12. Kemarahan Alexis

1462 Kata
Malam ini Alice sibuk memilih pakaian yang ada di lemari kecilnya. Sesekali gadis itu menghela panjang. Dia tidak dapat menemukan pakaian yang pantas untuk dibawa makan malam bersama dengan Damian. Pasalnya, pakaian yang ada di lemari hanya itu-itu saja, tidak ada yang bagus. Dan jika Alice menggunakan pakaian seadanya, dia khawatir Damian akan malu. Dia ingin membuat tuannya itu menanggung malu di keramaian. Sesaat, gadis itu memutuskan untuk terduduk lemas di atas kasur. Dia memandang lemari yang masih terbuka lebar itu dengan nanar. Mau dikeruk seperti apa pun, isi lemari itu tidak akan berubah. Karena pada dasarnya sejak awal dia memang tidak memiliki pakaian yang bagus. Dia hanya mempunyai pakaian murah yang biasa digunakan sehari-hari. Dan saat sedang berpikir keras, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar. Cepat-cepat Alice bangkit dan membukakan pintu. Cklek. Untuk beberapa detik gadis itu mematung, dia memandang sosok yang berdiri dengan senyuman di ambang pintu sana. "Sebentar lagi kita akan berangkat, Alice. Apa kau sudah bersiap-siap?" tanyanya. Alice menghela, dia menggeleng ringan. "Kebetulan sekali. Saya bawakan dress untukmu. Malam ini gunakan dress ini supaya kau terlihat memukau," ucap Damian menyodorkan paper bag di tangannya. Untuk sepersekian detik Alice kembali dibuat mematung, dia kebingungan. Untuk apa tuannya ini repot-repot membawakan pakaian mahal untuknya. "T-tuan, tapi ... bukan kah ini terasa berlebihan. Kita hanya makan malam biasa kan?" Damian tersenyum tipis. "Tidak ada yang berlebihan. Itu pakaian milik Alexis yang pernah aku belikan, dia meninggalkannya di sini. Jadi untuk sementara waktu kau bisa menggunakannya. Aku ingin melihatmu tampil sempurna malam ini," tuturnya. Mendengar itu senyum Alice mengembang, dia mengangguk ringan. "Ya sudah, lekas bersiap-siap lah. Aku tunggu di luar," sambung Damian kemudian melangkah meninggalkan kamar Alice. Sepeninggalan Damian, Alice memandangi paper bag yang ada di tangannya. Gadis itu memeriksa dress merah yang ada di dalam paper bag itu. Hanya dengan menyentuh kainnya saja Alice sudah bisa menebak jika pakaian ini berharga cukup mahal. Lagi pula, Alexis juga tidak akan mungkin memakai barang murahan. Kemudian, karena tidak ingin berlama-lama, Alice memutuskan untuk segera mandi dan bersiap-siap. Dia tidak ingin membuat tuannya lebih lama menunggu. Lima belas menit kemudian, Damian yang berdiri di ruang tamu itu sesekali melirik arlojinya sebentar. Dia sedang tidak sabar untuk melihat penampilan Alice yang pasti sangat berbeda itu. Dan benar saja, tak lama terdengar suara derap langkah dari kejauhan. Begitu Damian menoleh, pria itu mengembangkan senyumnya. Dia menatap dengan bola mata berbinar senang. "Alice, kau sangat berbeda ..." pujinya berdecak kagum. Alice yang baru saja datang dan langsung disambut dengan pujian seperti itu sontak merona. Dia tidak bisa menutupi rona merah yang menghiasi pipinya. "Jangan berlebihan, Tuan. Aku tahu ini tidak begitu cocok untukku," katanya. "Siapa bilang? Kamu cantik dengan menggunakan pakaian yang seperti ini. Saya suka saat kamu menggulung rambut begitu," ungkap Damian yang kian membuat Alice tersipu. "Mungkin karena harga pakaiannya yang mahal." "Ck! Tidak begitu, kau memang cantik. Hanya saja tidak pernah ganti pakaian." Alice menyengir. "Tapi, apa tidak masalah kalau aku menggulung rambut begini, Tuan? Bukan kah anda tidak menyukai gaya rambut begini? Aku bisa mengubahnya jika memang tidak suka." Alice memandang pria yang berada di hadapannya. Damian menggeleng cepat. "Tidak, kau cantik dengan rambut itu. Tidak perlu mengubahnya." "Tapi, bukan kah—" "Sudah jangan banyak tanya. Aku tidak punya waktu untuk menjawab semua pertanyaanmu. Kita berangkat sekarang!" potong Damian cepat. Seketika Alice mengunci mulutnya rapat-rapat, dia mengangguk cepat dan berjalan mengikuti Damian dari belakang. Namun, begitu keduanya melangkah ke luar rumah, mendadak sebuah taksi berhenti di depan sana. Tak lama seorang wanita dengan pakaian seksinya berjalan cepat menghampiri mereka. "Untuk apa lagi kau datang ke sini?" tanya Damian bernada ketus. Pria itu memandang nyalang. Alexis menggeleng lemah, dia berusaha meraih lengan Damian dan menggenggamnya erat. "Sayang, aku bisa jelaskan. Tolong kasih aku kesempatan. Semua tidak seperti apa yang kamu pikiran. Aku dan Frans tidak mempunyai hubungan apa-apa, kami hanya ..." "Hanya melakukan kegiatan gila itu di belakangku, iya?" potong Damian cepat. Seketika bibir Alexis terkunci rapat. " ... apa kau sudah tidak waras, Alexis? Apa lagi yang kau inginkan, huh? Aku sudah memberikan semua yang kau mau, lalu apa lagi masih kau mau? Bukan kah kau lebih memilih b a j i n g a n itu? Kalau begitu kembali saja kepada nya. Aku sudah tidak ingin tahu apa pun soal dirimu!" serunya. Alexis menggeleng ribut, dia masih terus memohon dan memelas. "Tidak, Damian. Aku tidak ingin kita putus, tolong jangan akhiri hubungan kita. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini kepada papa? Tolong lah, aku minta maaf. Kita bisa mulai semaunya dari awal, kumohon ..." lirihnya dengan mata berkaca-kaca. Namun, dengan cepat Damian menepis tangan itu, dia mendecak kasar. Damian sudah tahu tabiat awal Alexis. Semua tangisan itu hanya lah palsu. Sama seperti saat dia tidak bisa membeli sesuatu dengan uangnya, dia pasti akan menangis memohon belas kasihan orang lain. Cih, memalukan! "Aku tidak peduli. Kurasa papamu memang harus tahu apa yang sudah putrinya ini lakukan di luaran sana. Papamu harus tahu kelakuan b e j a t putrinya sebelum dia menyalahkan orang lain. Dan kau tidak perlu khawatir untuk semua itu, kau tidak perlu menyiapkan alasan lain untuk pembatalan pernikahan kita. Biar aku sendiri yang datang ke rumah mu dan mengatakan semuanya," ucap Damian tenang. "Tidak, Damian ... jangan lakukan itu, papa bisa terkena serangan jantung. Aku minta maaf, aku menyesal. Lagi pula aku tidak pernah berkhianat sebelumnya, aku benar-benar khilaf. Tolong maafkan aku." Alice terus memegangi lengan kekar Damian. Wanita itu tidak bosannya memohon dan memelas. "Bukan kah sudah kukatakan jika aku tidak peduli? Sekarang minggir lah, aku harus pergi makan malam bersama Alice!" seru Damian. Seketika mata Alexis membelalak, dia menatap tidak percaya. "Apa? Makan malam? Bersama pembantu ini? Apa kamu sudah tidak waras, Damian? Kenapa mendadak seleramu jatuh sekali?" tanyanya tidak percaya. Alexis melirik Alice yang hanya bisa menunduk itu, dia tertawa remeh. Namun, sesaat tatapan Alexis tertuju pada sebuah dress merah yang Alice kenakan. Dia merasa sangat familiar dengan dress itu. Lantas, Alexis menyentuhnya. "Ini ... bukan kah ini dress milikku? Apa kau mencurinya dariku, hah? Lepas, kembalikan dressku! Ini kado dari Damian untukku, dasar pencuri!" serunya menarik-narik dress itu dari tubuh Alice. Damian yang melihatnya berusaha melerai, namun Alexis malah melukai lengannya dengan kuku-kuku tajam itu. "Alexis, hentikan ini. Jangan g i l a!" bentuknya nyaring. "Aku tidak g i l a, Damian. Dia yang g i l a, dia sudah mencuri pakaianku! Bagaimana bisa kau memelihara seorang pencuri kecil ini, hah? Lepaskan, kubilang lepaskan pakaianku b a j i n g a n!!" Damian mengacak rambutnya sendiri dengan kasar. "Berhenti Alexis!" teriaknya memperingati. Namun, sepertinya Alexis tidak mau mendengarkannya. Wanita itu terus menyerang Alice dengan menancapkan kuku-kuku tajamnya di lengan kecil itu. "Kubilang berhenti, Alexis! Aku yang menyuruh Alice menggunkan dress itu!" serunya lantang. Seketika, hening. Alexis melepaskan cengkraman tangannya dari tubuh Alice, dia beralih memandang Damian dengan tatapan tidak percaya. Wanita itu menggeleng pelan. "A-apa? Apa kamu bilang barusan, kamu yang memberikan dress ini kepada Alice? Tapi kenapa? Kenapa kamu memberikannya, Damian? Ini milikku. Ini kado ulang tahunku. Kenapa kau malah memberikannya pada orang lain, kenapa?" "Bukan kah kita sudah bukan siapa-siapa lagi? Aku juga sudah mengganti kado ulang tahun mu dengan mobil mewah, lalu apa lagi? Kau sendiri yang bilang dress ini buruk, kau tidak ingin memakainya kan? Kalau begitu, biar Alice saja yang memakai. Dia terlihat cantik dengan itu," jawabnya santai. Alexis masih tidak percaya saat Damian bisa berkata begitu. Tidak, dia tidak ingin kehilangan Damian. Dia sungguh mencintai kekasihnya itu. "Aku menyukainya! Tidak seharusnya kau memberikan itu kepada Alice. Ingat Damian, Alice itu hanya pelayan di rumah ini. Dia hanya pembantu. Kalian tidak pantas pergi makan malam bersama, apa lagi saat Alice menggunakan pakaian mahal yang seperti itu. Dia sama sekali tidak cocok!" serunya. Alice yang sejak tadi menunduk mulai menarik napasnya dalam-dalam. Sesuatu terasa menyeruak di dalam d a d anya. Dia merasa sesak begitu Alexis terus melontarkan kalimat jahat itu. Meskipun benar, dia hanya pelayan. Dia tidak lebih dari seorang pembantu di rumah ini. Dia tidak pantas pergi makan malam bersama dengan Damian. Tapi rasanya, saat mendengar kalimat itu dari orang lain perasaan Alice terasa sakit. D a d a nya nyeri. "Sudah lah, aku tidak ingin dengar apa pun lagi, Alexis. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini, aku banyak urusan!" seru Damian kemudian menarik lengan Alice dan membawa gadis itu memasuki mobilnya. Tak lama mobil itu segera melesat meninggalkan kediaman mewah itu, meninggalkan Alexis yang masih berteriak emosi. "Damian!" "Damian tunggu!" teriaknya namun tidak didengar. Dia mendecak kasar. Melipat kedua tangannya di depan d a d a. "Alice, Alice. Rupanya kau ingin bermain-main denganku, ya. Hm, kita lihat saja nanti. Jika kau masih menjadi ulat gatal di antara hubunganku dengan Damian, maka hidupmu tidak akan pernah bisa tenang. Aku jamin itu!" desisnya tersenyum miring.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN