"Katakan, katakan dengan jelas! Kemana sebenarnya arah tujuan pembicaraaan kita ini?" Ucapku, membuka kembali pembicaraan yang sempat tertunda.
"Maafkan, maafkan aku! Aku tidak bisa menyanggupi tantangan ibu untuk menikahimu dalam waktu dekat ini." Jawab Andi dengan nada sangat putus asa.
Aku berusaha untuk tidak membiarkan air mata ini jatuh, tapi sayang sekuat apapun aku berusaha air mata ini terus saja berjatuhan.
"Jadi ini benar-benar keputusan akhirnya? ini benar-benar jawaban yang bisa kamu sanggupi?" Tanyaku dengan penuh derai air mata.
"Aku harap kamu memahami aku, mengerti situasi dan kondisi yang aku hadapi. Untuk saat ini aku belum siap untuk berumah tangga, keluargaku masih sangat membutuhkan aku." Ucap Andi, mencoba menjelaskan keadaannya padaku, berharap aku dapat memaklumi keputusannya.
"Tak perlu kamu jelaskan, aku sangat tahu itu. Aku sangat tahu, bagaimana keadaanmu. Sebenarnya aku juga bersedia menunggu sampai kamu siap. Tapi, keadaannya saat ini juga tak begitu bagus untuk aku. Bagaimana dengan aku? Kamulah satu-satunya harapanku saat ini." Ucapku sambil menyeka asal air mata yang telah membasahi mata.
"Oleh karena itu, aku benar-benar minta maaf, maafkan aku!" Sekali lagi Andi mengucapkan kata-kata yang sama.
"Hanya itukah yang bisa kamu katakan? Aku tanya sekali lagi Ndi, Terus bagaimana dengan aku? Aku inginnya sama kamu." Ucapku dengan air mata yang semakin deras.
"Jika ibumu benar-benar memaksa, kamu harus menikah dalam waktu dekat ini. Aku benar-benar tidak bisa Tar, aku belum siap segala-galanya. Menuju pernikahan dan setelah menikahnya pun aku belum memiliki persiapan apapun." Jawab Andi, menjelaskan padaku sekali lagi.
"Menikahlah dengan dia yang menjadi pilihan dari ibumu! Aku yakin dia pun laki-laki yang baik." Lanjut Andi.
"Sungguh tak bisa aku terbayang sebelumnya, aku mendengar kata-kata itu dari mulutmu. Dapat dengan mudah kamu berkata seperti itu?
Setidaknya, kalau kamu tidak bisa menyanggupinya. Janganlah, kamu memintaku untuk menikahi orang lain! Kamu tidak tahu, betapa itu sangat menyakitkan?" ucapku dengan derai air mata yang semakin deras berjatuhan.
Kami saling terdiam saat itu. Andi pun seperti berhati-hati dengan setiap kata yang akan dia keluarkan dari mulutnya itu.
"Kalau pun ini hasil terakhir dari pertimbanganmu, setidaknya itu bisa dipikirkan lebih lama. Tapi ini apa? dalam hitungan satu hari, kamu sudah mantap mengambil keputusan ini. Aku sangat kecewa Ndi. Ya, mungkin bukan kamu yang salah! Akulah yang salah! karena terlalu menggantungkan harapanku padamu. Lagi pula, ibuku sendirilah yang menempatkan aku dalam posisi seperti ini. Jadi aku tidak bisa menyalahkanmu. Itu adalah hidupmu, kamu yang berhak mengambil keputusan sesuai dengan apa yang baik menurut kamu." Aku melanjutkan perkataanku, semua rasa yang ada dalam hati dan pikiranku aku ungkapkan saat itu.
"Aku tidak tahu harus berkata apalagi saat ini, karena semua yang aku katakan pastinya hanya akan melukaimu." Ucap Andi.
"Baik, sesuai seperti apa yang kamu sarankan. Aku akan menerima keinginan ibu, aku akan menikah dengan laki-laki itu. Aku harap kamu dan ibu akan puas." Jawabku dengan amarah.
"Berbahagialah! Maafkan aku! Maafkan aku yang benar-benar tidak bisa diandalkan ini." Ucap Andi lirih.
"Baiklah! Aku akan berusaha untuk menerima ini. Oh ya, kamu tidak perlu menemui ibu lagi. Biar nanti aku yang bicara dengan ibu. Biar ini menjadi pertemuan terakhir untuk kita, aku tidak akan pernah mungkin bisa sanggup untuk bertemu lagi dengan kamu. Sampaikan salam rindu aku untuk ibumu dirumah, semoga dia akan selalu sehat." Ucapku, mengungkapkan kata-kata terakhir yang ingin aku sampaikan.
Sebenarnya sangat banyak kata-kata dalam kepala ini, yang ingin aku ucapkan. Hanya saja mulut ini sudah tidak ada keinginan untuk bergerak. Aku diam seribu bahasa setelah dirasa tidak ada yang dapat dibicarakan.
Aku pamit kepada Andi, saat semua dirasa selesai. Aku tidak ingin dia mengantarku pulang. Tapi Andi memaksa. Dia merasa, ini tanggung jawabnya karena dia merasa sudah meminta ijin pada ayah tadi, aku sebenarnya bersikeras untuk menolak. Tapi Andi terus memohon. Akhirnya aku mengiyakan permintaan Andi untuk mengantar aku.
***
Aku sungguh tidak menyangka, akhirnya hubunganku dan Andi harus berakhir dengan cara seperti ini. Bukan karena kita sudah tak lagi saling mencintai, bahkan saat ini perasaan yang kita miliki sedang berada di puncaknya. Atau juga bukan karena ada orang lain yang menjadi orang ketiga. Tapi semua karena keadaan yang sungguh tidak memihak kepada kita berdua.
Awalnya, aku sangat yakin–bahwa Andi akan lebih memilih untuk menikahi aku. Nyatanya aku terlalu percaya diri, aku merasa ketakutan Andi untuk kehilanganku lebih besar, dibanding ketakutannya akan hidup berumah tangga tanpa persiapan apapun. Ternyata aku salah.
Aku hanya mencoba berbaik sangka pada hidup. aku pikir, walaupun akan berjalan sulit. Tapi yakin bisa menghadapinya, apalagi jika kita berdua tetap sama-sama. Tapi sayangnya, Andi lebih takut menghadapai hidup berumah tangga dalam keadaan yang sulit, dibandingkan harus kehilanganku.
Malam itu tak henti-hentinya aku menangis. Aku mengurung diri di dalam kamar. menangis sesenggukan, sejadi-jadinya. Entah sudah seberapa bengkak mata ini.
Saat ini aku sudah tidak perduli lagi, apakah pernikahan aku dan Pak Doni benar akan terjadi atau tidak. Kalau pun itu benar akan terjadi, biarkan, biarkan ibu melakukan apa yang dia inginkan! Aku sendiri tidak sepenuhnya menyalahkan Andi, aku juga sangat kecewa dengan diriku sendiri. Kenapa aku yang telah dewasa ini, sama sekali tidak bisa menentukan sendiri apa yang aku rasa baik untuk hidupku. Pada dasarnya, apakah memang aku ini penurut? yang tidak bisa membangkak pada orangtua atau memang akulah yang pengecut? terlalu takut jika keputusan yang aku ambil sendiri, memiliki resiko yang harus aku tanggung pula.
Saat pulang tadi, ibu tidak ada dirumah. Nenek juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Jadi, tidak ada yang tau aku pulang dalam keadaan menangis.
Saat jarum jam menunjuk pukul sepuluh malam, terdengar suara ibu yang baru saja tiba. Tentunya terdengar juga suara Om Hendra.
Mungkin karena suasana malam yang sunyi, samar-samar dapat aku dengar suara percakapan diantara keduanya.
"Aku menginginkannya, paling telat satu minggu setelah penikahan Tari!" Terdengar Om Hendra berkata.
"Jangan satu minggu dong, baiknya paling tidak kita menunggu satu bulan." Terdengar ibu mengusulkan.
"Sebenarnya aku sudak tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Tapi untuk kelancaran semua, aku ikut usulanmu." Jawab Om Hendra.
"Tapi janji yah, kamu akan memberikan apa yang aku inginkan setelah menikah nanti!" Ucap ibu dengan manjanya.
"Aku akan menuruti semua keinginanmu sayang, aku akan memanjakanmu." Ucap Om Hendra dengan godanya kepada ibu.
"Janji? Jangan beda-bedakan aku dengan istrimu yah!" Ucap ibu.
"Tentu saja akan aku bedakan. Kamu akan aku lebih spesialkan." Jawab Om Hendra.
Aku sungguh-sungguh geli dibuatnya. Bagaimana bisa, mereka melakukan percakapan semacam itu? di rumah ini pula. Mungkin pikir mereka, tidak ada yang dapat mendengar obrolan menggelikan itu.
Ibu akan segera menikah setelah aku menikah?
Apakah, ibu bisa menikah saja, tanpa harus memintaku untuk menikah juga?
Apakah dia akan mendengarkan jika aku bicara padanya?
Ah, tapi untuk apa aku memikirkan hal itu? Biar saja aku menikah juga. Toh, Andi juga sudah tak peduli lagi padaku. Bukankah Andi memintaku untuk menikahi laki-laki itu? Baik, akan aku ikutin keinginannya. Biar Andi tahu bagaimana rasanya aku tinggal menikah.
***
"Bu, kapan aku harus menikahi Pak Doni.?" Tanyaku pada ibu, secara tiba-tiba saat sedang sarapan dimeja makan.
"Maksud pertanyaanmu apa? Pak Doni? Bagaimana dengan Andi? Dia tidak menyanggupi syarat dari ibu?" Ucap ibu dengan senyum tipis menyungging, yang terlihat dari bibirnya.
"Tak perlu ibu bahas Andi, pokoknya aku iyakan untuk menikahi Pak Doni." Jawabku dengan nada yang amat serius.
"Benarkan? apa ibu bilang sebelumnya? Andi belum tentu menyanggupi untuk menikahimu dalam waktu dekat. Dia terlalu repot untuk hidupnya sendiri. Beda dengan Pak Doni yang memang jauh lebih unggul dari segala sisi." Ucap ibu.
Ibu tetap saja tidak mengindahkan ucapanku, walaupun aku telah memintanya untuk tidak membahas perihal Andi, tetap saja dia membicarakannya.
"Ibu sangat senang mendengar jawabmu ini. Keputusanmu sangatlah tepat, dengan mengikuti perkataan ibu." Jawab ibu. Dengan senyuman puas diwajahnya.
"Kenapa ibu membicarakan banyak hal? Jika ibu ingin semua berjalan cepat, ya tinggal ibu tentukan. kapan aku akan menikah? Aku akan menurut!" Ucapku.
"Nanti Pak Doni dan keluarganya akan datang lagi, agar semua dapat dibicarakan secara resmi. Bagus-bagus langsung lamaran dan bertunangan sekalian menentukan tanggal pernikahan." Jawab ibu.
"Baik, aku akan menurut saja. Semuanya aku serahkan kepada ibu untuk mengaturnya." Ucapku lirih.
Ibu sungguh tidak peka dan peduli akan perasaanku. Padahal seharusnya, ini sangat terlihat jelas dari wajahku. Saat ini aku sangat merasa terluka, tapi ibu justru sangat berbahagia dengan keputusanku. Entah apakah memang dia tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu tentang bagaimana perasaanku saat ini.