Masakan Pertama.

1686 Kata
Hari ini, sesuai rencana -- aku dan mas Doni akan mulai mengisi rumah 'baru', rumah yang sudah Mas Doni siapkan sebelum pernikahan kami. Aku sendiri tidak tahu persis rumah siapa dan bagaimana bentuk rumah yang akan kami tempati itu. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Mas Doni baru saja mandi bergantian denganku tadi. Aku terlebih dahulu membuka lemari pendingin, melihat ada bahan apa saja didalamnya yang bisa aku gunakan untuk dijadikan sarapan kami. Hanya ada beberapa telur, juga bahan sederhana lainnya -- yang mungkin akan aku olah menjadi nasi goreng saja. Ditengah aku yang masih disibukan dengan masakan yang belum selesai, Mas Doni sudah terlihat keluar dari kamar. "Sudah selesai mandinya mas." Tanyaku sambil kulirikan pandangan kearahnya. "Iya." Jawabnya singkat. Sambil berjalan menuju meja makan didepanku. "Ini aku sudah buatkan kopi mas. Sarapannya sebentar ya! Aku selesaikan ini dulu." Aku yang masih sibuk menyajikan nasi goreng dipiring. Sebenarnya aku memang tidak terlalu pandai memasak, hanya sekedar bisa saja. Ada beberapa masakan sederhana yang memang mudah dan sering aku memasaknya Kami berdua sarapan dengan tenang, Mas Doni juga tidak banyak bicara. Aku yang merasa kikuk, berusaha untuk menghangatkan suasana dengan membuka obrolan. "Mas, memang rumah yang akan kita tempati nanti, sudah ada barang-barang didalamnya?" Aku mengawali pembicaraan. "Iya dek, tapi baru barang-barang yang sekiranya penting saja. Nanti berjalan ya, kita isi barang-barang yang lain." Jawab Mas Doni sambil menyendokan kembali sarapannya. "Iya." Jawabku."kalau boleh aku tahu, tempat ini sebenarnya apa sih mas? Punya siapa?" Tanyaku dengan polosnya. "Tempat ini yang punya kenalan mas, aku sama dia sering punya bisnis lain diluar pekerjaan. Seorang pengusaha kaya, punya banyak properti juga tanah. Tempat ini cuma salah satu properti yang dia punya." Mas Doni menjelaskan dengan menghabiskan suapan terakhirnya. Awalnya aku sempat mengira jika tempat ini kepemilikan keluarga Mas Doni, tetapi dari penjelasan yang mas Doni berikan ternyata perkiraanku salah. Setelah mengemas semua barang dan memastikan tidak ada yang tertinggal, kami berangkat menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal kami nanti. Mas Doni mengemudikan mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang nampak cukup lengang. Mas Doni mengarahkan mobilnya menuju pinggiran kota, memasuki daerah yang jauh dari keramaian. Jalan yang kami lalui makin lama makin menyempit, lalu mas Doni membelokan kemudinya kearah sebuah perumahan yang terlihat cukup rapih, juga asri. Banyak pepohonan yang tertanam sepanjang jalan perumahan, bahkan banyak juga rumah-rumah yang memiliki pohon yang tumbuh cukup besar. Rumah-rumah yang berada diperumahan ini memiliki ukuran yang sedang dengan bentuk rumah yang seragam. Mas Doni menghentikan laju mobilnya didepan rumah dengan pagar kayu berwarna coklat. Tepat didepan gerbang rumah, Mas Doni turun dari mobil untuk membukanya. Setelah memarkirkan mobil dengan rapih, kami masuk kedalam rumah melalui pintu depan. Aku menyapu seluruh ruangan dengan pandanganku, rumah yang cukup cantik, memiliki ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, rumah ini benar-benar tertata dengan rapih, barang-barang yang ada didalamnya dari sofa hingga peralatan yang ada di dapur terisi dengan barang-barang yang terlihat modern. "Mas, apa dulu mas menempati rumah ini juga dengan mama-nya Clara?" Aku memberanikan diri menanyakan hal yang mengganggu pikiranku. "Nggak, aku baru menemukan rumah ini. Sengaja aku persiapkan untuk ditempati bersamamu setelah kita menikah." Jawab Mas Doni sambil melangkahkan kakinya menuju kamar. "Ooh." Jawabku singkat, dengan mengikuti langkahnya dibelakang. "Ini kamar kita." Ucap mas Doni yang mengalingkan pandangannya padaku. "Sedangkan satu kamar lagi, untuk Clara Atau siapapun bila menginap." Lanjutnya sambil menunjuk kamar yang ada disamping ruang TV. "Iya Mas." Jawabku. "Oh, ya, mas, koper pakaian masih di dalam mobil." Lanjutku. "Iya, aku ambil dulu ya sebentar." Sahut Mas Doni, yang kembali menuju mobil untuk mengambil koper kami. Kepindahan hari itu, bukanlah kepindahan yang melelahkan. Karena, Mas Doni sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari, jadi hari itu aku hanya perlu merapihkan pakaian-pakaian kami ke dalam lemari saja. Sisanya kami hanya menghabiskan waktu bersama dengan menonton televisi dan saling bermesraan ala pengantin baru. Jujur saja awalnya aku merasa sangat canggung, tapi mengingat kembali kita yang sudah menjadi suami istri aku coba membiasakannya. "Mas kamu cuti sampai kapan?" Tanyaku yang sedang menyandarkan kepala di d**a Mas Doni. "Satu minggu, ini sudah lima hari. Jadi masih ada sisa dua hari lagi, buat memenin kamu dirumah." Jawab Mas Doni, yang masih mengarahkan pandangannya pada layar televisi. Di tengah-tengah percakapan, tiba-tiba saja terdengar suara dari perut Mas Doni. "Lapar ya mas?" Tanyaku dengan senyum menggodanya. "Iya, lapar juga." Jawabnya. "Kita keluar yuk, cari makan! Sekalian belanja bulanan buat isi keperluan dapur." Mas Doni segera beranjak dari sofa tempat kami bersantai. Kami pergi ke Hypermarket terdekat untuk berbelanja. Dari kegiatan berbelanja pula, kami dapat lebih mengenal sifat satu sama lain, terutama jadi mengetahui kebiasaan makanan dan barang-barang yang kami gunakan sehari-hari. Aku sebagai istri belajar untuk lebih mengenal suamiku. Hari pertama dirumah 'baru', diisi dengan segala aktifitas yang makin menumbuhkan cintaku pada Mas Doni. Mas Doni bukan tipe yang romantis dan berkata-kata manis, tapi dia cukup membuatku nyaman. Satu minggu setelah menjadi pasangan suami istri, aku sudah mulai terbiasa dengan rutinitas harianku. Sejak kemarin juga Mas Doni sudah kembali aktif bekerja. Dari pukul setengah sembilan pagi hingga pukul lima sore aku akan menghabisakan waktuku sendiri dirumah. Mengerjakan tugasku sebagai istri, hingga menunggu waktu kepulangnya. Sedikit demi sedikit, aku juga menjadi tahu. Apa yang dia suka dan dia tidak suka, apa yang dia inginkan dan apa yang tidak dia inginkan. Contohnya aku menjadi tahu, bahwa mas Doni lebih menyukai masakan rumahan, masakan yang dimasak aku sendiri. Dulu saat masih tinggal dengan mamih, mamih-lah yang selalu memasakan untuknya. Saat ini aku sedang berusaha untuk belajar berbagai macam masakan yang lebih bervariasi menunya. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, Mas Doni sempat meminta untuk aku masakan sesuatu. Kebetulan semua bahan ada, hasil belanja bulanan sebelumnya. "Dek, hari ini mas ingin makan ayam rica-rica, kamu bisa masakin buat mas?" Pinta Mas Doni saat sedang memakai dasinya di depan cermin. "Aku belum pernah masak itu sih mas, nanti aku coba masak ya." Jawabku, yang sedang memilih sepatu untuk Mas Doni kenakan ke kantor. "Coba telepon mamih, minta resepnya ke mamih. Nanti kamu belajar dari resep yang mamih kasih yah." Ucap Mas Doni tanpa melihat kearahku. "Iya mas, nanti aku telepon." padahal tadinya aku berniat untuk telepon ibu saja. Tapi tak apa itung-itung pendekatan kepada mamih. Ucapku dalam hati Setelah Mas Doni berangkat, aku telepon mamih. Sesuai dengan apa yang Mas Doni mau, aku meminta resep kepada mamih. Tidak terlalu banyak kegiatan yang aku bisa lakukan selama seharian dirumah, karena hanya kami berdua yang menghuni rumah ini, jadi tidak begitu ada banyak pekerja rumah. Setelah selesai dengan pekerjaan rumah aku menghabiskan waktu hanya dengan menonton televisi atau bermain ponsel. Merasa bosan akhirnya aku putuskan untuk masuk dapur dan mulai memasak, mencoba resep yang mamih berikan tadi. Aku bukannya sama sekali tidak bisa masak, hanya saja belum pernah masak berbagai menu atau yang kira-kira sulit. Selama ini, bersama ibu aku paling hanya masak tumisan-tumisan sederhana saja. Untuk masak masakan yang menurutku sulit selalu ibu yang mengerjakan. Setelah berumah tangga. Mau tidak mau aku harus belajar, untuk membahagiankan suami. Aku iikuti resep yang mamih berikan dengan sangat teliti, tidak ada yang dilebihkan maupun dikurangi. Semua sesuai dengan porsinya. Aku memasaknya dengan penuh rasa cinta, berharap Mas Doni akan menyukainya. Setelah semua tahapan selesai aku lakukan, terakhir aku mengecek rasa terlebih dahulu, untuk mengetahui bagaimana rasanya. Setelah dirasa masakan ini cukup enak, aku selesaikan kegiatan memasak dan bersiap-siap menunggu kepulang Mas Doni. Terdengar suara mobil Mas Doni memasuki gerbang, aku yang sedang berada dikamar segera keluar rumah dengan berlari kecil menyambut kepulangannya. Baru kali ini merasakan perasaan seperti ini, hanya ditinggal bekerja beberapa jam saja tapi rasa rindu menggelayuti diri. Ingin rasanya cepat bertemu dengan laki-laki yang kini telah menjadi suamiku. Mas Doni tersenyum melihat memunculan ku dari dalam rumah, ketika ia baru saja keluar dari dalam mobil. "Halo sayang." Ucapnya dengan langkah mendekatiku. Aku melemparkan senyum padanya, yang terlihat sangat lelah. "Capek ya mas? Mau langsung makan atau mau mandi dulu." Tanyaku, yang ingin sesempurna mungkin melayaninya. "Mas Mandi dulu aja deh, biar seger." Jawabnya sambil melonggarkan dasi dilehernya. Dilangkahkan kaki mas Doni masuk kedalam kamar, diikuti aku yang melangkah dibelakangnya. "Mas rebahan dulu ya,dek, sebentar." Ucap Mas Doni sambil merebahkan badannya diatas kasur. "Setelah hilang capeknya, Mas mandi! aku bikinkan teh manis hangat ya? Sekalian mau siapin buat makan." Ucapku dengan berjalan keluar kamar, meninggalkan Mas Doni yang sedang merebahakan badannya. Setelah mandi, Mas Doni terlihat lebih segar. Aku sudah menunggunya di meja makan. Jujur saja aku sangat antusias, agar Mas Doni segera mencicipi masakanku. Ini adalah masakan pertamaku setelah menikah, selain nasi goreng yang pernah aku buat, saat kita masih di rumah paviliun waktu itu. Sebelum-sebelumnya kalau tidak makan di luar biasanya kita memesan makanan secara daring. Aku sangat percaya diri dengan masakan aku, karena tadi sudah aku cicipi terlebih dahulu dan rasanya cukup enak menurut aku. "Langsung makan mas? Aku sudah jadi masak ayam rica-ricanya, sesuai pesananmu tadi aku menelepon mamih dan meminta resepnya." Ucapku sambil menyendokan nasi dipiringnya. "Iya tadi aku telepon mamih, dan mamih juga menyampaikan kalau tadi kamu meneleponnya." Sahut Mas Doni yang sambil menarik kusi meja makan untuk duduk. "Untung saja tadi aku menelpon mamih bukan menelpon ibu, ternyata Mas Doni dan Mamih-nya saling berkabar." Gumamku dalam hati. Setelah menyendokan nasi dan lauk pada piring Mas Doni, gantian aku menyendokan nasi dan lauk untuk aku sendiri. Sambil sesekali melirik kearah Mas Doni yang mulai menyuap makanannya. "Gimana mas? Enak nggak masakan aku?" Aku tak sabar menanyakan pendapatnya, saat dia menyelesaikan suapan pertamanya. "Hemm, gimana ya? Nggak buruk sih, tapi belum sesuai dengan lidah aku. Masih lebih enak yang biasa mamih masak. Lain kali belajar lagi sama mamih ya dek." Mas Doni berkata dengan ringannya. "Iya mas." Lirihku pelan, dengan senyum yang dipaksakan. Entah mengapa kata-kata itu begitu membuatku sakit. Aku ingin memahaminya, mungkin selama ini Mas Doni sudah terbiasa dengan masakan mamih. Tapi tetap saja, tiba-tiba saja selera makanku menjadi hilang dan bibir ini menjadi kaku sulit untuk diajak tersenyum. Tak bisakah Mas Doni sedikit memberikan aku pujian atas usaha yang aku lakukan seharian ini. Ternyata rasanya sakit, saat yang terjadi tak sesuai dengan apa yang aku bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN