Mungkin memang aku yang salah, karena terlalu banyak berharap. Aku hanya membayangkan pujian yang keluar dari mulut mas Doni, maklum pengantin baru. Sejak awal yang ada dalam bayanganku hanyalah pujian dan kata-kata manis yang akan keluar dari mulut Mas Doni. Seperti adegan drama percintaan pada umumnya, pasangan pengantin baru yang masih hangat-hangatnya akan saling melemparkan pujian pada pasangannya masing-masing.
"Besok-besok aku jemput atau minta mamih datang, biar kamu belajar masak sama mamih ya dek." Mas Doni dengan suapan terakhir di mulutnya.
"Iya mas." Lirihku sambil melanjutkan makan yang tanpa selera.
Mas Doni menyudahi makannya, masih menyiasakan makanan yang cukup banyak di piring. Tumisan-tumisan lain yang aku masak sebagai pelengkap pun masih utuh tak ia sentuh. Padahal aku pikir rasanya cukup enak, sebelumnya aku sudah sangat yakin Mas Doni akan memuji. Entah kenapa aku jadi merasa sedih. Mungkin ini lah rumah tangga, banyak hal yang perlu dipelajari didalamnya. Rasanya tidak melulu tentang hal yang manis tapi juga ada hal-hal yang pahit. Aku harus lebih banyak belajar lagi untuk membuat Mas Doni bahagia, mungkin belajar memasak sesuai dengan seleranya juga cara untuk membuatnya bahagia.
Kami habiskan malam sambil berbincang di teras rumah dengan ditemani kopi dan cemilan. Mas Doni itu selalu mempunyai banyak bahan obrolan untuk dia perbincangkan.
"Dek, setiap sabtu dan minggu, mungkin aku akan jemput Clara Untuk menginap disini." Ucap Mas Doni sesaat setelah menyeruput kopi di gelasnya.
"Iya mas." Jawabku dengan menatapnya.
"Besok, Mas akan pulang telat ya dek! Ada kerjaan lain sama si bos." Ucap Mas Doni yang membalas tatapanku.
"Iya Mas." Jawabku singkat.
Bos yang dimaksud mas Doni mungkin bos yang meminjamkan tepat untuk pernikahan kita kemari. Aku mulai mengetahui berbagai hal tentang Mas Doni setelah kami menikah. Sedikit demi sedikit, mulai dari bagaimana pekerjaan Mas Doni dan apa saja yang sering dia kerjakan diluar pekerjaannya.
"Mas, sebenarnya aku sedikit bosan di rumah, selama menunggu Mas pulang aku suka bingung mau ngapain aja." Aku mencoba mengungkapkan perasaanku. "Kalau aku bekerja lagi boleh nggak Mas? Buat ngisi kesibukan aja." Pintaku pada Mas Doni yang telah merubah garis wajahnya.
Mas Doni masih diam, tak memberikan jawaban atas permintaanku.
"Kan aku udah sehat mas, aku juga sudah menyelesaikan pengobatanku." Aku kembali melanjutkan.
Terlihat Mas Doni sedikit menarik nafasnya dalam. Dan seolah akan menanggapi perkataanku.
"Kamu di rumah aja ya dek! Aku ingin istriku ada dirumah. Aku tidak ingin, orang lain mengira kamu bekerja -- karena aku yang tidak sanggup untuk mencukupimu." Ucap Mas Doni yang memupuskan harapanku.
Aku menempelakan bibir atas dan bawah dalam, tak berani menjawab lagi perkataan mas Doni. Dari dulu aku memang orang yang seperti ini, jika sudah menerima penolakan aku tidak akan mencoba untuk kembali memperjuangkan keinginanku. Begitu pun pada ayah dan ibu dulu, aku tidak pernah membangkang sesuatu yang ayah dan ibu katakan. Satu hal yang pernah aku tolak adalah keinginan ibu untuk menjodohkan aku dengan Mas Doni, tapi ujung-ujungnya pernikahan itu tetap terjadi, walaupun dengan keinginanku sendiri juga.
"Mas ingin, kamu fokus dengan rumah tangga ini. Mas yang akan mencukupi semua kebutuhan rumah." Mas Doni melanjutkan perkataannya, dia sepertinya menyadari gurat kekecewaan pada wajahku.
"Sebenarnya bukan masalah uang kok mas, aku hanya ingin mempunyai kesibukan saja karena merasa bosan." Jawabku lirih.
"Kalau kamu merasa bosan, selagi Mas Kerja. Sesekali pergilah berkunjung kerumaha Mamih, atau ajaklah Clara Pergi jalan-jalan -- biar kalian juga bisa bertambah akrab. Atau kamu juga boleh main kerumah ibu." Mas Doni mencoba memberikan aku pilihan lain.
"Iya mas." Lirihku.
"Sudah ya! Jangan bahas ini lagi!" Mas Doni menutup pembicaraan. "Ayo, kita masuk kedalam! Kita istirahat dikamar, mas ingin tiduran." Ajak Mas Doni, seraya mengulurkan tangannya yang aku sambut dengan uluran tanganku.
Waktu belum terlalu malam, jarum jam baru menunjukan pukul sembilan. Karena Mas Doni sudah mengajak istirahat, aku pun mengunci semua pintu dan mematikan beberapa lampu. Mas Doni sudah terlebih dahulu masuk kamar dan bersandar diatas ranjang. Aku lebih memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu di kamar mandi dan menganti pakaian dengan piyama tidurku.
"Kok, pakai bajunya yang itu dek?" Tanya Mas Doni yang sedang menyapukan tatapannya dari kaki hingga kepalaku.
"Memang kenapa mas? Ada yang salah ya?" Aku balik bertanya tak mengerti, dengan tetap berjalan mendekati tempat tidur.
Saat aku telah duduk bersandar disamping Mas Doni, mas Doni mendekatakan bibirnya di telingaku.
"Aku lebih suka, kamu memakai baju yang aku berikan kemarin." Bisik Mas Doni.
Pipiku memerah mendengar bisikannya itu.
"Bajunya aku cuci mas, kan cuma punya itu saja." Jawabku malu-malu, aku memang hanya mempunyai satu lingerie, itu pun Mas Doni yang memberikannya.
"Kalau begitu, lain kali aku harus belikan lebih banyak lagi yah. Biar kamu bisa ganti-ganti setiap hari." Ucapnya menggodaku.
Aku tak menjawabnya, hanya melirikan mataku kearahnya.
Mas Doni tersenyum melihat lirikan mataku. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, kami bertemu diperaduan sebelum akhirnya melepas lelah dalam lelap.
Matahari telah meninggi, tapi aku dan Mas Doni belum juga mau beranjak dari tempat tidur. Kami masih nyaman dengan pelukan masing-masing. Pergi ke kamar lebih awal tak menjamin kami pergi tidur lebih cepat. semalam, pelepasan itu tidak lah cukup satu kali. Kami melakukan pelepasan-pelepasan itu berulang-ulang kali, membuat kami terlelap disaat waktu sudah sangat larut.
"Mas, langit sudah terang loh. Ayo, bangun! Nanti telat ke kantor." aku sedikit menggoyangkan tubuh mas Doni, mengingatkan ia yang masih erat memelukku.
"Lima menit lagi ya dek." Lirih Mas Doni, dengan mata masih terpejam.
"Tapi aku bangun ya? Aku menyiapkan sarapan." melepaskan pelukan dari tubuhnya.
Aku hanya menyediakan roti dan kopi sebagai sarapan di atas meja makan. Dengan kemeja tangan panjang berwarna biru langit dan celana panjang berwarna hitam serta rambut yang disisir rapih kebelakang -- Mas Doni sudah siap dengan sarapannya.
"Mas Aku ikut ya, semenjak nikah aku belum pernah menemui ibu atau ayah. Aku mau main kerumah nenek." Pintaku pada Mas Doni.
"Iya boleh, tapi Mas nggak anterin sampe tujuan ya. Soalnya ini sudah kesiangan." Jawab mas Doni yang masih sibuk dengan sarapannya.
"Iya nggak apa-apa. Nanti aku sambung dengan angkutan umum." Sahutku.
Kami telah siap untuk berangkat, Mas Doni juga juga baru saja selesai dengan sepatunya.
"Dek, ini buat pegangan kamu. Kamu pergunakan untuk kebutuhan kamu juga kebutuhan rumah yah." Mas Doni memberikan aku amplop coklat berisi uang, saat kami berada diruang tamu sesaat sebelum berangkat.
"Iya, makasih Mas. Akan aku pergunakan dengan bijak dan sebaik mungkin."
Kuintip isi dalam amplop coklat tersebut, jumlah yang cukup besar untukku.
Ini adalah pemberian berupa uang pertama yang Mas Doni berikan padaku.
Selama ini semua kebutuhan dapur dan rumah sudah Mas Doni penuhi, sedangkan saat berpergian aku selalu pergi dengan Mas Doni jadi Mas Donilah yang mengeluarkan uang. Dari awal menikah aku sama sekali tidak memegang uang. Sebenarnya, ada sih uang pegangan dari tabunganku tapi jumlahnya tidaklah seberapa.
"Ya sudah, ayo kita berangkat! Nanti, Mas turunin dek Tari di pusat kota saja yah? Jadi dek Tari tinggal lanjut satu kali lagi naik angkot." Ucap mas Doni, sambil berjalan menuju mobil
"Iya Mas, nggak apa-apa." Sahutku yang mengikuti langkah dibelakangnya.
Pagi itu kami pun berpisah di pusat kota, menuju tempat tujuan masing-masing. Kupandangin SUV hitam itu sampai wujudnya menjauh, membelah jalanan yang ramai.