“Maaf ya Mas Rubi, padahal saya sudah nyicil barang-barang buat kos di sini, tempatnya pun saya suka, tapi takdir berkata lain,” ucap seorang wanita yang merupakan calon penghuni pintu nomor satu yang akhirnya memutuskan batal tinggal di Kosan Nyaman.
“Tidak perlu meminta maaf karena ini memang bukan salahmu,” balas Rubi. “Terkadang orangtua memang nggak pengen jauh-jauh dari anaknya. Itu wajar.”
“Padahal mereka yang mengizinkan, giliran waktunya mendekati pindah … bisa-bisanya mendadak berubah pikiran. Apalagi ibu sakit-sakitan, jadi itu cukup membuat saya mantap tetap tinggal di rumah aja, supaya setiap hari bisa bertemu dengan ibu. Saya pikir kemarin-kemarin hanya emosi sesaat lantaran butuh suasana baru.”
“Tapi pada akhirnya, tempat tinggal terbaik adalah rumah, betul?” tanya Rubi.
“Ya, betul. Hmm, kosan ini sangat nyaman sesuai namanya, sejujurnya cukup disayangkan saya batal tinggal di sini.”
“Saya akan kembalikan uang DP-nya.”
“Loh, sejak kapan ada DP yang bisa dikembalikan? Tidak perlu, Mas. Saya ke sini hanya mau ambil barang-barang sekaligus bilang kalau saya batal tinggal di sini, bukan untuk meminta pengembalian DP.”
Wanita itu melanjutkan, “Lagian saya sudah pegang kartu akses dan ganti password-nya. Udah pernah menginap semalam … jadi mana mungkin meminta pengembalian DP?”
“Enggak apa-apa.”
Wanita itu menggeleng. “Daripada mengembalikan DP, gimana kalau Mas Rubi bantu saya ambil barang-barang yang masih ada di dalam?”
Rubi tersenyum. “Baiklah kalau begitu.”
Bersamaan dengan itu, Zea keluar dari pintu nomor dua. Sejenak wanita itu memperhatikan ke arah pintu nomor satu di mana ada Rubi bersama seorang wanita. Zea sempat tersenyum kemudian mengisyaratkan pamit untuk berangkat menuju Forena.
“Nomor dua udah ada penghuninya, Mas?” tanya wanita itu tepat setelah Zea menghilang dari pandangan mereka.
“Baru beberapa hari ini,” jawab Rubi. “Kalau begitu, mari saya bantu ambil barang-barangmu.”
“Ya, tolong bantu yang bisa dibawa sekarang ya, Mas. Sisanya besok lagi aja karena nggak bakalan keburu. Terutama isi lemari yang telanjur saya susun, harus saya masukin ke koper lagi pakaian-pakaiannya dan itu nggak bisa sekarang karena saya ada urusan.”
Rubi tentu paham kalau isi lemari adalah privasi, makanya ia tidak akan menawarkan diri untuk memasukkan pakaian-pakaian wanita itu ke dalam koper.
“Pokoknya paling lambat besok … saya beri tahu password pintu yang udah saya ubah sekaligus mengembalikan kartu aksesnya.”
“Ya, santai aja,” pungkas Rubi.
***
Sementara itu, Zea yang saat ini berjalan kaki menuju Forena, mulai berpikir … apa wanita tadi adalah calon penghuni kosan nomor satu? Ah, dugaan Zea pasti benar karena ia sempat melihat pintu nomor satu terbuka lebar, ditambah lagi ada beberapa barang di terasnya. Sedangkan Rubi pasti akan menyediakan jasa pindahan.
Sepuluh menit kemudian, Zea sudah tiba di kafe tepat di samping Bank Forena. Semenjak berada di sini, Zea sudah beberapa kali lewat kantor tempatnya bekerja dan langsung menandai keberadaan kafe di samping kantor.
Bukannya apa-apa, pada hari pertamanya bekerja di sini, Zea merasa sebaiknya jangan datang dengan tangan kosong. Hal paling masuk akal yang Zea pikirkan adalah mentraktir kopi.
Zea memang sengaja datang lebih pagi agar bisa memesan kopi dulu. Untungnya kafenya sudah buka meskipun masih sepi. Bahkan, yang menjaganya pun sebenarnya masih bersiap-siap. Sepertinya Zea adalah pembeli kopi pertama hari ini.
“Selamat pagi, mau pesan apa?” tanya wanita muda dengan begitu rumahnya.
“Sebentar, ya,” balas Zea yang saat ini sedang berusaha menghubungi Jati, atasan sekaligus satu-satunya orang di Forena Senjaratu yang pernah berinteraksi dengan Zea. Syukurlah Zea sempat mengabarkan kalau dirinya telah mengganti nomor sehingga Jati tidak akan bingung meskipun Zea menelepon menggunakan nomor baru.
“Halo, iya, Zea?” sapa Jati di ujung telepon sana.
“Maaf Pak, menghubungi pagi-pagi begini. Aku sedang di kafe samping Forena dan ingin memesan untuk yang lain, tapi aku nggak tahu apa yang mereka suka.”
“Oh, kalau begitu kamu tanya Nirina saja.”
“Nirina?”
“Dia yang jaga kafe. Dia sudah hafal apa saja yang biasa dipesan para staf Forena.”
“Kalau begitu makasih ya, Pak.”
Setelah sambungan telepon terputus, Zea langsung menghampiri Nirina, wanita muda yang siap melayani pesanannya. Zea yakin tidak salah orang karena name tag-nya pun bertuliskan NIRINA.
“Nirina, bisakah membuatkan pesanan untuk semua staf Forena? Sesuai yang biasa mereka pesan,” pinta Zea. “Plus satu buat aku. Vanilla late dengan sedikit gula, jangan banyak-banyak.”
“Dengan senang hati,” balas Nirina. “Kalau boleh tahu, kakak siapa?”
“Kenalin, aku Zea. Aku staf baru Forena.”
“Wah, selamat datang Kak Zea. Kalau begitu aku siapin bill-nya dulu, ya.”
Zea mengangguk-angguk.
Setelah membayar, Nirina menyerahkan struk bukti pembayarannya pada Zea.
“Terima kasih, Kak Zea. Nanti aku antar ke kantor, ya.”
“Enggak apa-apa?”
“Enggak apa-apa dong, daripada Kak Zea nunggu lama. Jadi, aku buatkan punya Kak Zea dulu, ya.”
“Hmm, sekalian aja dibarengin dengan yang lain,” balas Zea. “Tolong antar seenggaknya setengah jam lagi, ya. Aku pikir belum ada yang datang karena aku memang sengaja datang lebih awal.”
“Siap. Aku paham, Kak.”
“Terima kasih ya, Nirina.”
“Dengan senang hati, Kak.”
Zea berjalan ke Forena dan bersyukur pintunya sudah dibuka. Tadinya ia sempat mengira kalau pintu kantor masih dikunci, syukurlah sudah dibuka sehingga Zea bisa langsung masuk, sekalipun belum tahu dirinya akan duduk di mana. Lagian, siapa tahu saja sudah ada yang datang. Jadi, Zea akhirnya masuk.
Betapa terkejutnya Zea sesaat setelah membuka pintu, kertas warna-warni yang berasal dari confetti gun langsung menghujani badannya. Bersamaan dengan itu, tepuk tangan yang merupakan bagian dari sambutan hangat para staf Forena langsung menambah riuh suasana.
Zea salah mengira, rupanya semua staf sudah datang. Apa mereka sengaja datang lebih awal hanya untuk menyambutnya? Oh, ini sungguh luar biasa.
Zea kemudian disambut oleh kepala cabang, ketua tim yang sempat Zea hubungi tadi serta seluruh staf yang ada, termasuk security. Betapa senangnya Zea, semuanya menyambut dirinya dan Zea bisa merasakan ketulusan mereka.
“Selamat bergabung ya, Zea.”
“Semoga betah di Senjaratu, ya.”
“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang.”
“Yeay, bertambah satu bestie kita!”
“Cabang kita pasti bakalan lebih luar biasa kedatangan wanita se-cantik Zea.”
“Terima kasih semuanya, terima kasih banyak. Mohon bimbingan dan kerjasamanya.” Hanya itu yang bisa Zea katakan.
“Zea, itu tempat duduk kamu.”
“Terima kasih, Pak,” balas Zea.
“Ah iya, aku nggak tahu kalian semua udah datang. Aku sebenarnya udah pesan kopi. Aku bilang diantar ke sini setengah jam-an lagi. Andai tahu kalian udah datang … mungkin aku bakalan langsung bawa.”
“Bukan masalah, Zea. Nanti juga diantar, kok.”
Setelah saling memperkenalkan diri, Zea kemudian duduk di tempatnya. Berhubung jam operasional masih belum dibuka, sejenak ia melihat-lihat area desk yang akan ditempatinya setiap hari. Sedangkan staf lain ada yang ke toilet, ada yang masih merapikan riasan, ada yang masih memainkan ponsel dan lain-lain.
Tak lama kemudian, pintu didorong dari luar.
“Halo, Mas Rubi!” sambut para staf yang hampir semuanya antusias dengan kedatangan Rubi.
Rupanya Rubi datang membawa semua kopi yang Zea pesan. Selama beberapa saat, Zea menatap Rubi yang nyaris selalu tampan dalam setiap keadaan, apalagi saat mode ‘bekerja’ seperti ini … ketampanan Rubi bertambah berkali-kali lipat.
Namun, Zea segera menggeleng. Apa-apaan ini? Bisa-bisanya ia terpesona pada Rubi se-pagi ini. Padahal tadi sebelum berangkat kerja, Zea sudah bertemu dan tidak sampai segininya.
Rubi membagikan seluruh kopi yang memang ada nama-namanya pada cup. Sepertinya Rubi sudah mengenal semua staf di sini. Terakhir, Rubi memberikan vanilla latte milik Zea. Namun, tak hanya itu, Rubi juga memberikan sebuah kotak yang Zea sendiri belum tahu apa isinya.
“Ini....”
“Ini apa, Mas? Isi dalam kotak ini,” tanya Zea pelan, agar tidak mengundang perhatian staf lain.
“Roti panggang. Kamu belum sarapan, kan? Jadi sarapan dulu sebelum minum kopi,” kata Rubi. “Makanlah sebelum bank mulai buka.”
“Te-terima kasih,” balas Zea agak gugup.
Deg.
Zea tidak paham, kenapa dirinya selalu berdebar hebat saat berhadapan dengan Rubi? Terlebih keadaan terus membuatnya tak henti-hentinya bertemu dengan pria itu. Oke, kalau di kosan mereka memang tetangga, wajar kalau sering berpapasan. Masalahnya adalah … bisa-bisanya ia bertemu Rubi di Forena? Bahkan, Rubi repot-repot menyiapkan sarapan untuknya.
Sampai detik ini, Zea sungguh belum menemukan jawaban tentang bagaimana cara agar bisa mengendalikan debaran hebat sialan ini?
Ini … semakin bahaya!