Bab.22 Ada Maksud Terselubung

1610 Kata
Pagi sekali ibu seperti biasanya sudah pergi meninggalkan rumah, siapa lagi kalau bukan pergi dengan Om Hendra. Sama seperti hari yang sudah-sudah aku dan nenek hanya berdua dirumah, menghabiskan waktu dengan menonton televisi atau berbincang-bincang. Setelah merasa lelah kembali ke kamar masing-masing untui berbaring. Jika dipikir-pikir aku yang sakit ini jadi sama seperti orang yang telah lanjut usia. Tidak sampai sore hari ibu sudah sampai dirumah, tapi tak nampak Om Hendra mengantarnya. "Kok ibu sendiri." Tanyaku. "Tadi diturunin di g**g depan, Om Hendra langsung jalan pulang." Jawab ibu. Terlihat lelah, ibu menyandarkan punggungnya dikursi satu ruang tamu. Dari g**g depan menuju rumah memang lumayan jika ditempuh dengan berjalan kaki. "Oh ya teh, tadi ibu ketemu sama bu Jihan sama bu Euis." Ucap ibu, dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Aku diam menunggu apa yang akan selanjutkan ibu katakan. "Bu Jihan bertanya, apa teteh mau memberi les kepada anak-anaknya?" Ucap ibu. Oh iya kenapa selama ini tidak terpikir olehku untuk memberi les pada anak-anak? Padahal dulu saat belum bekerja ditempat kerja yang kemarin aku sempat memberi les pada anak-anak Sekolah Dasar. Mendengan kabar yang dibawa oleh ibu ini, tentah aku merasa senang. "Iya bu aku mau" jawabku tanpa ragu. "Kalau teteh mau, nanti teteh coba datangi rumah ibu Jihan atau ibu Euis. Buat memperjelas." Imbuh ibu. "Iya, besok pagi aku coba datang kerumah mereka." Jawabku semangat. Duh, tiba-tiba kenapa hati ini mendadak senang, jika benar aku bisa memberi les lagi seperti dulu pada anak-anak pasti sangat menyenangkan. Kulirikkan mataku ke arah nenek, untuk menunjukkan kesenanganku tapi saat kulihat nenek sedang terlelap dengan remote ditangannya, pantas saja dari tadi nenek tidak ikut merespon obrolanku dengan ibu. *** Mulai minggu depan aku sudah mulai mengajar anak-anak les, untuk sementara baru Zalfa dan Rachel yang akan aku berikan bimbel. Rencananya masih ada 3 teman mereka lagi yang ingin ikut bergabung, tapi masih menunggu kabar selanjutnya. Nantinya dalam seminggu ada tiga kali pertemuan, demi efisiensi waktu dan semangat dalam belajar, mereka meminta untuk digabung. Jadi dalam sekali waktu aku langsung mengajar dua anak, hanya saja tempatnya bergantian — sekali waktu dirumah bu Jihan dan dilain waktu di rumah bu Euis. Jika tiga teman mereka jadi ikut bergabung berarti nanti ada lima anak yang akan aku bimbing. Sesuai dengan batas maksimal.yang aku mau. "Terima kasih ya nak Tari sudah mau meluangkan waktunya." Ucap bu Jihan. "Sama-sama ibu, aku juga terima kasih banyak karena udah percaya buat ngajar anak-anak." Jawabku. "Mudah-mudahan ya cocok, soalnya biasa anak-anak kalau diajarnya sama ibu sendiri sulit. Ibunya juga jadi naik darah..hahaha!" Ucap bu Jihan dengan tawa. "Aamiin..aaminn! Mudah-mudahan ya bu pada semangat belajarnya. Kalau begitu saya permisi bu. Sekali lagi terima kasih" ucapku. "Iya sama-sama." Jawab bu Jihan. Kuucapkan salam tanda menutup pertemuan ini. Bila Andi tahu kabar ini, pasti dia akan sangat mendukungku. Ingin rasanya mengirimi dia pesan atau menelepon. Tapi semenjak kepulangan dia yang terakhir, semenjak itu dia sulit untuk dihubungi, teleponku jarang sekali dia angkat, pesan dariku pun lama dia balas, biasanya ada pesan balasan dari andi jika sudah sangat larut. Kemungkinan dia baru pulang dari tempat kerjanya. Sebenarnya aku sangat khawatir, apakah dia hidup dengan baik disana? Apakah dia bekerja terlalu keras? Bagaimana makannya? Pokoknya semua tentangnya sangat aku khawatirkan. Semoga kedepannya semua bisa kembali normal untuk Andi. Perkerjaan yang sesuai jam kerja dan memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Untuk saat ini aku hanya berdoa semoga dia selalu sehat dan bahagia dengan semua yang dia kerjakan. *** Sudah dua hari berturut-turut pria berpakaian necis itu selalu datang kerumah. Kata ibu, bos-nya cocok dengan tanah yang ditawarkan ibu, kedepannya nanti tinggal mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan admistrasi, seperti pengecekan keaslian surat-surat, serta bukti kepemilikan yang sah. selanjutnya akan langsung melakukan transaksi didepan notaris agar langsung diurus langkah-langkah selanjutnya seperti kepindahan pemiliki dan lain-lain. Ibu terlihat sangat berharap tanahnya kali ini akan 'gol' Hari ini, hari pertama aku mulai mengajar anak-anak. Jam les mereka diambil sore hari setelah ashar, hari ini rumah Zalfa atau rumah bu Jihan yang menjadi tempat belajar. Sedari siang tadi bu Jihan sudah mengirimiku pesan untuk mengingatkan, bahwa hari ini anak-anak sudah siap untuk bimbel. Akupun penuh semangat untuk memulainya. Selesai mandi, solat ashar dan berdandan rapih aku siap untuk berangkat. Setelah sebelumnya pamit pada nenek yang sedang berbaring dikamarnya. Aku pun berangkat, yang secara otomatis harus melewati ibu dan tamu-tamu-nya yang berada diruang depan. "Bu, aku berangkat dulu ya!" Pamitku pada ibu sembari mencium punggung tangannya. Ibu tidak langsung membiarkanku berangkat, karena ini kali pertama aku dan pria necis itu saling bertemu. Sembari tetap memegang genggaman tanganku, ibu menggunakan kesempatan itu untuk mengenalkan aku pada pria itu. "Oh iya, pak Doni kenalkan ini anak sulung saya, Tari!" Ucap ibu mengenalkanku pada pria yang ibu panggil dengan sebutan pak Doni itu. "Halo, Tari! Salam kenal ya." Ucap pak Doni ramah. "Teh, ini pak Doni yang suka ibu ceritakan, sedang ada urusan bisnis tanah dengan ibu." Ucap ibu memperkenalkan pria itu padaku. Aku tidak banyak bicara, hanya memberikan senyuman tanda menghormati perkenalan ini. "Cantik juga bu Ratih anaknya! ngomong-ngomong dek Tari sudah rapih mau pergi?" Tanya pria itu penuh basa-basi. "Iya, Tari ada kegiatan memberi les private untuk anak-anak SD." Ibu yang menjelaskan pertanyaan Pak Doni. "Kalau begitu saya permisi dulu, silahkan dilanjut obrolannya." Ucapku bergegas pamit tak ingin menjadi obrolan yang panjang. Padahal ada 3 orang yamg menjadi tamu ibu dihadapanku tadi, tapi mengapa ibu hanya mengenalkanku pada pria bernama Doni itu, Aku pun berlalu melangkahkan kaki keluar rumah. Bukannya aku tak sopan karena mencuri dengar ataupun karena ingin tahu urusan ibu dengan pria itu, tapi memang obrolan pria itu dengan ibu, cukuplah jika harus didengar oleh seisi rumah ini. Pria yang ibu panggil dengan panggilan Pak Doni itu sepertinya orang yang sangat pandai bicara, karena dari yang aku amati sejak kedatangannya kemarin, banyak sekali hal-hal yang bisa ia jadikan bahan atau topik pembicaraan. Apapun akan dia obrolkan. Kalau diperhatikan juga, sekarang ini urusan ibu dengan Pak Doni itu, bukan sekedar bisnis tanah lagi, tapi sudah masuk keranah pribadi. Aku sempat mendengar pria itu mencerita pekerjaan, keluarganya bahkan pribadinya saat ngobrol dengan ibu. Untuk ukuran pria berdasi, dia kurang wibawa. Tapi Ibu juga terlihat senang dapat mengenal dan bergaul dengan orang seperti pak Doni itu sepertinya. Ibu sih nampaknya menganggap pak Doni seperti adik, karena memang pak Doni memiliki umur dibawah ibu, kalau tidak salah umurnya sekitaran 34 tahun. Aku mengetahuinya saat mendengar obrolan antara ibu dan pak Doni. *** Setelah jalan beberapa menit akhirnya aku sampai didepan rumah bercat putih dengan pagar kayu berwarna coklat, dari luar saja dapat terlihat bahwa rumah itu cukup besar. Terdapat kebun kecil yang terdapat dibagian depan dan pinggir kiri rumah itu, dengan rumput Jepang yang halus juga beberapa pohon mangga dan rambutan yang cukup rindang tapi tidak terlalu besar, menciptakan kesan asri dan sejuk. Dibeberapa sudut taman juga terdapat beberapa pot tertanam bunga mawar dengan berbagai warna, membuat taman ini bertambah terlihat cantik. Setelah mengucapkan salam, muncul bu Jihan dari balik pintu. "Mari mbak Tari, kita ketaman samping saja ya, anak-anak sudah menunggu disana." Ucap bu Jihan menuntunku. "Iya, mari bu!" Jawabku. Kuikuti langkah kaki bu Jihan yang menuju taman samping kiri rumah, disana terdapat gazebo yang terbuat dari kayu yang nampak sangat nyaman dan teduh. Disamping gazebo terdapat kolam ikan yang menambah suasana menjadi damai. Sudah Ada zalfa dan Rachel yang menunggu disana. "Mbak Tari, zalfa minta belajarnya disini saja tidak apa-apakan?" Ucap bu Jihan padaku. "Iya bu, tidak masalah sama sekali. Justru disini sangat nyaman. Mudah-mudahan anak-anak bisa fokus belajarnya." Jawabku "Kalau begitu saya tinggal dulu ya mbak Tari. Anak-anak belajarnya yang fokus ya! Mbak Tarinya perhatikan saat sedang mengajar nanti." Ucap bu Jihan. "Iya, mih!" Terdengar suara jihan menjawab lirih. "Oke, anak-anak kita mulai belajar ya! Bismillahirrahmanirrahim." Ucapku. *** "Ternyata teh, pak Doni itu sedang mencari calon istri." Ucap ibu tiba-tiba saja. "Terus kenapa?apa hubungannya dengan aku?" Tanyaku tak suka. "Coba deh dipikir-pikir! Dia itu masih muda, punya pekerjaan yang bagus, kemana-mana bawaannya sudah mobil. Laki-laki yang mapan, secara fisik juga lumayan." Ucap ibu panjang lebar menerangkan tentang pak Doni itu. "Lalu? Ibu mau pindah hati dari om Hendra ke pak Doni?" Ucapku asal bicara. "Hus, ngaco! Dia itu jauh lebih muda dari ibu, ibu rasa cocoknya dengan teteh." Ucap ibu, membuatku melirik tajam kearah ibu. "Nggak akan, mau aku kemanakan Andi? Lagi pula aku kurang suka dengan laki-laki itu. Terlalu rame, aku suka laki-laki yang sedikit bicara." Jawabku menegaskan pada ibu. "Andi? Apa yang akan kamu harapkan dari Andi? Dia itu masih punya beban yaitu keluarganya. Tipe-tipe kaya Andi itu nggak mungkin nikah dalam waktu dekat. Lagian laki-laki sedikit bicara itu membosankan, sama kaya ayahmu." Ucap ibu, yang tambah membuatku kesal. "Ih, ibu apaan sih? Kenapa ibu jadi menjodoh-jodohkan aku dengan pak Doni? Pokoknya aku nggak suka sama orang itu dan yang jelas aku masih punya hubungan dengan Andi." Ucapku menekankan pada ibu. "Jangan terburu-buru menolak dan menilai seseorang, kenali dulu orangnya baru nanti setelah kamu tahu kamu bisa menilainya." Ucap ibu masih berusaha merayuku. "Ibu, pokoknya aku nggak mau ibu menjodoh-jodohkan aku dengan orang itu!" Ucapku bertambah kesal. "Ibu juga nggak akan menyerah, ibu akan cari cara ibu biar teteh kedepannya tambah dekat dengan pak Doni." Ucap ibu, tak mengindahkan ucapanku. "Aku nggak peduli, sampai kapanpun aku nggak akan pernah mau." Ucapku dengan nada menekankan. Pembicaraan aku dengan ibu kali ini benar-benar membuat aku merasa sebal. Bisa-bisanya ibu menjodohkan aku dengan pak Doni. Tidak terbayang sedikitpun dalam pikiranku, aku bisa mengkhianati Andi. Lagi pula laki-laki bernama Doni itu sama sekali bukan tipe yang aku suka. Dia itu terlalu banyak bicara untuk ukuran laki-laki. memang sih dia itu baik, dengan tingkat sosialnya, bahkan dia tidak masalah bergaul dengan kami yang orang tidak punya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN