Bab.20 Pria Berpakaian Necis

1061 Kata
Dari dalam kamar dapat kudengar sepertinya diluar sana, sedang ada tamu. Karena rasa penasaran, akhirnya aku putuskan untuk mengintip keluar kamar, mencari tahu siapa yang datang. Dari yang kulihat, ada tiga pria beserta ibu yang sedang duduk diruang depan. Seperti yang terlihat pastilah mereka adalah tamu ibu, tapi dari hasil pantauanku tidak nampak om Hendra disana. Dari tiga pria tamu ibu itu, tampak salah satu dari mereka terlihat lebih menonjol dibanding yang lainnya. Yang satu itu berpenampilan necis, dengan stelan kemeja dan celana panjang dengan warna yang senada ditambah sepatu pantofel jenis oxford yang dia kenakan. Ish, entah mengapa kesan pertama yang aku dapat, aku tidak menyukainya. Bagaimana bisa dia tetap memakai sepatu didalam rumah saat bertamu. Dari visual yang terlihat, sepetinya pria itu miliki umur dibawah ibu, pria dengan kisaran umur 30 tahunan. Sebenarnya tidak terlalu tampan, tapi karena perawakan yang tinggi dan badan yang proposional serta penampilan yang mendukung jadi membuatnya terlihat menarik. Sedangkan dua pria lainnya, terlihat biasa saja dengan dandanan casual. Dari yang kulihat bisa ku tebak, mereka adalah satu bos dengan dua kaki tangan. Samar-samar aku mencuri dengar pembicaraan diantaranya, "Kalau memang lokasinya cocok, mengenai harga nanti bisa kita bicarakan lagi." Ucap pria necis itu. "Kalau lokasi dijamin bagus pak, selain posisi tempatnya strategis tanahnya juga datar. Nanti biar dicek dululah sama pak Doni sebelum bosnya lihat." Ucap ibu mengeluarkan keahliannya merayu pembeli. "Kalau si bos sih gimana aku bu, kalau kata aku oke, dia oke, oke aja!" Ucap pria itu. Ish, untuk seorang pria dia cukup banyak bicara. Walaupun mungkin sesuai kenyataan tapi omongannya terlalu tinggi. Dari obrolan yang aku tangkap, sepertinya itu hanya rekan ibu dalam jual beli tanah. "Ya sudah ya bu Ratih, untuk hari ini cukup saya permisi dulu. Tolong dikabari saja kira-kira kapan kita bisa survei lokasi." Ucap pria necis itu, pamit pada ibu. "Iya pak, nanti malam saya kabari." Ibu menjawab. Setelah memastikan mereka sudah pergi, aku keluar dari kamar, langsung menuju depan televisi, sebentar lagi drama korea favorit yang setiap sore aku tonton. "Siapa sih bu barusan?" Tanyaku penasaran. "Itu ada buyer nyari tanah buat bikin villa, H. Hasan tadi yang ngenalin." Ucap ibu. "Yang pake kemeja biru tadi buyer-nya?" Tanyaku. "Pak Doni? lebih tepatnya si ada bos-nya lagi, pak Doni itu orang kepercayaan sepertinya." Terang ibu padaku. aku cukupkan membahas tentang pak Doni itu. Ibu menyusulku duduk didepan TV. Sembari menyaksikan drama yang sedang tayang, obrolan-obrolan kecil antara aku dan ibu mewarnai kegiatan disore itu. *** Setelah mandi dipagi hari ini, pandangaku terpaku pada cermin yang ada dihadapan. Dari sana terlihat pantulan gambar diriku, kuperhatikan secenti demi secenti bagian dari tubuh yang terpantul dari cermin itu. Terlihat disana raut muka pucat khas orang sakit. Namum yang tak kalah mengusik jiwaku, dari cermin aku dapat melihat dengan jelas berat badan yang sepertinya menyusut cukup drastis. Tulang-tulang pipi yang mulai terlihat menonjol, juga begitu dengan tulang leher. Kondisi yang tidak stabil membuat mentalku naik turun. Terkadang aku bisa survive dengan keadaan, tapi tidak jarang pula aku mendapatkan diriku yang frustasi dan putus asa dengan keadaan yang aku alami. Dipaksa berhenti bekerja dari pekerjaan yang sedang nyaman-nyamannya aku jalani, karena tubuh yang sakit, adalah sesuatu yang cukup membuat luka. Aku mulai frustasi saat ini, jenuh mulai menggelayuti diri. Melalui keseharian dengan rutinitas yang itu-itu saja sungguh membuatku merasa setengah mati karena bosan. Menyadari aku yang lama berdiri didepan cermin, ibu menghamipiri seraya merangkul pundakku. "Nanti juga kembali seperti semula kok." Ucap ibu menenangkan. "Benar bisa kembali seperti semula?" Tanyaku tak yakin. "Nanti saat teteh sudah selesai masa pengobatannya, semua akan berangsur-angsur kembali kok." Ibu meyakinkanku. "Bu, aku sangat jenuh dirumah. Kira-kira apa ya yang bisa aku lakukan untuk mengisi waktu? yang tidak terlalu banyak memakan tenaga tapi bisa mengisi waktuku." Ku sampaikan keluhanku pada ibu. "Coba nanti ibu cari tahu ya. Semoga saja ada yang bisa dilakukan." Ucap ibu. "Ngomong-ngomong ibu kok sudah rapih?ibu mau pergi?" Tanyaku pada ibu. "Iya, hari ini ibu mau cek lokasi sama H.Hasan, lanjut om Hendra mau jemput setelah urusan ibu dengan H.Hasan selesai." "Bu, memang hubungan ibu sama om Hendra sudah sejauh apa?" Tanyaku pada ibu, karena yang aku lihat pertemuan ibu dan om Hendra sudah sangat intens. "Ibu dan om Hendra itu bukan lagi anak muda. Pastinya ibu tidak ada niatan hanya untuk bersenang-senang seperti anak-anak remaja kebanyakan." Jawab ibu. "Justru karena ibu bukan anak muda lagi. maaf kalau teteh terkesan ikut campur. Hanya saja tidak baik dilihat orang ibu sering berpergian dengan laki-laki yang bukan muhrim-nya." Ucapku mengingatkan. "Tidak usah terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan tentang hidup kita. Orang itu pastinya selalu ada yang suka dan tidak suka." ucap ibu. "Baiklah, ya sudah! Semoga hari ini urusan ibu lancar ya." Ucapku tak mau memperpanjang pembahasan tentang ibu dan om Hendra. Aku jadi teringat obrolanku dengan Rani, saat Rani datang kesini dua hari yang lalu. Saat itu aku, Rani dan nenek membicarakan ibu dan om Hendra. Semua bermula ketika ibu dijemput oleh om Hendra. Setelah ibu dan om Hendra pergi, nenek mengutarakan rasa tidak sukanya terhadap om Hendra kepada aku dan Rani. Nenek menceritakan bahwa selama ibu berhubungan dengan om Hendra, nenek tidak terlalu mengenal laki-laki itu. Karena yang nenek rasa om Hendra itu kurang mendekatkan diri pada nenek. Jadi dia datang hanya untuk ibu dan hanya ingin memiliki hubungan dengan ibu saja, dia tidak perduli dengan keluarga ibu. Tak hanya nenek yang panjang lebar menceritakan tentang om Hendra itu, tiba-tiba Rani ikut menyumbang obrolan diantara kami. Bahkan aku merasa, disini hanya akulah yang sama sekali tidak mengetahui apapun. Saat itu Rani bercerita, bahwa ibu sudah dekat dengan om Hendra sejak awal mula mereka bertemu direuni SMA, juga bahkan ternyata om Hendra itu bukan hanya sekedar teman lama tapi dia adalah mantan pacar ibu saat SMA dulu. Dasar adikku Rani memang memiliki watak yang berbeda denganku. Dia adalah gadis yang lebih kuat dibandingkan aku. Dia juga memilki prinsip dalam menjalankan hidupnya. Sehingga perceraian ibu dan ayah saat itu, juga kedekatan antara ibu dan om Hendra yang sudah dia ketahui dari jauh hari, tidak terlalu mempengaruhi dirinya. Sebenarnya dia juga merasa sedih karena ibu acuh tak acuh padanya saat itu. Tapi setidaknya dia masih bisa menjalankan hidupnya tanpa terbebani pikiran apapun, dibanding aku yang langsung terpuruk dan serasa dunia runtuh saat ibu dan ayah bercerai. Padahal sebagai anak tertua harusnya akulah yang memberi contoh untuk menjadi pribadi yang kuat pada Rani saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN