Meskipun ini sudah sebulan sejak Galang ketahuan selingkuh tetapi tetap saja rasa sakitnya masih sama seperti baru terjadi tadi pagi. Sakit banget. Dasar Galang b******k!
Dan sekarang hari-hariku hanya bisa kulewati dengan puluhan lagu galau yang selalu mengalun di speaker kamarku.
“Dek, aku mau jalan dulu. Jaga rumah ya,” ucap seseorang dari arah pintu.
“Gak mau,” kataku menengok ke arah suara tersebut.
“Aku udah ditungguin Winda di bawah, Dek.”
“Emang Mas Tian mau ke mana?” tanyaku kepada kakakku satu-satunya.
“Mau jalan sama Winda,” jawabnya sambil cengengesan.
“Ikut,” kataku cuek sambil mengambil tas slempangku dan kemudian berjalan melewati Mas Tian yang masih berdiri di depan pintu.
“Dek, aku tuh mau nge-date sama Winda, mau pacaran gitu. Masak ikut, sih?” tanyanya bingung sambil menyusulku.
“Bodo. Ikut pokoknya,” jawabku cuek.
“Ya gak boleh ikut dong, ganggu tau,” katanya sebal sambil menarik lenganku.
Aku berbalik dan menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Jadi Mas Tian sekarang lebih sayang sama Mbak Winda ketimbang sama adeknya sendiri yang lagi sedih dan galau karena diselingkuhi sama mantannya yang nggak tau diri? Oke, baiklah kalau begitu. Gak usah anggep aku adek lagi, kita putus persaudaraan,” omelku kesal.
Mas Tian menatapku bingunng bercampur kaget. “Kok malah begini urusannya? Susah ya, ngomong sama cewek yang sedang patah hati.” Mas Tian geleng-geleng kepala.
Aku hanya diam menanggapi ucapannya sambil memasang muka murungku yang selalu sukses bikin mas Tian mengalah..
Mas Tian mengembuskan napas dalam. “Ya udah, iya deh, boleh ikut. Asal janji gak usah ngrepotin dan ganggu aku sama Winda.”
Yes! Berhasil.
Aku mengangguk setuju. “Oke.” kataku singkat.
Dan sekarang di sinilah aku berada, duduk manis di kursi belakang sambil sesekali melotot ke arah Mbak Winda yang kelihatan bete setengah mati karena kehadiranku. Jujur, sebenarnya aku agak tidak percaya sama Mbak Winda, aku takut kalau Mbak Winda tiba-tiba selingkuh kayak Galang.
Setelah sekitar empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya kami sampai juga ke tujuan mereka. Dan ternyata mereka akan ke Dufan. Aku mendengus kesal. Dulu Galang gak pernah sekalipun mengajakku aku jalan ke sini. Dia selalu mengajakku ke tempat yang banyak airnya. Entah kolam renang, pantai atau danau. Padahal semua orang tau kalau aku gak bisa berenang dan benci banget sama yang namanya air. Dasar, Galang cowok yang tidak peka. Juga tukang selingkuh.
“Kina! Kenapa sih, lo suka banget ngrecokin hubungan gue sama Tian?” tanya Mbak Winda sebal kepadaku ketika mas Tian sedang pergi membeli minum.
“Mbak Winda ngomong apa, sih? Aku gak ngerti,” jawabku cuek dengan nada bosan.
“Kalau lo pernah diselingkuhi sama pacar lo itu bukan salah gue ya Kin, jadi lo gak usah sok menyamakan gue sama mantan lo itu. Dan mungkin hal itu terjadi juga karena salah lo sendiri. Gak ada tau cowok yang suka sama cewek manja gak jelas kayak lo. Jadi berhenti ngejudge gue seenak lo. Karena gue beneran cinta sama Tian. Ngerti!” bentaknya.
“Kelihatan kan belangnya,” ucapku cuek.
Dasar jahat! Berani-beraninya mengungkit perselingkuhan Galang. Pakai mengataiku manja pula.
“Percuma ngomong sama anak kecil ingusan kayak lo,” katanya seraya meninggalkanku dan menyusul Mas Tian yang sedang mengantri minuman di salah satu tempat makan.
Tuh kan menyebalkan.
Aku hanya bisa duduk di salah satu bangku yang tersedia di sini menunggu Mas Tian dan Mbak Winda. Apa pun yang terjadi Mas Tian kudu putus sama Mbak Winda. Aku gak mau nantinya punya kakak ipar yang menyeramkan kayak monster seperti Mbak Winda. Hidupku nanti pasti akan tersiksa.
Sudah hampir setengah jam aku duduk di sini menunggu kehadiran Mas Tian dan Mbak Winda namun kedua sosok tersebut tidak kunjung datang. Mereka berdua mengantri beli minum kok lama sekali, sih? Dengan sebal aku berdiri dan melihat ke arah tempat di mana mereka tadi mengantri, namun tak satu pun dari mereka yang kulihat. Jangan bilang kalau aku ditinggal sendirian di sini? Jangan bercanda dong!
Dengan panik aku berjalan menuju antrian minuman dan berharap menemukan Mas Tian dan Mbak Winda di sana, namun harapanku pupus sudah ketika kedua sosok tersebut tak kutemukan di sana ataupun di mana pun dalam jarang pandangku. Kemudian aku memutuskan untuk berkeliling di sekitar sini untuk mencari keberadaan Mas Tian. Ini pasti ulahnya Mbak Winda. Dia pasti menyuruh Mas Tian untuk meninggalkanku. Dasar menyebalkan. Sambil mencoba merogoh ponsel di kantung tasku, aku terus saja berjalan tanpa arah. Sampai akhirnya aku baru sadar kalau aku meninggalkan ponselku di rumah. s**l.
Aku merasa seperti anak hilang di sini. Berjalan ke sana kemari tanpa arah, sendirian dan menyedihkan. Siapa pun, tolong temukan aku!
Terakhir kali aku sendirian mencari orang adalah sebulan yang lalu. Dan itu karena Galang. Yah, karena Galang aku membuntutin dan mencari Mas Natan yang kebetualan punya tiket film yang ingin banget aku tonton. Yang malah akhirnya aku menonton dengan dia. Setelah perpisahan kami dulu, tak sekalipun aku bertemu dengannya. Dan entah kenapa aku jadi merindukannya.
Sekarang aku sedang berdiri sendirian di keramaian tempat ini. Banyak sekali orang yang sedang sibuk mengantre untuk menaiki wahana permainan. Ada banyak juga orang yang sedang berjalan bergerombol. Dan karena banyaknya orang, aku jadi bingung mau cari Mas Tian ke mana. Lihat banyak orang begini malah bikin aku pusing.
“Kina?” terdengar seseorang memanggil namaku.
Suara itu. Aku kenal suara itu.
Dengan tidak yakin aku menoleh ke samping kananku, ke arah sumber suara. Dan benar saja, sekarang aku mendapati mantanku yang b******k tukang selingkuh sedang berjalan ke arahku dengan senyum lebar. Ia tampak senang. Wajanya terlihat berseri-seri. Kenapa aku harus bertemu dengan Galang di sini, sih? Di saat aku sedang sendirian, kebingungan mencari Mas Tian!
Aku memutuskan untuk segera berjalan, menjauh dan menyingkir dari Galang. Aku sungguh tak ingin bertemu dengannya.
“Kina sayang, tunggu. Aku mau ngomong.” Suara Galang terdengar tepat di belakangku.
Apa tingkah lakuku masih belum menjelaskan bahwa aku tidak ingin berbicara atau berinteraksi sama dia? Dasar Galang tak peka.
“Kina aku mohon,” ucapnya seraya menarik lenganku dari arah belakang yang membuatku berhenti berjalan. “Dengerin aku dulu, Kina,” katanya lagi dengan nada memohon.
“Gak mau!” bentakku marah mencoba melepaskan genggaman tangannya pada lenganku.
“Kina, maafin aku. Aku memang salah, kasih aku kesempatan sekali lagi. Please.” Galang kembali memohon. Kini dia sudah memasang wajah memelas yang membuatku berdecak sebal. “Aku masih sayang sama kamu.”
“Lepasin tangan gue,” bentakku mengabaikan ucapannya itu. Dia pikir aku peduli dia masih sayang kepadaku apa tidak.
“Kina, aku pengen kita balikan. Aku udah coba hubungin nomor kamu, tapi selalu nggak aktif. Aku udah coba ke kampusmu, tapi aku nggak pernah bisa ketemu sama kamu.”
“Galang, lepasin. Tangan gue sakit,” kataku ketika aku merasakan cengkramannya yang semakin kuat.
“Maaf,” ucap Galang seraya melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku. “Tapi Kina, please dengerin aku dulu”
“Gak ada yang perlu aku dengerin,” kataku menatapnya marah. Kemudian aku mulai berjalan meninggalkannya.
Mas Tian, kamu di mana sih? Aku beneran butuh kamu Mas!
“Kina, aku pengen kita balikan. Aku beneran masih cinta sama kamu,” ucapnya sambil menyamakan langkah kami.
“Gak mau. Gue udah punya cowok,” kataku lagi.
“Oh, ya? Terus mana cowok kamu? Kenapa sekarang sendirian? Gak usah bohong sama aku, Kina.”
“Ngapain gue bohong. Gue beneran udah punya cowok dan gue juga kes ini sama cowok gue kok,” kataku membual. “Tuh cowok gue, kalau nggak percaya.” Aku menunjuk segerombolan orang yang sedang berdiri di depan wahana Halilintar.
“Oh ya?” tanyanya dengan nada tidak percaya “Deketin sana, sapa cowok kamu. Aku mau lihat mana cowok kamu,” lanjutnya menantangku.
Sialan! Mana mungkin aku main tarik orang dan mengakuinya sebagai pacarku. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin Galang segera pergi dari hadapanku.
“Tuh kan bohong,” tuduhnya seraya tertawa kecil.
Kurang ajar ngetawain!
“Oke, akan gue tunjukin cowok gue yang mana. Tapi ingat, setelah ini jangan pernah ganggu dan muncul lagi di hadapan gue!” Aku menatapnya marah.
Galang tersenyum penuh percaya diri, seolah dia tahu bawa aku sedang berbohong. “Oke, selama itu beneran cowok kamu.”
Dengan hati yang berdebar-debar aku mulai berjalan mendekati segrombolan orang yang barusan aku tunjuk. Semoga salah satu dari mereka sudi aku jadikan pacar bohongan. Semoga salah satu dari mereka juga punya bakat acting kayak Ben Joshua.
“Hai sayang, udah lama nunggu, ya?” sapaku seraya memengang tangan salah satu cowok yang memakai kaos putih bergaris hitam. Aku menunduk, tak berani menatap wajah orang yang kugandeng ini.
Apa yang sedang aku lakukan, sih? Astaga.
“Adeknya?” ucap seseorang yang membuatku menoleh.