11. Kemarahan Damian

1622 Kata
"S-sayang, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kita hanya ..." Alexis tidak melanjutkan ucapannya. Wanita itu menyeka air mata yang tiba-tiba saja mengalir membasahi pipinya. Sedangkan Damian yang menyaksikan itu mendecih kasar. Dia menggeleng tak percaya. Rasanya apa yang dia lihat benar-benar tidak nyata. Mengapa? Mengapa Alexis bisa melakukan hal menjijikkan seperti itu sementara dia harus menunggu di luar selama berjam-jam lamanya. Ini g i l a. "Sayang, aku ..." "Berhenti bicara, Alexis. Sekarang gunakan pakaianmu dengan benar. Kita bicarakan masalah ini di luar!" serunya dengan urat leher yang menonjol jelas. Sebelum melangkah pergi, Damian sempat melirik tidak suka pada pria yang masih duduk di atas kloset itu. Dia menatapnya dengan penuh kebencian. "Dan kau ... jangan pergi ke mana pun sebelum kita selesaikan masalah ini!" serunya menunjuk pria yang masih terduduk lemas itu. Setelahnya, baru lah Damian melangkah ke luar. Dia memutuskan untuk duduk di tempatnya semula. Namun, tidak bisa dibohongi, Damian benar-benar merasa marah. Dia emosi. Masih tidak percaya rasanya dengan apa yang dia lihat barusan. Seorang Alexis, kekasihnya. Kekasih yang selama ini dia percaya nyatanya memiliki s k a n d a l dengan kru fotonya sendiri. Dengan salah seorang fotografer yang tidak ada apa-apanya itu. Dia mendecak. Mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Tak lama Alexis keluar bersama dengan pria yang semula bermesraan dengannya. Wanita itu duduk di sebelah Damian masih dengan tatapan memelasnya. "Sayang dengar, aku bisa jelaskan semuanya. Aku tidak bermaksud mengkhianati kamu, aku hanya—" "Hanya bermain g i l a dengan pria lain di belakang sana, iya?" potong Damian cepat. Pria itu menatap nyalang. Nyaris saja dia m e n a m p a r Alexis seandainya saja pria itu tidak ingat siapa Alexis ini. "Kau benar-benar tidak waras, Alexis. Apa kau memang sudah g i l a, hm? Aku menunggumu berjam-jam hanya untuk pertunjukan g i l a itu, iya? Sekarang katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan begitu!" Alexis menggeleng kuat. Wanita itu berusaha terus meraih tangan Damian dan memohon. Namun sayang, Damian tidak akan luluh begitu saja. Emosinya sudah terlanjur memuncak. "Sayang, tidak. Tolong jangan begini. Aku minta maaf, aku menyesal," lirihnya sesegukan. "Cih! Menyesal katamu? Kenapa saat melakukannya kamu tidak menyesal? Kenapa saat bercum bu kamu tidak menangis memohon begini? Malu sekarang karena ketahuan, iya?" "Tidak, aku benar-benar menyesalinya sayang. Aku benar-benar menyesal. Aku tahu aku salah. Tapi please, aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi." Brak! Damian menggebrak meja, pria itu berdiri menatap Alexis dan fotografer itu dengan tajam. "Aku tidak butuh penyesalanmu, Alexis. Apa gunanya menyesal? Aku tidak ingin dengar apa pun lagi. Dan mulai sekarang kita putus. Hubungan kita selesai sampai di sini!" ucapnya bernada tinggi. Alexis terperanjat, wanita itu seketika bangkit dan meraih lengan Damian dengan kuat. Dia terus memohon dan memelas. "Tidak, aku tidak mau. Aku tidak mau hubungan kita selesai sampai di sini, Sayang. Aku tidak mau kita putus. Aku tidak mau. Aku mencintai kamu. Bukan kah sebentar lagi kita akan merencanakan pernikahan? Tolong jangan begini. Aku sudah meminta maaf kan, lalu apa lagi? Apa yang bisa membuatmu memaafkan ku, Damian." Damian m e l u d a h. "Tidak ada. Untuk apa aku memaafkan seorang pengkhianat seperti dirimu, huh? Sebaiknya menikah saja dengan pacar gelapmu ini, dan jangan pernah lagi temui aku. Titik!" Setelah mengatakan itu Damian mengibaskan lengannya, pria itu melenggang pergi meninggalkan Alexis begitu saja. "Damian!" "Damian, dengar dulu ...!" Namun, sepertinya pria itu memilih untuk tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Alexis. Dia cepat-cepat memasuki mobil dan membanting pintu itu dengan kuat. Damian membawa mobilnya melesat dengan kecepatan di atas rata-rata, membawa serta perasaan sesak yang tidak kunjung mereda. "S i a l a n! Bagaimana aku bisa mencintai p e l a c u r sepertimu, huh?!" gerutunya sepanjang jalan. Sedan mewah itu kian memacu mesinnya dengan kecepatan di atas rata-rata, bahkan sesekali Damian tidak mengindahkan lampu lalu lintas yang sudah memerah. Dia tidak peduli apa pun. Damian sudah terlanjur kesal dengan segala hal tentang Alexis. Bayangkan saja. Kekasih yang selama ini dia percayai nyatanya malah berselingkuh dengan seorang fotografernya sendiri. Terlebih mereka melakukan perselingkuhan itu dalam satu ruangan yang sama dengannya. Betul-betul sudah tidak waras. Tak butuh waktu lama, begitu sampai rumah Damian memarkirkan mobilnya dengan asal-asalan. Pria itu memutuskan segera masuk dan membanting tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Dia meletakkan kakinya di atas meja. Alice yang melintas pun tergesa-gesa menghampiri sang majikan. Dia mendekat dan membantu melepaskan sepatu Damian. "Tuan, sudah pulang," sambutnya tersenyum hangat. "Biar saya bantu lepaskan sepatunya." Pria itu diam saja. Dia hanya memperhatikan Alice dengan perasaan yang masih kacau. Setelah melepaskan sepatu Damian, Alice hendak melangkah pergi. "Alice!" panggil Damian pelan. Gadis itu menoleh. "Iya, Tuan? Apa ada yang bisa aku bantu?" "Buatkan aku kopi tanpa gula. Bawakan juga waffle yang ada di kulkas," suruhnya. Untuk beberapa saat Alice bergeming. Kopi tanpa gula, tumben sekali. Tidak biasanya sang majikan meminta kopi tanpa gula. Namun, karena tidak ingin mengulur lebih banyak waktu, Alice langsung mengiyakan dan bergegas membuatkan kopi. Sepuluh menit kemudian dia kembali sudah dengan waffle dan kopi tanpa gula di tangannya. Gadis itu menunduk, meletakkan kedua makanan itu di atas meja. "Kopinya, Tuan. Apa ada yang anda perlukan lagi selain ini?" tanyanya pelan. Damian menggeleng singkat. "Apa kau sedang sibuk, Alice?" "Eh?" "Aku bertanya kepadamu, apa kau sedang sibuk hari ini?" ulangnya kali ini dengan suara sedikit lebih tegas. Sontak Alice menggeleng cepat. "Tidak, Tuan. Hanya ada beberapa piring kotor saja, tapi masih bisa dibersihkan nanti," tuturnya. "Bagus lah. Biar Bu Desire yang mencucinya. Aku hanya membutuhkan teman bercerita. Jika tidak keberatan, duduk lah di sini. Aku ingin meminta saran darimu." Untuk beberapa detik Alice memandang Damian heran. Namun cepat-cepat gadis itu menepis pikiran buruknya. Dia lekas duduk di sofa yang cukup berjarak dengan Damian. "Apa yang ingin Tuan bicarakan denganku?" tanyanya. Damian mengembuskan napas berat. Pria itu mengusap wajahnya sekali lagi. "Ini soal Alexis. Kau sudah tahu soal dia kan? Hari ini aku menemaninya untuk pemotretan. Dia menyuruhku menunggu di luar hingga berjam-jam, tapi begitu aku masuk, keadaan buruk yang kulihat. Dia berselingkuh dengan pria lain secara terang-terangan," ungkapnya dengan nada keputus-asaan. Alice sempat terkejut dengan penuturan Damian itu. Karena, yang dia lihat selama ini Alexis begitu mencintai majikannya. Bahkan, sejak pertama kali bertemu dengan Alexis, Alice malah melihat gadis itu yang lebih dominan dalam hubungan asmara mereka. Alexis lebih banyak memulai dan terlihat begitu posesif. Lantas, bagaimana mungkin wanita itu bisa berselingkuh dengan orang lain? Ini mustahil. "Apa tuan benar-benar melihatnya sendiri? Maksudku, bisa saja apa yang anda lihat tidak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Terkadang mata bisa mengkhianati kita," ucapnya. Damian menggeleng. "Tidak, Alice. Aku menyaksikannya sendiri saat mereka sedang b e r c i n t a. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!" Hening. Alice bahkan tidak berpikiran sampai sejauh itu. Dia pikir ini hanya kesalahpahaman biasa, tapi rupanya perselingkuhan Alexis sudah sejauh itu. "Maaf aku tidak tahu, Tuan ..." lirihnya merasa bersalah. Damian menghela. "Sudah lupakan saja, kau tidak akan pernah tau soal itu. Lagi pula, kuperhatikan sejak awal kau seperti tidak pernah mempunyai masalah percintaan. Apa kau tidak memiliki kekasih, hum?" Alice menggeleng pelan, tersenyum. Jangankan kekasih, untuk memikirkan besok makan apa saja dia sudah kerepotan. Hidupnya baru membaik setelah dia bisa tinggal bersama dengan Damian. Meski tubuhnya terasa remuk karena harus mengurus segala pekerjaan rumah, tapi itu jauh lebih baik daripada dia harus kelaparan di pinggir jalan. "Tidak, Tuan. Aku belum berpikiran untuk mempunyai kekasih dalam waktu dekat," ungkapnya pelan. Damian tersenyum. "Bagus lah. Fokus saja dengan pekerjaanmu. Aku tidak ingin setelah kau mempunyai kekasih, pekerjaan di rumah ini malah berantakan. Kerjakan saja semuanya dengan benar." "I-iya." "Omong omong soal Alexis, aku masih mencintainya. Berat untuk melepaskan dia." Damian kembali buka suara. Pria itu tampak menarik napasnya dalam-dalam, dia memandang sendu. "Apa sebelumnya anda sudah mengakhiri hubungan kalian, Tuan?" Damian menoleh, menatap Alice dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ah maaf, aku terlalu lancang untuk menanyakan soal itu," sambungnya merasa tidak enak hati. Melihat itu Damian justru tersenyum kecil. Alice benar-benar mirip sekali dengan Grisa. "Ya, aku memutuskan mengakhiri semuanya. Tapi sepertinya aku menyesal, Alexis benar-benar membuatku tidak waras. Ini pertama kalinya aku mencintai seseorang sampai seperti ini," ungkapnya. Alice yang hampir tidak pernah berpacaran itu hanya bisa mengembuskan napasnya panjang. Dia tidak tahu harus memberi saran yang seperti apa. Terlebih dirinya ini bukan siapa-siapa. Alice khawatir begitu dia memberi saran, hubungan tuannya dengan sang kekasih malah kian memburuk. Dia pasti akan merasa sangat bersalah. "Sebaiknya anda pikirkan semua ini matang-matang. Masih ada waktu untuk mempertimbangkan semuanya, Tuan. Maaf bukan bermaksud menggurui, hanya saja aku tidak ingin ke depannya anda menyesal karena telah kehilangan Nyonya Alexis. Bukan kah kalian bisa memperbaiki semua itu seperti awal berpacaran?" Damian terdiam sebentar, dia mengangguk. "Kau benar, Alice. Sepertinya aku memang membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan. Aku tidak ingin setelah ini menyesal karena kehilangan Alexis," gumamnya. Alice menyambut respon itu dengan senyuman hangat. Dia tidak bisa membantu apa-apa. Meski dalam hati dia juga mengagumi tuan rumahnya ini, tapi tetap saja itu tidak menjadi dasar yang kuat untuknya bersenang-senang di atas penderitaan Damian. Dia tetap merasa sedih dengan kandasnya hubungan mereka. "Kalau begitu aku permisi dulu, Tuan. Masih ada sedikit pekerjaan di dapur," ucapnya bangkit. Damian hanya membalas dengan senyuman tipis. "Eh, Alice!" panggilnya membuat langkah kaki itu terhenti. "Iya, ada lagi Tuan?" "Tidak. Malam nanti temani aku makan malam, bisa?" "M-makan malam?" beonya mengernyit heran. Tumben sekali. "Iya. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kau sudah mendengarkan keluh kesahku hari ini." Alice terdiam sebentar. Makan malam sebagai ucapan terima kasih bukan kah kedengaran sangat berlebihan? Padahal dia tidak melakukan efforts apa-apa. Tapi, rasanya tidak enak jika menolak. Tawaran semacam ini tidak akan datang dua kali. Lantas, Alice mengangguk kaku. Dia menjawab lirih, "B-baik, Tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN