Bab 10 - Mimpi Aneh

1842 Kata
Zea bersyukur Rubi mengajaknya makan siang dulu sebelum melakukan perjalanan ke pusat perbelanjaan. Bagaimana tidak, jaraknya lumayan jauh dan memakan waktu hampir satu jam. Ah, lebih tepatnya tadi itu sarapan sekaligus makan siang karena Zea memang boro-boro sempat sarapan. Tiba di pusat perbelanjaan, Zea langsung mencari sesuatu yang diperlukannya. Sejujurnya ia tidak menemukan merek yang biasa dipakai olehnya, tapi setidaknya ia menemukan yang kelihatannya nyaman. Ukurannya pun tersedia. Zea membeli cukup banyak, termasuk celana dalamnya juga. Berhubung sudah jauh-jauh ke sini, Zea juga sekalian melihat-lihat. Hasilnya? Ia sekalian membeli setelan tidur, celana kerja, sepatu dan sandal yang lucu. “Stev, makasih banyak. Akhirnya aku pakai uang yang kamu kasih,” batin Zea. Stevi memang memberikan uang saku yang cukup banyak. Zea sudah menolaknya tapi Stevi terus memaksa sehingga mau tidak mau Zea menerimanya. Stevi bilang, anggap saja itu untuk obat patah hati Zea. Sekalipun tidak menyembuhkan hingga pulih seratus persen, tapi setidaknya Zea punya semangat hidup lagi dengan berbelanja seperti ini. Kini tangan Zea menenteng beberapa paperbag di kanan dan kirinya. Untungnya Rubi segera datang dan membantunya. Tadi, Zea memang meminta Rubi agar tidak mengikutinya karena ia tidak mau pria itu mengetahui apa saja yang Zea beli. Kabar baiknya, Rubi menurut dan tanpa protes. Rubi bahkan sempat bilang, privasi klien-nya itu paling utama. Setelah memasukkan seluruh belanjaan Zea ke dalam mobil, baik Zea maupun Rubi kini masuk ke mobil dan bersiap untuk pulang. Tak lama kemudian, mobil yang Rubi kemudikan mulai melaju meninggalkan area pusat perbelanjaan. Setidaknya Zea bersyukur karena tak ada pembicaraan soal bebek kemarin. Rubi benar-benar bersikap biasa saja. Hal itulah yang membuat Zea bisa se-santai Rubi. Ya meskipun tak bisa dimungkiri Zea masih berdebar hebat, terutama saat bertatapan dengan pria yang saat ini fokus mengemudi di sampingnya itu. Untuk mengalihkan fokusnya, Zea merogoh ponsel dalam tas kecilnya. Jangan ditanya apakah ada notifikasi, jelas tidak ada. Namun, Zea yakin jika dirinya mengaktifkan aplikasi pesan dengan nomor lamanya, sudah pasti notifikasi akan masuk tanpa henti. Hanya saja, Zea merasa sekarang bukanlah waktunya. Zea kemudian melebarkan matanya saat melihat jam di ponselnya. “Sebentar, ini udah jam tiga lewat?” “Ya, kamu nggak sadar, kan, berapa lama kamu belanja? Apa kaki kamu nggak pegal?” Ah, pantas saja Zea merasa lapar. Sialnya, tak lama kemudian perutnya berbunyi. Sungguh memalukan! “Kamu lapar? Kita mampir di tempat makan dulu, ya.” “Enggak, nggak!” tolak Zea. “Aku memang mau makan, tapi nggak di sini. Gimana kalau pas udah dekat aja?” “Tapi perutmu….” “Aku bisa menahannya. Toh mobilnya udah jalan beberapa menit. Enggak sampai satu jam, kita udah nyampe di Senjaratu pusat. Iya, kan?” “Baiklah kalau begitu,” balas Rubi. “Sebagai pengganjal perut, saya punya roti kalau kamu mau.” Sambil menyerahkan kantong belanja, Rubi berkata, “Ada camilan dan minuman segar juga.” “Makasih ya, Mas.” Zea kemudian menerimanya. “Maaf juga, seharusnya aku yang ngasih ini ke Mas Rubi. Apalagi Mas Rubi udah nungguin aku belanja lumayan lama.” Rubi tersenyum, dengan mata yang terus fokus ke arah jalanan, pria itu mengatakan, “Itu memang tugas dan tanggung jawab saya. Jangan lupa, saya sudah di-booking tiga hari untuk melayanimu sebagai klien VIP.” “Klien VIP?” kekeh Zea. “Sekarang makanlah rotinya.” Zea tersenyum. “Sekali lagi makasih.” Sekalipun berdebar, tapi tak bisa dimungkiri … Zea merasa nyaman saat berada di dekat Rubi. Zea tahu ini aneh, tapi nyata adanya. *** “Maaf ya, kita tiba lebih lambat dari seharusnya. Saya nggak tahu kalau pulangnya harus melalui jalanan alternatif. Apalagi jalanan alternatifnya baru pertama kali saya lewatin, jadi saya sempat ragu dan itu bikin lama,” jelas Rubi saat dirinya dengan Zea sudah duduk di satu-satunya restoran favorit di Senjaratu. Sejujurnya, semenjak menjadi warga Senjaratu, Rubi lebih sering makan di rumah makan alih-alih restoran begini. Tapi berhubung Zea ingin direkomendasikan restoran favorit di sini, tentu saja Rubi langsung membawanya ke sini. “Kenapa minta maaf? Bukan salah Mas Rubi, kok. Lagian aku udah makan roti, jadi lumayan buat mengisi perut di perjalanan. Nah, sekarang udah nyampe sini … kita hanya perlu menunggu sampai pesanan kita diantar ke sini.” Zea dan Rubi duduk berdampingan menghadap jendela kaca sehingga bisa langsung melihat suasana di luar sana. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore dan hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di jalanan serta bangunan-bangunan di sekitar restoran sudah dinyalakan. “Ngomong-ngomong itu tempat apa?” tanya Zea sambil menunjuk pada bangunan di seberang restoran ini. Rubi menoleh ke arah yang saat ini Zea perhatikan. Pria itu menjawab, “Itu kelab malam.” Zea yang terkejut langsung menoleh pada Rubi. “Serius?” “Kamu pikir saya bercanda?” “Maksudnya, aku kira orang-orang sini….” Zea tak melanjutkan kalimatnya karena ia yakin Rubi pasti paham dengan maksudnya. “Warga sini juga manusia yang terkadang butuh tempat hiburan malam,” jawab Rubi. “Lagian jangan samakan kelab malam di sini dengan di kota, ya. Di sini sekadar hiburan dan nggak ada aktivitas menyimpang seperti prostitusi, judi atau obat-obatan terlarang. Seperti yang kamu tahu, tingkat kriminalitas di sini sangat rendah, jadi kamu nggak akan menemukan aktivitas yang barusan saya sebutkan.” Rubi berbicara lagi, “Baik, sepertinya kamu masih penasaran, terlihat dari raut wajahmu. Di sana dugem ada, alkohol pun ada, tapi sama sekali nggak ada aktivitas menyimpang yang saya sebutkan tadi.” “Bagus dong, jadi tempatnya cocok buat yang cuma pengen cari hiburan sesaat karena aku juga nggak suka aktivitas-aktivitas menyimpang yang Mas Rubi sebutkan.” “Di sana juga orang minum hanya sebatas wajar aja, jarang yang sampai mabuk parah apalagi sampai membuat onar. Kalau berani bikin onar, siap-siap di-blacklist dan dilarang datang lagi selamanya,” jelas Rubi. “Selain itu, tempatnya berizin. Jadi diawasi oleh pejabat daerah Senjaratu.” “Mas Rubi sering ke situ?” “Hanya sesekali. Bisa dibilang sangat jarang.” “Ah iya. Mas Rubi, kan, orang sibuk.” “Nah, itu tahu.” Rubi tidak berbohong yang memang kenyataannya sangat jarang datang ke kelab malam di sini. Ia pernah sesekali, itu pun pas awal-awal dirinya tinggal di Senjaratu. Tepatnya sebelum Rubi tahu bagaimana cara melupakan luka di hatinya tanpa datang ke tempat hiburan malam. Sekarang, Rubi sudah tahu caranya yaitu dengan menyibukkan diri. Ya, hal itu sudah cukup untuk membuat Rubi melupakan segala tentang pernikahannya yang hancur. “Kamu mau coba mampir?” “Ke kelab? Enggak,” jawab Zea. “Lagian besok hari pertama kamu kerja, bukan?” “Ya. Aku nggak punya alasan ke kelab malam terlebih besok harus bangun pagi.” Di Jakarta, Zea tidak se-polos itu yang tidak pernah masuk kelab. Ia beberapa kali datang tentunya bersama Stevi. Namun, jika ditawari untuk mampir ke kelab di Senjaratu, Zea merasa tidak dulu. Seperti yang Rubi bilang, besok adalah hari pertama Zea bekerja. Mana mungkin ia mampir ke kelab apalagi sampai minum alkohol walaupun sedikit? Bersamaan dengan itu, makanan yang mereka pesan sudah dihidangkan oleh pelayan. Keduanya pun mulai menyantap hidangan milik mereka masing-masing. *** Namanya kafe Pelangi. Selama berpacaran dua tahun hingga akhirnya mau menikah, Zea dan Jefry sudah menjadikan kafe ini sebagai tempat favorit mereka. Hampir setiap weekend, mereka pasti nongkrong di kafe tersebut. Bisa dibilang kafe Pelangi telah menjadi saksi. Bahkan, dua tahun yang lalu, Jefry nembak Zea di tempat ini. Sekarang tanpa terasa satu bulan lagi mereka akan resmi menikah. Segala persiapan pun sudah dilakukan. Hanya perlu menunggu waktu mereka benar-benar menjadi pasangan resmi lalu membina rumah tangga yang bahagia. “Jef, ini terakhir kali kita ketemu, kan? Katanya, setelah ini kita nggak boleh ketemuan dulu sampai hari H. Pasti kangen banget, tapi percayalah nanti semuanya terbayar di hari H, kita bertemu lagi dan status kita pun akan berubah menjadi suami dan istri.” Zea mengatakannya dengan mata berbinar, kemudian meminum kopi dingin miliknya. “Zea,” panggil Jefry kemudian. Sorot matanya jelas menunjukkan ada sesuatu yang serius. “Apa apa, Jef?” “Bagaimana kalau kita batalkan saja pernikahannya?” Zea hampir saja tersedak. Jika yang Jefry katakan adalah lelucon, orang gila mana yang memberikan lelucon semacam itu saat menjelang pernikahan? Namun, jika Jefry bersungguh-sungguh … bukankah pria itu benar-benar gila? Zea sebenarnya syok, tak pernah terpikirkan kalau Jefry akan mengeluarkan kalimat semacam itu. Hanya saja, untuk sementara Zea berusaha tenang. “Apa kamu bilang, Jef?” “Kita batalkan saja pernikahannya.” Kali ini Jefry berbicara dengan lebih tegas dan penuh penekanan dalam setiap katanya. Sesak, sedih, merasa hancur. Zea masih berharap kalau Jefry hanya sedang mengerjainya. Sialnya, wajah dan tatapan Jefry sangat serius. Sambil menahan tangisnya, Zea bertanya, “Aku boleh tahu alasannya, kan?” “Sejujurnya, aku punya wanita lain.” Hacur sudah hati Zea. Hancur berkeping-keping. “Aku berencana menikahinya alih-alih menikahimu. Maaf Zea, aku nggak punya pilihan karena dia juga udah hamil.” Rasa sedih dan hancur hati Zea kini berubah menjadi amarah. Kalaupun pernikahan ini batal, kenapa tidak dibicarakan sejak awal saja? Sebelum persiapannya sudah se-matang ini. Ya, teganya Jefry melakukan ini. “Aku tahu aku salah, tapi ini sudah menjadi keputusanku. Jujur, aku juga merasa berat….” PLAK! Satu tamparan mendarat dengan kerasnya di pipi Jefry. Tak hanya itu, Zea yang kini berdiri, langsung mengguyurkan sisa es kopinya ke wajah pria di hadapannya itu. “Ah, sial. Seharusnya tadi aku pesannya kopi panas aja.” Namun, Jefry tidak melawan sama sekali. Pria itu membiarkan Zea meluapkan amarahnya, tak peduli kalau mereka sudah menjadi pusat perhatian para pengunjung lain. “Sekarang aku ulangi, ya. Rencana pernikahan kita resmi dibatalkan dan catat … akulah yang seharusnya membatalkannya, bukan kamu,” kata Zea. “Ya, terserah kalau begitu. Sejujurnya selama ini aku nungguin momen ketahuan selingkuh, tapi bisa-bisanya kamu nggak menyadarinya sampai aku harus mengakui begini. Tapi ya sudahlah, intinya … semoga kamu bisa menemukan pria baik dan nggak berengsek seperti aku.” “Ingat Jef, karma nggak pernah salah alamat!” Setelah mengatakan itu, Zea meraih tasnya kemudian bergegas pergi meninggalkan Jefry. Rasanya seperti mimpi buruk, tapi apa yang terjadi pada Zea adalah nyata. Keluar dari kafe, Zea mulai linglung, kakinya lemas, tangisnya hampir pecah … sampai kemudian Zea memutuskan pulang. Ia menyeberangi jalan tapi tiba-tiba sebuah mobil hendak menabraknya. Zea yang syok dan kakinya seakan tak bisa bergerak, sudah memikirkan kemungkinan terburuk jika dirinya tertabrak mobil. Sampai kemudian ada seorang pria yang menyelamatkannya. Ya, pria itu menarik tangannya dan berhasil membawa Zea terjatuh bersamanya ke samping jalan. --- Sontak Zea membuka matanya. “Mimpi itu lagi,” gumam Zea. Ya, sudah beberapa kali Zea mengalami mimpi aneh. Mimpinya yang memang nyata terjadi saat terakhir dirinya bertemu Jefry. Bedanya, dalam dunia nyata saat itu Zea langsung naik taksi. Tidak ada acara hampir tertabrak mobil apalagi diselamatkan seorang pria misterius. Namun, versi mimpi … anehnya Zea selalu hampir tertabrak lalu ada seorang pria yang menyelamatkannya. Pria yang Zea sendiri tak ingat wajahnya karena memang tak melihatnya. Zea sampai bertanya-tanya … itu mimpi macam apa? Karena nyatanya tidak ada kejadian hampir tertabrak lalu seorang pria misterius datang menyelamatkannya. Jika mimpi hanyalah bunga tidur, kenapa mimpi yang sama harus datang berulang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN