya lagi, Roti dan camilan tidak membuat Zea kenyang. Ia masih lapar dan untuk keluar Zea cemas jika nantinya secara kebetulan berpapasan dengan Rubi.
“Astaga. Sejak kapan aku jadi begini? Harusnya aku bersikap biasa aja. Kalaupun nggak sengaja berpapasan … tinggal sapa doang, kan? Toh Mas Rubi nggak akan membahas kejadian konyol sialan itu,” gumam Zea lagi.
Sampai kemudian, tiba-tiba bel berbunyi menandakan ada tamu yang datang. Zea penasaran siapa yang datang. Apa itu Rubi?
Sebelum membuka pintu, Zea sengaja mengintip melalui jendela dulu. Ia menyingkap tirainya sedikit dan langsung terkejut saat mengetahui yang datang adalah Rubi. Tahukah apa yang membuat Zea semakin terkejut? Pria itu langsung menoleh dan tersenyum, membuat Zea segera menutup kembali tirainya.
Namun, itu artinya Rubi melihat keberadaan Zea yang mau tidak mau, Zea harus membuka pintu sekarang juga. Sampai pada akhirnya, Zea membuka pintu.
“Ada apa, Mas?” tanya Zea, berusaha tidak terlihat canggung.
“Kamu baik-baik aja, kan?”
“Kok nanyanya gitu?”
“Soalnya kamu nggak keluar-keluar. Kamu tidur seharian?”
Boro-boro tidur!
“Ya, begitulah,” bohong Zea. Mana mungkin ia jujur seharian ini memikirkan sekaligus merutuki kejadian konyol tadi pagi?
“Kamu pasti belum makan malam, kan?”
Zea mengangguk-angguk. Bagaimana mau keluar untuk membeli makanan atau setidaknya memasak di dapur, sedangkan Zea tidak mau bertemu dengan pria yang berdiri di hadapanya ini.
“Kalau begitu kebetulan nih. Saya bawain nasi goreng buat kamu.”
Jangan ditanya betapa terkejutnya Zea.
“Ta-tapi aku, kan, nggak pesan.”
“Ini bukan karena pesan atau layanan jasa. Murni karena kita tetangga. Ini….”
Dengan ragu, Zea menerima kantong plastik yang ia yakini berisi nasi goreng sesuai yang Rubi katakan.
“Ma-makasih ya, Mas.”
“Kalau begitu, selamat makan.” Setelah mengatakan itu, Rubi masuk ke tempat tinggalnya.
Begitu juga dengan Zea yang langsung menutup pintunya dari dalam. Sumpah demi apa pun, jantungnya berdebar hebat selama pembicaraannya dengan Rubi barusan.
Ini gila. Zea yakin dirinya tak pernah begini sebelumnya. Bahkan, debarannya untuk Jefry … tak pernah se-hebat ini.
Aku pasti gila….
***
Pagi harinya, Zea bangun tidur agak kesiangan. Mungkin karena semalam ia tak bisa tidur karena terus memikirkan pria bernama Rubi Adnan. Zea tahu dirinya sangat kurang kerjaan yang bisa-bisanya terus memikirkan Rubi terlebih tak henti-hentinya mengingat momen sialan gara-gara sekawanan bebek.
Namun, Zea tak bisa mengendalikan pikirannya. Sekalipun Zea tak mau memikirkan Rubi, pikirannya malah terus tertuju pada pria itu.
Tidak heran jika Zea akhirnya bangun kesiangan akibat baru bisa tidur saat waktu telah melewati tengah malam. Seingat Zea, pukul satu pagi pun dirinya masih terjaga. Jadi, bukan hal aneh dirinya baru bangun jam delapan pagi begini.
Untungnya ini masih hari Minggu. Zea pastikan besok pada hari pertamanya masuk kerja tidak akan kesiangan begini.
Setelah mematikan lampu-lampu yang masih menyala, Zea lalu membuka tirai yang secara otomatis sinar matahari langsung masuk menerangi area kosan yang ditempatinya.
Semalam saat Zea tak bisa tidur, ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan cara membereskan isi koper yang belum sempat dirapikannya. Mungkin itulah salah satu hal baik dirinya tak bisa tidur semalam. Dengan begitu, seluruh pakaiannya yang semula masih betah di dalam koper kini telah tersusun rapi di lemari.
Tak hanya itu, Zea juga beres-beres sehingga kosan ini menjadi jauh lebih rapi. Ia mengatur barang-barang untuk diletakkan di tempat yang diinginkannya.
“Setidaknya ada satu hal baik aku merapikan semuanya. Ya, saat bangun tidur begini … mood-ku langsung bagus,” gumam Zea.
Zea lalu meraih ponselnya yang diletakkan di atas nakas samping tempat tidur. Sampai detik ini, ia masih belum ingin mengaktifkan nomor lamanya. Aplikasi khusus mengirim pesan pun Zea sengaja menggunakan nomor yang baru. Sungguh, ia masih belum ingin menerima telepon dari siapa pun dulu, termasuk orangtuanya dan Stevi.
Lagi pula Zea juga sudah mengirimi mereka pesan. Terakhir kali, Zea memberi tahu mereka kalau nomor Zea tak ada sinyal di sini. itu sebabnya untuk sementara Zea memakai nomor baru dan cepat atau lambat Zea akan menghubungi mereka nanti menggunakan nomor barunya itu.
Ya, nanti dan yang pasti bukan sekarang….
Zea tidak siap mendengar orangtuanya maupun Stevi mengabarkan kalau berita pernikahannya yang batal sudah tersebar dan diketahui oleh semua orang. Sungguh, mental Zea belum siap untuk hal tersebut. Bahkan, Zea juga sampai mencopot pemasangan aplikasi media sosial agar bisa menghindari terhubung dengan semua orang yang dikenalnya.
“Itu sebabnya ponselku sangat sepi sekarang,” gumam Zea sambil menatap layar ponselnya yang tidak ada satu pun notifikasi.
Meletakkan kembali ponselnya, Zea bergegas mengambil handuk lalu pergi mandi. Sambil mandi, pikirannya kembali teringat pada Rubi.
Mungkinkah ini salah satu keajaiban lantaran datang ke tempat baru? Tanpa butuh waktu lama, Zea seolah lupa kalau dirinya baru saja batal menikah dengan Jefry, karena semenjak di sini ia sama sekali tak pernah memikirkan pria itu.
Sepertinya Zea benar-benar mulai move-on dari pria yang yang sempat dicintainya itu. Lagian seharusnya tidak perlu lama-lama untuk move-on dari pria sialan seperti Jefry. Justru seharusnya Zea bersyukur karena batal nikah. Dengan begitu, ia tak perlu menjalani rumah tangga dengan pria yang telah menghamili wanita lain.
Kini hanya tersisa rasa malu yang Zea ragu apakah bisa menghadapinya atau tidak. Makanya ia memilih melarikan diri begini.
Sedangkan tentang menjalin hubungan lagi dengan seorang pria? Zea ragu. Jujur saja ia trauma dengan yang namanya hubungan spesial.
Selesai mandi, Zea masih mengenakan jubah mandi. Ia membuka lemari lalu mengambil pakaian santainya. Tidak lupa dalamannya.
Tunggu, kenapa hanya ada satu bra? Semalam Zea merapikannya. Zea berusaha mengingat-ingat … ke mana yang lainnya? Zea tahu ini hari keduanya di Senjaratu, meskipun bra yang sudah dikenakannya masuk ke keranjang kotor, secara logika Zea punya satu lusin lagi yang seharusnya berada di lemari.
Zea berusaha mengingat tentang semalam saat dirinya merapikan pakaiannya, lalu ia ingat … memang hanya tersisa satu. Itu artinya Zea hanya membawa sedikit.
Sial, apa ketinggalan di rumah?
Zea kembali memeriksa kopernya, siapa tahu ketinggalan di dalam. Namun, tetap saja nihil. Tidak ada benda yang dicarinya. Bahkan, tempat khusus untuk menyimpannya pun hanya ada satu pouch. Artinya Zea hanya bawa empat buah karena seingat Zea satu pouch terdiri dari empat buah. Dalam kata lain, wanita itu harus mode cuci kering pakai kalau mau aman dan jangan sampai kehabisan stok.
Tentu saja itu mustahil. Meskipun ada mesin cuci yang boleh dipakai oleh penghuni kost, tetap saja Zea tidak berencana mencuci setiap hari. Setidaknya ia akan mencuci dua atau tiga kali saja dalam seminggu.
Selesai mengenakan pakaian santainya secara lengkap, Zea kemudian membuka marketplace untuk memesan di toko online andalannya. Jujur saja, lebih baik membeli daripada meminta orang rumah mem-packing-nya lalu dikirimkan ke sini.
Zea kemudian memasukkan alamat terbarunya. Untungnya alamat kos ini terpajang di dekat pintu masuk bagian dalam, sehingga memudahkan Zea untuk memasukkan alamat barunya ke marketplace.
Saat hendak checkout, Zea langsung melotot saat melihat ongkirnya yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana tidak, ongkirnya tujuh kali lipat dari harga barang. Selain itu, estimasi tiba-nya paling cepat dua pekan atau bisa sampai satu bulan kalau terjadi keterlambatan. Apa-apaan ini?
Kalau begini caranya, lebih baik Zea membeli secara langsung di toko offline yang ada di sini. Zea yakin pasti ada supermarket di sini. Bila perlu, Zea akan meminta antar Rubi.
Minta antar? Bisakah Zea menghadapi Rubi tanpa rasa canggung juga disertai debaran hebat yang semakin menjadi-jadi?
Ah, seharusnya Zea bersikap biasa saja. Toh Rubi punya kewajiban untuk membantunya sampai hari ini. Jadi, untuk apa Zea sungkan? Terlebih Rubi saja tetap santai saat berhadapan dengannya.
Baiklah, akhirnya Zea memberanikan diri untuk meminta bantuan Rubi. Lagian hanya mengantar ke supermarket atau minimalnya toko pakaian yang lengkap. Catat, sekadar mengantar dan Rubi tak perlu tahu apa yang akan Zea beli.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Zea memberanikan diri keluar dari kosan yang ditempatinya untuk mendatangi Rubi. Zea harap pria itu ada di rumah, bukan sedang bekerja di luar rumah.
Bel sudah ditekan dan Zea hanya perlu menunggu respons Rubi. Jika dalam lima menit pintu tak kunjung dibuka, artinya pria itu sedang berada di luar. Sekalipun motor dan mobilnya ada, tapi bisa saja pria itu keluarnya berjalan kaki.
Sampai kemudian, pintu dibuka yang artinya Rubi memang ada di dalam. Namun, lagi-lagi Zea dibuat terkejut dengan penampilan Rubi. Seperti waktu itu saat Zea ingin meminta password Wi-Fi, saat ini pun Rubi hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya sehingga menampilkan perut kotak-kotak yang masih basah. Jelas sekali pria itu baru selesai mandi.
Bagian dadanya yang bertelanjang itu, tak bisa dimungkiri telah membuat Zea kembali merasa deg-degan. Ya, Zea berdebar hebat melihat Rubi yang sungguh seksi.
Apa karena Mas Rubi nggak pakai baju? Aku jadi seperti kehilangan akal sehat begini….
Sungguh, pemandangan semacam ini tak pernah Zea lihat sebelumnya. Selama ini, wanita itu hanya bisa melihatnya di drama atau film. Namun, kini berada di hadapannya langsung bahkan hanya berjarak kurang dari satu meter saja karena Rubi tepat berdiri di ambang pintu.
“Ada apa, Zea?” tanya Rubi kemudian.
Oh tidak! Godaan macam apa ini?
Setan dalam benak Zea tak henti-hentinya meracuni pikirannya dan seolah-olah menyuruh Zea untuk mendaratkan jemari lembutnya di perut kotak-kotak yang sangat menggoda itu.
“Sentuh itu, Zea! Sentuhlah semaumu! Ayo cepat lakukan!”
Memangnya Zea sinting atau apa yang sampai mengikuti nafsu setan yang mempengaruhinya agar menyentuh perut seksi Rubi yang menggoda? Tentu saja Zea cukup kuat sehingga pertahanannya tidak goyah semudah itu. Lagi pula, apa yang akan Zea katakan jika tiba-tiba Rubi bertanya alasan dirinya menyentuh perut pria itu.
Sungguh gila, bukan?
Ah, setidaknya Zea bersyukur hal semacam itu tidak sampai terjadi. Jika terjadi, entah di mana Zea akan menaruh wajahnya karena sungguh memalukan. Tentang pelukan tak direncanakan yang tadi pagi terjadi saja Zea masih sangat malu, jika ditambah lagi ini … entah Zea harus bagaimana lagi. Bisa-bisa ia akan resign dari menjadi tetangga Rubi.
Lagi pula, sejak kapan Zea punya pikiran omes begini?
Apa batal nikah membuat wanita itu benar-benar menjadi gila?
“Zea,” panggil Rubi lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
Zea sungguh telah kehilangan akal sehatnya. Bisa-bisanya melamun pada saat-saat begini.
“Iya, aku perlu bantuan Mas Rubi,” jawab Zea akhirnya.
“Bantu apa?”
“Tolong anterin aku ke pusat perbelanjaan, toserba atau apa pun itu … intinya yang lengkap segalanya ada.”
“Kalau boleh tahu, apa yang ingin kamu beli? Kalau saya tahu detailnya, saya bisa memutuskan membawa kamu ke mana,” kata Rubi. “Jadi, ada dua tempat yang mungkin bisa diputuskan yang mana yang perlu didatangi, salah satu aja. Tentunya sesuai kebutuhan kamu. Memangnya kamu mau beli apa?”
“Intinya pakaian.” Zea berharap Rubi tidak perlu bertanya lebih jauh karena pakaian itu sudah sangat jelas informasinya.
“Oke, kalau begitu mau kapan? Sekarang, nanti sore atau malam? Saya bisa bisa kapan aja sesuai kamu maunya kapan.”
“Sekarang.”
“Kalau begitu saya siap-siap dulu, ya.”
“Naik mobil, kan?” tanya Zea kemudian.
“Naik mobil atau naik motor, semuanya boleh. Tergantung kamu maunya naik apa.”
“Mobil aja, gimana?”
Ya, Zea tidak mau kejadian konyol tadi pagi terulang sehingga naik mobil adalah satu-satunya opsi terbaik.
“Oke! Kalau begitu saya pakai baju dulu. Enggak akan lama, kok.”
“Aku juga mesti ganti baju dan siap-siap.”
“Kalau begitu, keluarlah saat kamu sudah siap berangkat.”
Tanpa menjawab, Zea bergegas kembali ke kamar kosnya. Setelah menutup pintu dari dalam, sejenak Zea masih menyandarkan punggungnya pada pintu. Tangan Zea menyentuh dadanya.
Sungguh, jantungnya berdetak sangat cepat. Padahal belum genap 48 jam Zea berada di sini, tapi wanita itu merasa sudah hampir gila!
Tuhan, bagaimana cara menghilangkan debaran hebat yang sungguh sialan ini?