Gelisah ibu 1.

1025 Kata
"Nanti, habis dari sini ke Lab ya! biasa ambil darah untuk cek darah lengkap. Puasakan? Belum makan?" Ucap dokter. "Iya dok, puasa." Jawabku. "Gimana? Selama satu bulan ini ada keluhan atau nggak?" Tanyanya lagi memastikan. "Selama satu bulan ini, saya kok lebih sering merasa pusing sama mual ya dok? Sama ruam-ruam kulitnya masih ada walau tidak sebanyak bulan lalu." Jawabku. "Kemungkinan itu efek dari obatnya ya, jadi tidak apa-apa masih wajar obatnya teruskan saja." Ucap dokter. "Iya dokter." Lirihku. "Kalau sesak dan batuknya bagaimana?" Tanya dokter. "Sesak masih ada dokter, tapi tidak sering kambuh seperti yang sudah-sudah. Juga dengan batuk, sudah jauh berkurang." Ucapku menjelaskan. "Ya sejauh ini berarti perkembangannya lumayan pesat ya. Terus pertahankan ya! Juga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya tetap jalankan." Ucap dokter mengingatkan. Aku masih berstatus sebagai pasien dengan TB paru, tapi setidaknya sejauh ini perkembangannya banyak mengalami kemajuan. Sangat membuat aku merasa lega. Semoga saja tidak sampai enam bulan pengobatan, aku dinyatakan sembuh total. *** Setibanya aku dirumah, sepulangnya dari rumah sakit — ternyata ada Rani. "Dari tadi neng?" Tanyaku pada Rani yang sedang menikmati semangkuk bakso sembari menonton televisi. "Iya dari pagi, tapi pas datang teteh udah berangkat." Jawab Rani dengan mulut yang penuh dengan bakso. "Oh, itu bakso ada lagi nggak? Laper!" Ucapku. "Yiah, nggak ada lagi. Telat sih! Lagian kok lama banget si teh? Jam segini baru pulang." Tanya Rani. "Iya, penuh! Hari ini banyak yang berobat. Ya sudah, teteh masuk dulu yak, mau istirahat dulu sebentar, capek!" Ucapku, sambil berjalan kearah kamar. Rani pun melanjutkan makannya, ibu juga muncul dari arah dapur dengan membawa mangkuk berisi bakso ditangannya. "Udah pulang teh? Mau bakso? Ucap ibu menawariku. "Nggak deh, teteh istirahat aja. Lemes banget rasanya." Jawabku. Kumasuki kamar dan merebahkan tubuhku dikasurnya. Tanpa terasa akupun terlelap. "Teh..teh..!!bangun..mau ikut nggak?" Dalam tidur samar-samar kumendengar ada suara yang memanggil. Dengan perlahan kubuka mata. Dan sudah tampak Rani di sampingku sedang membangunkan. "Teh, ayo bangun! Mau ikut nggak?" Tanyanya padaku. "Ikut? Ikut kemana?" Jawabku masih setengah sadar. "Ibu ngajak belanja. Ayo, bangun!" Ajaknya setengah memaksa. "Iya, iya, sebentar! Nyawa teteh belum kumpul nih" jawabku. "Ya udah, kalau sudah cepat siap-siap! Kami tunggu didepan." Ucap Rani yang berlalu keluar kamar. "Iya, ya sudah sana." Ucapku. Belanja? Tumben sekali ibu mengajak kita belanja. Apa Rani kesini juga karena memang sengaja diminta datang oleh ibu? Apa sebenarnya om Hendra yang mengajak kita belanja? Tak mau banyak menebak-nebak dan mau membuat mereka menunggu terlalu lama, akupun bergegas bangun dan bersiap-siap. Saat aku keluar kamar, ibu dan Rani sudah terlihat rapi dan sedang menunggu diteras rumah. Aku menyusulnya. "Memang kita mau kemana si bu?" Tanyaku penasaran. "Ibu mau ajak teteh sama Neng belanja. Ayo, udah siap belum?" Ucapnya bersemangat. "Kita bertiga aja? nggak ada yang ikut lagi?" Tanyaku mencari tahu, takutnya Om Hendra juga ikut. "Iya bertiga saja. Memang siapa lagi? Nenek juga tadi ibu ajak, tapi kakinya lagi sakit, jadi nenek dirumah saja katanya." Jawab ibu. "Oh, dikira teteh, om Hendra ikut juga." Ucapku. "Nggak, ngapain ibu jalan sama anak-anak ibu, ajak-ajak om Hendra?" Ucap ibu. "Ibu yang mau belanjain? Ibu baru dapet bonus ya? Kok tiba-tiba mau ajak kita belanja?" Tanyaku makin penasaran. "Idih, lagian si teteh. Mau di belanjain aja banyak nanyanya." Ucap Rani, yang membuatku tertawa. "Iya ni, kaya si Neng dong! Diajak belanja langsung oke aja..hahahah." ucap ibu dibarengi dengan tawa. "Hihihi..!! Abisnya penasaran." Jawabku. "Iya, ibu yang mau belanjain. Alhamdulillah, tanah ibu 'gol'. Yang kemaren bisnis dengan pak Doni udah selesai segala urusannya juga transakainya. Komisi buat ibu juga sudah ibu dapat." Jawab ibu dengan muka berseri-seri. "Alhamdulillah." Ucapku dan Rani bersamaan. "Ya, makanya ibu pengen belanjain anak-anak ibu. Ayo berangkat.!" Ucap ibu semangat. Sore itu kami bertiga sangat menikmati kebersamaan yang sangat jarang kami rasakan itu. Menghabisakan waktu bersama dengan ibu dan Rani diluar rumah. Padahal hari ini bukan akhir pekan, tapi mall benar-benar dipenuhi oleh pengunjung. Setelah lebih dulu berbelanja untuk kebutuhan pokok bulanan dirumah, ibu mengajak makan malam. Sungguh canggung rasanya jika kupikir-pikir, kuperhatikan dengan seksama kebiasaan dan pembawaan ibu saat ini jauh berbeda dengan ibuku dulu. Ibu yang sekarang sedang berjalan disampingku ini sangat fasih dan cekatan memilih-milih barang dan berjalan-jalan dipusat perbelanjaan yang terlihat mewah ini. Padahal dulu, bisa dihitung dengan jari berapa kali kita pergi ke pusat perbelanjaan seperti ini, itupun belum tentu akan berbelanja—paling hanya sekedar cuci mata saja. Ada kejadian menarik menurutku saat di pusat perbelanjaan itu. Saat kami hendak makan disalah satu restauran didalam mall. Entah mengapa diantara semua orang yang kami kenal dan juga diantara sekian banyaknya pengunjung mall. Mengapa saat itu? orang yang duduk persis disamping meja kami, harus om Hendra beserta istrinya. Situasi itu sepertinya membuat ibu dan om Hendra menjadi salah tingkah dan serba salah. Sedangkan untuk aku sendiri sih, aku mengamini situasi yang terjadi saat itu. Semoga saja itu dapat membuat ibu terbuka hati dan pikirannya, bahwa apa yang terjadi antara ia dan om Hendra itu salah. Saat itu, mungkin ibu inginnya pergi saja dari sana dan tidak jadi makan. Tapi karena restauran yang kita pilih itu adalah restauran cepat saji, dan salahnya adalah kita sudah mengantri makanan dan memilih menu terlebih dahulu sebelum mencari meja. Dan seakan semua sudah ditentukan takdir, bahwan satu-satunya meja yang bisa kita isi adalah meja yang letaknya persis ada disamping meja om Hendra. Jadi mau tidak mau, kami tetep menempati meja itu. "Kalau sudah selesai ayo kita pergi!" Ajak ibu pada kami, yang saat itu baru saja mengabiskan makanan didepan kami. "Bentar bu, bentar lagi aja. Makanannya belum turun nih." Ucap Rani meminta pengertian dari ibu. Aku yang saat itu sangat paham dengan apa yang ibu rasakan, seperti anak jahat saja – hanya senyum-senyum melihatnya. Maafkan aku ibu! Aku ingin ibu menjalani hubungan yang lebih baik, mendapatkan seseorang yang satu-satunya hanya untuk ibu. Kalaupun memang harus istri kedua, setidaknya semua atas sepengetahuan dan persetujuan istri pertama dari laki-laki itu. Jangan seperti sekarang, yang sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh istri pria tersebut. "Ayo, sudah yuk neng! nanti sambil jalan juga makanannya turun. Ibu mungkin mau lihat-lihat toko yang lain! Biar nanti pulangnya nggak terlalu malam juga." Ucapku, berinisiatif. Lama-lama tak tega juga melihat ibu yang gelisah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN