Damian meremas rambutnya sendiri dengan frustrasi. Betapa tidak, hampir saja dia bisa membuat Tuan Levinson tutup mulut, tapi secara mendadak Alexis malah datang dan mengacaukan semuanya. Dia kesal.
Lantas, masih dengan wajah masamnya pria itu kembali duduk, menopang kepalanya dengan kedua tangan.
Padahal Damian sudah mempersiapkan CCTV dan rekaman suara, tapi semua harus sia-sia hanya karena keberadaan Alexis yang tidak tepat waktu itu. Kalau sudah begini, dia tidak akan punya cukup bukti untuk melakukan perlawanan saat kerja sama mereka terhambat.
Sementara itu, Alexis yang menyadari perubahan sikap sang kekasih pun berjalan mendekat. Dia memeluk sebelah lengan Damian seraya menampilkan wajah menyesalnya.
"Sayang, aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau kedatanganku membuat pertemuanmu gagal, aku tidak bermaksud ..."
Damian menghela napas, pria itu menurunkan tangannya dan beralih memandang Alexis yang masih terlihat murung itu. Dengan tersenyum tipis Damian mengusap pipi sang kekasih, berusaha memberikan ketenangan di sana.
"Sudah jangan bersedih, tidak apa-apa. Aku bisa mengatur ulang pertemuan dengan pak Levinson lain waktu," ujarnya.
Mendengar itu seketika senyum Alexis mengembang. Gadis itu memegangi tangan Damian yang masih setia membelai pipinya lembut.
"Kamu tidak marah kan, Sayang? Aku benar-benar menyesal."
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku marah kepadamu, hm? Ya sudah, mari berangkat. Kamu bilang ada sesi pemotretan kan hari ini? Biar aku yang antar," ucap Damian mengalihkan pembicaraan.
Alexis mengangguk dengan bersemangat. Begitu Damian bangkit, dia cepat-cepat memeluk lengan kekar itu dan bergelayut manja di sana.
"Andrew, bujuk pak Levinson untuk datang ke sini lagi. Atau kalau perlu kita yang akan datang ke sana. Atur ulang semua jadwal pertemuannya," perintah Damian menepuk bahu Andrew pelan, sebelum akhirnya pria itu melenggang pergi bersama dengan Alexis di sampingnya.
Andrew hanya menghela napas panjang. Dia hanya tidak habis pikir mengapa Damian bisa berubah begitu lembut saat berdekatan dengan Alexis. Padahal, saat bersama dengan orang lain bosnya itu selalu menjadi orang paling garang dan dominan.
Andrew menggeleng ringan. Bosnya satu itu memang bucin sekali jika sudah mencintai satu wanita.
Sementara itu, di luar Damian membukakan pintu mobil untuk Alexis. Pria itu mempersilahkan sang kekasih masuk, baru lah disusul dirinya yang memasuki bangku kemudi.
Tak butuh waktu lama mobil itu melesat memasuki jalanan ibu kota. Selama perjalanan pula tidak hentinya Alexis mengeluh manja. Gadis itu menginginkan jam tangan dari salah satu brand terkenal yang memang baru akan launching beberapa hari ke depan.
"Bukan kah kemarin aku baru saja membelikan jam tangan untukmu, Sayang?" tanya Damian melirik sekilas.
Alexis mendecak. "Apa sekarang kau mulai perhitungan denganku, Damian?"
"Tch. Tidak, aku tidak berkata begitu. Tapi kurasa jam tangan yang baru saja kita beli masih sangat baru. Modelnya juga belum ketinggalan zaman. Aku membelikannya seharga mobil asistenku," ucapnya.
Namun, Alexis tidak ingin tahu itu. Dia hanya menginginkan jam tangan yang akan segera rilis itu.
"Aku tidak peduli soal itu, Sayang. Kamu tahu sendiri jika aku harus selalu berpenampilan menarik. Konyol rasanya jika aku tidak menggunakan brand brand terbaru saat bertemu dengan model lainnya. Mereka pasti akan mengejekku!" ocehnya melipat kedua tangan di depan d**a. Wanita itu mengembuskan napas kasar.
Sementara Damian sendiri hanya fokus pada jalanan depan. Dia tidak bermaksud perhitungan, tidak. Bahkan, apa pun yang Alexis inginkan, selagi dia bisa memberikannya, maka Damian akan memberikan semua itu untuk sang kekasih. Hanya saja, ini terlalu naif. Baru saja kemarin lusa mereka membeli jam tangan bermerek dengan harga yang cukup fantastis, tapi sekarang kekasihnya ini sudah minta yang lain lagi.
Dia tidak keberatan sama sekali. Hanya saja, membeli sesuatu yang hanya dipakai sesekali benar-benar tidak berguna. Dia hanya akan membuang-buang uang untuk hal yang sama sekali tidak ada gunanya begini.
"Kita beli yang lain saja. Kamu sudah memiliki jam tangan impianmu, sekarang pilih lah hal lain sebagai gantinya," ujar Damian memutuskan.
Alexis yang semula murung mendadak berbinar. Wanita itu memegang lengan Damian dengan tatapan tidak percaya.
"Sungguh? Apa kau akan membelikan apa pun untukku, Sayang?"
Damian mengangguk. "Ya, apa pun. Apa pun untukmu, Sayang."
Cup!
Dia mendaratkan kecupan singkat begitu Alexis memeluk lengannya dengan erat. Yah, apa pun untuk membahagiakan Alexis. Dia sama sekali tidak keberatan walau harus menghabiskan saldonya.
"Ah, aku mencintaimu Sayang. Aku benar-benar mencintaimu ..."
Tak lama mobil Damian memasuki kawasan hotel yang berada di pinggiran pantai. Hotel berbintang yang akan menjadi lokasi pemotretan Alexis beberapa waktu ke depan.
Keduanya lantas bergegas untuk turun lalu mulai berjalan menuju ke lantai tujuh. Tiba di sana rupanya sudah cukup banyak orang yang menanti kedatangan mereka. Damian yang tidak begitu akrab dengan rekan sejawat sang kekasih hanya bisa say hello, kemudian memutuskan untuk duduk di bangku tunggu.
"Sayang, aku ganti kostum dulu ya. Kamu tidak apa-apa kan kalau harus tunggu di sini?" tanyanya mengusap pipi Damian.
Pria itu tersenyum tipis. "Tidak masalah, aku akan tunggu di sini sampai kegiatannya selesai."
Alexis mengangguk singkat. Setelah memberikan c i u m a n singkat, wanita itu melenggang menyusul penata kostum untuk mengganti pakaiannya. Tak lama dia kembali dengan dress panjang namun dilengkapi potongan leher yang cukup rendah.
Melihat itu Damian sama sekali tidak berkomentar. Dia sudah tahu betul risiko menjadi kekasih seorang foto model, dan dia tidak akan memprotes apa pun soal itu. Pakaian dan segala pose itu hanya lah kebutuhan pekerjaan, tidak lebih. Dan dia mempercayai Alexis dengan sepenuhnya. Biar pun Alexis bukan wanita yang menjaga baik dirinya, tapi Damian yakin kekasihnya itu tidak mungkin macam-macam.
Tiga jam berlalu.
Damian yang semula duduk tenang mulai resah. Berkali-kali pria itu melirik arloji mahal miliknya.
"Ck! Kenapa lama sekali," desisnya menggerutu.
Bukan tanpa alasan, hari ini Damian juga sudah ada janji dengan kliennya di kantor. Jika harus menghabiskan banyak waktu di sini, dia tidak akan bisa kembali ke kantor dan menuntaskan semua pekerjaannya.
Karena sudah tidak sabaran, Damian beranjak dan memutuskan untuk mencari sang kekasih di ruang pemotretan. Namun, begitu sampai di sana kening Damian dibuat mengernyit dalam. Pria itu mengedarkan pandangannya ke segala arah, sepi. Itu lah yang pertama terlintas di benak Damian.
Padahal, beberapa saat lalu sebelum pemotretan dimulai ruangan ini terasa begitu ramai. Lalu, mengapa secara mendadak menjadi sepi begini.
Saat ingin mengayun langkah semakin jauh, tanpa sengaja dia berpapasan dengan seorang make up artis yang sebelumnya merias Alexis. Lantas pria itu menghentikannya.
"Maaf permisi, apa pemotretannya belum selesai? Kenapa ruangannya terasa begitu sepi?" tanya Damian pelan.
Untuk sepersekian detik kening wanita itu berkerut, lalu menggeleng ringan.
"Pemotretannya bahkan sudah berakhir setengah jam yang lalu, Tuan. Apa anda tidak mengetahui soal itu? Kru yang bertugas sebagain juga sudah pergi melalui pintu belakang," tuturnya.
"Selesai?" beo Damian memandang tak percaya. Bagaimana mungkin bisa selesai, sedangkan dia saja sejak tadi masih menunggu Alexis yang belum juga kembali hingga sekarang.
"Iya. Anda bisa memeriksanya sendiri ke dalam, Tuan. Sudah tidak ada siapa pun di sini," imbuhnya. " ... kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada banyak yang harus dikerjakan di luar," sambung MUA itu.
Damian hanya mengangguk singkat. Pria itu masih tidak percaya. Bagaimana bisa sudah selesai sedangkan dia sudah tiga jam stay di luar menanti kembalinya Alexis. Benar-benar tidak masuk akal.
Kemudian, karena tidak ingin menduga-duga, pria itu memutuskan untuk memeriksa langsung ke dalam. Barangkali sang kekasih memang masih di sana untuk mengganti pakaian atau mengemasi barang-barangnya. Namun, baru maju beberapa langkah, tubuh Damian dibuat mematung di tempatnya.
Mendadak d**a Damian bergemuruh sesak. Kedua tangan itu mengepal erat dengan sedikit gemetaran. Kedua bola mata itu menatap nyalang pada pintu kaca yang berada tepat di hadapannya. Lantas, dengan kasar pria itu menendang pintu kaca itu.
Brak!
"B a j i n g a n!!" serunya seketika membuat dua orang yang sedang b******u itu tersentak kaget. Alexis tampak membelalak, menatap tekejut pada Damian yang secara tiba-tiba datang memergoki mereka.
"S-sayang aku bisa jelaskan ..."