13. Tidak Sesuai Harapan

1333 Kata
Di dalam mobil Alice melirik Damian dengan sedikit rasa takut. Dia merasa tidak enak hati karena dengan adanya dia, hubungan Damian dengan Alexis kian memburuk. Seandainya saja dia tidak menyanggupi ajakan makan malam ini, mungkin tuannya dan Alexis bisa kembali membaik. Alice mengembuskan napas panjang, dia menyandarkan punggungnya dengan pelan. "Apa yang sedang kau pikirkan, Alice?" tanya Damian tiba-tiba. Pria itu seolah paham dengan isi kepala Alice. Alice menggeleng ringan. "Tidak ada, Tuan. Aku hanya merasa tidak enak," ungkapnya. Damian mengernyit. "Tidak enak untuk?" "Untuk yang tadi. Kalian bertengkar hanya gara-gara aku. Seandainya aku tidak menggunakan dress ini, mungkin Nyonya Alexis tidak akan semarah itu." Bukannya marah, Damian justru tertawa pelan. Pria itu menghela napas panjang. "Alice, Alice. Kau tidak perlu merasa tidak enak begitu. Alexis memang begitu sifatnya, sejak awal berpacaran kami memang sering sekali bertengkar. Bahkan, nyaris di setiap pertengkaran dia yang memulai. Dan soal yang tadi, lupakan saja. Jangan terlalu dipikirkan." "Tapi, aku ..." "Aku ingin malam ini kita fokus makan malam, Alice. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi soal Alexis!" ujar Damian dengan nada sedikit meninggi. Sontak nyali Alice menciut, gadis itu hanya bisa mengangguk dan menunduk dalam. "B-baik, Tuan." Beberapa menit kemudian. Sedan mewah itu terparkir di sebuah restoran cepat saji yang berada di dekat sungai besar. Sengaja Damian memilih restoran ini karena menawarkan makanan dan view yang cukup menarik. Sebab dia tahu Alice yang notabene hanya seorang pelayan ini pasti belum pernah merasakan masuk ke dalam restoran mahal seperti ini. Dan Damian ingin membuat Alice merasakannya sekarang. Namun, begitu keduanya menuruni mobil, tampak jelas wajah tidak nyaman yang Alice perlihatkan. Beberapa kali gadis itu mengusap tengkuknya sendiri dengan pelan. "Tuan, apa ini tidak berlebihan? Maksudku, aku hanya seorang pelayan. Tidak pantas rasanya jika harus masuk dan makan malam di tempat semewah ini," ujarnya berisik. Damian tersenyum tipis. "Siapa yang peduli apa profesimu? Selagi kau bisa membayar, restoran ini akan menyambut mu dengan baik. Bukan kah semua hal hanya soal uang?" Dia kembali tersenyum, menyodorkan tangannya untuk digenggam oleh Alice. Namun, sepertinya gadis manis itu tidak begitu paham dengan kode yang Damian berikan. Karena gemas pria itu membimbing tangan Alice, menggenggamnya dengan erat. "T-tuan, ini ..." "Ssstt, berjalan lah di sampingku. Ini perintah, Alice!" serunya. Mendengar itu Alice hanya mengangguk patuh. Dia berjalan beriringan dengan Damian memasuki restoran mewah itu. Tiba di dalam sana, keduanya duduk dan lekas memesan beberapa menu yang tertera di sana. Dan selama menunggu menu datang, Alice tidak hentinya mengedarkan pandangan dengan tatapan takjubnya. Sesekali terdengar decakan kagum dari bibir kemerahan itu. "Apa kau menyukainya, Alice?" tanya Damian pelan. Sontak gadis itu mengangguk mantap. "Iya, Tuan. Aku sangat menyukainya. Ini kali pertama aku makan di tempat yang mewah seperti ini." Damian tersenyum tipis. Dia seperti bukan melihat sosok Alice di hadapannya, melainkan Grisa. Sungguh, demi apa pun mereka benar-benar sangat mirip. Bahkan seandainya Alice ini mengaku sebagai adik kandung Grisa, semua orang pasti akan mempercayainya. Sebab, dari wajah hingga tingkah laku, Alice betul-betul mirip sekali dengan Grisa. Hanya saja nasib keduanya sungguh berbeda 180 derajat. Grisa sudah terbiasa hidup mewah sedari lahir, sedangkan Alice bahkan harus bekerja di usia muda demi membiayai hidupnya. "Tuan, hidangannya ..." ujar salah satu pelayan restoran begitu hidangan yang mereka pesan tiba. Seketika lamunan Damian buyar, dia beralih memandang pelayan itu dengan senyuman. Dan begitu dia pergi, Damian mengalihkan pandangannya kepada Alice. "Makan lah, kita mengobrol lagi setelah ini." *** Charles menuruni tangga dengan tatapan tajamnya. Pria itu menghampiri wanita yang saat ini duduk di ruang tamu dengan tangis sesegukan. Dia lantas duduk di sana, memandangi sang putri yang masih saja mengeluarkan isakannya. "Sayang, apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Mengapa tiba-tiba saja pulang dalam keadaan menangis begitu?" tanya Charles kepada sang putri, Alexis. Mendapatkan pertanyaan begitu, Alexis langsung mengangkat wajahnya. Wanita itu menyeka air matanya sebentar. "Damian memutuskan hubungan kita, Pa. Dia memutuskanku hanya demi seorang pelayan kampungan yang ada di rumahnya," ungkap Alexis masih dengan suara serak. "Apa?!" Charles menatap tajam. Dia tidak percaya dengan apa yang Alexis katakan. " ... jangan main-main Alexis, kau membuat Papa merasa ragu dengan selera Damian. Dia tidak mungkin menyukai seorang pelayan kampungan. Papa sudah mengenal Damian sejak lama," imbuhnya. Namun, Alexis terlihat mengangguk kuat. Dia bersikeras meyakinkan sang papa bahwasanya benar, Damian memang sedang dekat dengan pelayan rumahnya. "Aku berkata jujur, Pa. Damian memang sedang dekat dengan pelayan barunya. Bahkan, ular kecil itu merebut kado ulang tahunku yang pernah Damian berikan. Dia mengambil semuanya!" "Kurang ajar! Papa harus bicara dengan Damian sekarang juga!" serunya berdiri. Sejak awal berhubungan, Charles memang sudah merestui hubungan Damian dengan Alexis. Bahkan, mereka juga sudah merencanakan pernikahan tahun ini. Dan di saat tiba-tiba saja Damian memutuskan Alexis secara mendadak, tentu saja Charles murka. Mau ditaruh mana muka dia? Hampir seluruh keluarga inti juga sudah membicarakan soal rencana pernikahan Alexis. Jika tiba-tiba batal, dirinya yang akan menanggung malu. Pria itu lantas merogoh ponselnya, berusaha menghubungi Damian dengan emosi yang memuncak. Dan begitu telepon tersambung, Charles lantas meninggikan suaranya, membuat Damian yang sedang menyantap makanan hampir tersedak. [ Damian, di mana kau sekarang? Saya minta kau datang ke sini sekarang juga! ] serunya. Damian melirik Alice sebentar, dia menghela napas. [ Apa Alexis sudah menceritakan semuanya, Om? ] [ Ya, dia sudah menceritakan semua kebreng sekan mu! Sekarang saya tunggu kamu di rumah, hari ini juga kita selesaikan semuanya! ] Tuuuut! Belum sempat Damian menjelaskan yang sebenarnya terjadi, telepon itu sudah terputus begitu saja. Dia menghela napas, melirik Alice yang rupanya sejak tadi sudah memperhatikannya. "Apa anda memiliki janji dengan orang lain, Tuan?" tanyanya pelan. Damian menggeleng ringan, menyimpan kembali ponselnya di saku celana. "Bukan. Papa Alexis yang menelepon. Beliau memintaku untuk datang ke rumahnya sekarang juga dan menjelaskan semua yang terjadi," tuturnya. Alice mengerutkan keningnya sebentar. "Kalau begitu kita sudahi saja makan malamnya, anda tidak boleh tidak datang. Bukan kah anda bilang anda masih menyayangi Nyonya Alexis, Tuan? Kalau begitu datang lah dan bicarakan semuanya." Damian memandang Alice sebentar, berusaha mencerna kalimat yang baru saja gadis manis ini katakan. Dia harus datang dan memperbaiki hubungannya? Hei, itu mustahil. Damian yakin Alexis sudah berkata yang tidak-tidak kepada papanya. Wanita itu pasti memutarbalikkan fakta. Dan jika dia datang untuk mengalah, sama saja dia membiarkan Charles tidak tahu tingkah buruk putrinya. Semua itu tidak akan membuat Alexis jera. Tapi, seandainya dia tidak datang pun, Alexis pasti akan semakin memperburuk namanya. Bisa juga wanita itu menjelek-jelekkan Alice di hadapan papanya. Astaga, bisa g i l a Damian jika harus begini sepanjang hari. "Ya sudah, kita sudahi saja makan malam ini. Aku akan mengantarmu pulang lebih dulu, baru setelah itu aku akan pergi ke kediaman Alexis," putus Damian berdiri. Alice hanya mengangguk menurut, gadis itu berjalan di belakang Damian dengan malu-malu. Makan malam yang dia harapkan akan jauh lebih baik nyatanya berjalan datar-datar saja. Sama seperti ketika mereka makan di rumah. Bedanya, Alice bisa merasakan satu mobil bersama dengan Damian untuk kedua kalinya. Hahh. Seharusnya sejak awal Alice sudah sadar diri. Dia ini tidak lebih dari seorang pelayan rumah, tidak seharusnya dia berharap sejauh itu. Damian juga tidak mungkin tertarik dengannya. Mereka terlampau jauh untuk bisa bersama. "Alice, masuk lah," ucap Damian membukakan pintu. Namun, tidak ada sahutan dari gadis itu. Alice justru memandangi jalanan dengan melamun. "Alice!" ulang Damian seketika membuyarkan lamunan gadis itu. Alice mendongak. "Eh, iya Tuan?" "Masuk lah. Jangan memikirkan yang tidak-tidak," ucapnya membuat Alice tersenyum kecut. "Baik, Tuan." Dalam hati Alice masih ingin berlama-lama di sini. Namun, walau begitu dia harus tetap menurut. Permasalahan Damian dengan Alexis jauh lebih penting dari apa pun. Dan tidak bisa dipungkiri jika memang kedua pasangan itu masih saling menyayangi. Dan Alice pikir, mereka memang berhak bersama. Tuan Damian dan Alexis adalah sepasang kekasih yang sangat cocok jika dipandang dari segi mana pun. Alice tersenyum tipis, memperhatikan Damian yang sedang memasangkan sabuk pengaman itu. God, seandainya saja dia terlahir sama seperti mereka, mungkin perasaan tertarik ini akan terbayarkan lunas. Hanya saja Tuhan mempunyai rencana lain untuk masa depannya. Ya, pasti ada rencana yang jauh lebih indah dari ini. Alice yakin itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN