POV Andi,
Hari ini aku harus bicara dengan Tari. Walaupun pasti akan terasa menyakitkan, untukku dan juga Tari. Semua tetap harus diselesaikan.
Sore nanti rencananya kami akan pergi. Aku akan menjemputnya dari rumah ayah. Saat istirahat makan siang tadi, aku sudah menghubunginya.
Karena kami sudah lama tidak makan di kedai bakso langganan kami. Hari ini aku ingin mengajaknya makan di sana. Sambil membicarakan hal yang ingin aku sampaikan.
Saat kita datang, kedai sangat ramai oleh pengunjung. Beruntungnya masih ada satu meja kosong yang berada di pojok ruangan.
Setelah duduk dan memesan makanan, kami sedikit berbincang santai. Aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan yang lebih serius, karena itu tujuan kita bertemu hari ini.
Aku sangat bersyukur karena Tari sudah kembali sehat. Mengingat beberapa waktu yang lalu, selama berbulan-bulan dia sakit. aku sangat khawatir. mengetahui dia telah sehat, adalah suatu bkelegaan tersendiri untukku.
"Aku harap kamu memahami aku, mengerti situasi dan kondisi yang aku hadapi. Untuk saat ini aku belum siap untuk berumah tangga, keluargaku masih sangat membutuhkan aku." Ucapku, mencoba menjelaskan keadaanku kepadanya, berharap dia dapat memaklumi keputusan ini.
Kulihat derai air mata berjatuhan dipipinya, membuat aku semakin terluka melihatnya. Tapi aku tak mau mengambil resiko, menikah disaat keadaanku tak siap. Aku takut, keadaanya nanti malah akan bertambah sulit untuk ibu maupun Tari.
"Menikahlah dengan dia yang menjadi pilihan ibumu! Aku yakin, dia pun laki-laki yang baik." Lirihku saat itu.
"Tak bisa aku bayangkan, aku mendengar kata-kata itu dari mulutmu. Dapat dengan mudah kamu berkata seperti itu?
Setidaknya, kalau kamu tidak bisa menyanggupinya. Janganlah, kamu memintaku untuk menikahi orang lain! Kamu tidak tahu? betapa itu sangat menyakitkan?" Sahut Tari dengan penuh kecewa.
malam itu, akhirnya hubungan kami yang sudah berjalan selama tiga tahun ini, harus berakhir dengan keterpaksaan. Aku sangat menyadari keputusanku ini telah melukai perasaannya. Mungkin inilah kehidupan, semua tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana yang telah kita susun. Begitupun dengan jodoh. Hubungan aku dan Tari tidak bisa berakhir dengan bahagia, walaupun kami saling mencintai.
Aku berharap wanita yang kucintai itu akan selalu bahagia, walaupun tidak bersamaku. Berjanjilah Tari! kau akan selalu sehat dan bahagia. Maafkanlah aku!
***
"Sebaiknya, mulai hari ini lebih sering pergi dengan Pak Doni teh! Itung-itung pendekatan, biar makin kenal satu sama lain" Ucap ibu, saat aku sedang menyusun materi untuk les anak-anak nanti sore.
"Ya, ibu atur saja! Aku pasti akan menurutinya." Jawabku tak mendebatnya.
"Sore ini ada ngajar? Ya sudah besok aja ya? Biar nanti ibu kabarin Pak Doni untuk menjemput teteh dari pagi." Ucap ibu dengan semangatnya.
"Aku pasti akan mengikuti. Tapi kalau boleh? aku meminta jangan terlalu pagi, bu! Agak siangan aja! Paginya aku ingin sedikit bersantai-santai. Malas rasanya kalau harus pergi dari pagi-pagi sekali." Pintaku pada ibu.
"Ya sudah, nanti ibu meminta Pak Doni untuk menjemput kamu siang saja." Jawab ibu.
Aku kembali diam tak mendebatnya.
Dalam sekejap, semua impian yang telah tersusun rapih dalam kepalaku, runtuh begitu saja. Aku sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi saat ini. Hal yang paling aku impikan dulu adalah berumah tangga dengan Andi. Ketika saat ini, kesempatan itu tidak lagi mungkin. Maka aku serasa tak memiliki tujuan hidup. Jadi kemana pun dan bagaimana pun ibu akan membawanya, aku akan mengikut saja. Biar dia atur semua masa depanku, sesuai keinginanmu ibu.
***
Sejauh ini Pak Doni selalu memperlakukan aku dengan baik. Sikapnya itu membuat aku tak bisa membencinya. Sayangnya, gara-gara ibu yang bersikap seperti itu padaku, sehingga membuatku sedikit menjaga jarak dengannya.
"Minggu depan aku dan keluarga akan datang kerumah yah, bu, dek Tari." Ucap Pak Doni, padaku dan ibu.
"Oh, iya Pak. Kami di sini akan selalu dengan senang hati menunggu kedatangan Pak Doni dan keluarga." Ucap ibu dengan senyum mengembang dari bibirnya.
"Rencananya maksud kedatangan kami nanti adalah untuk melamar dek Tari." Lanjut Pak Doni.
"Seperti itu memang lebih bagus Pak Doni, lebih cepat lebih baik. Niat baik memang tidak boleh ditunda." Ucap ibu, penuh semangat.
Aku tidak terlalu banyak bicara dihadapan ibu dan Pak Doni, aku sama sekali tak memiliki gairah untuk merancang masa depanku sendiri.
"Dek Tari diam saja? Bagaimana dek? Kalau Minggu depan aku dan keluarga datang akan dek Tari terima?" Tanya pak Doni, meminta kepastian dariku.
"Aku ikut saja Pak, gimana baiknya menurut Pak Doni dan ibu saja." Sahutku.
"Bu, agar tidak merepotkan pihak keluarga dek Tari, dikarenakan waktunya juga akan sangat mepet sekali. Bagaimana kalau segala persiapan dari akad hingga resepsi, semua biar dari pihak saya yang urus." Terang Pak Doni.
"Hemm, tadinya si ibu nggak masalah kok jika harus mengurus masalah itu, tapi jika menurut Pak Doni baiknya seperti itu. Saya sih setuju-setuju saja." Jawab ibu.
" Boleh saya menyampaikan satu permintaan saya." Sahutku, secara tiba-tiba memotong perkataan ibu.
"Iya tentu boleh, katakan saja." Sahut Pak Doni.
"Sebelum Pak Doni dan keluarga datang untuk melamar, bolehkan saya meminta bapak datang terlebih dahulu menemui ayah saya?" Permintaanku itu membuat ibu terdiam. "Bagaimana pun juga ayah adalah waliku saat menikah nanti." Sengaja aku alihkan tatapanku pada ibu.
"Oh, begitu? Baik itu bisa kita atur. Nanti dek Tari kabarkan pada saya, kapan kita bisa menemui bapak." Jawab Pak Doni.
"Kebetulankan sekarang kita mau jalan, bagaimana kalau kita kesana sekarang?" Ucapku, menanyakan kesediannya.
"Oh, boleh kalau begitu. Tapi apa sebaiknya mengabari ayah dek Tari dulu? Takutnya beliau tidak ada dirumah saat kita temui." Ucap Pak Doni.
"Ayahku bukan orang sibuk kok Pak. Jam-jam segini, dia pasti sudah pulang narik. Tapi biar Pak Doni merasa lebih pasti nanti aku tanya adikku dulu."
Kedatangan Pak Doni kerumah saat ini karena ingin mengajakku pergi keluar, juga karena perihal yang disampaikannya tadi. Setelah dirasa cukup perbincangan kali itu, aku dan Pak Doni pergi, tujuan
utama menemui ayah dirumah.
Dalam perjalanan menuju rumah ayah, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sangat menggangguku selama ini.
"Boleh saya bertanya satu hal lagi?" Ucapku, memecah keheningan diantara kami.
" Tentu, tanya saja." Jawab Pak Doni, sambil tetap fokus mengemudi.
"Apa yang membuat Bapak, bersikeras untuk menikahi saya?" Tatap Tari dengan tajam kearah laki-laki yang tak sedang fokus mengemudi. "Untuk laki-laki seperti Pak Doni, pastinya tidak sulit untuk mendapatkan Perempuan yang lebih cantik dan lebih terhormat dibanding saya. saya, bakhan Bukan hanya tak cantik, tapi saya juga bukan berasal dari keluarga yang berada." Tanyaku, dengan nasih menatapnya tajam.
"Saya sudah pernah gagal menikah. Bahkan selama saya hidup sendiri saya sudah sering dekat dengan banyak macam-macam perempuan. Tapi sejauh ini belum ada yang membuat saya yakin untuk menikah lagi." Imbuhnya. "Dan saat pertama melihat dek Tari, entah mengapa saya sangat ingin perempuan seperti dek Tari dapat menemani hidup saya." Jawab laki-laki beranak satu itu.
"Perempuan seperti saya? memang saya perempuan seperti apa di mata bapak?" Ucapku.
"Wanita yang sangat sederhana, tapi terlihat cantik. Wanita yang terlihat sangat tulus, juga terlihat seperti wanita yang patuh terhadap orang tuanya. Biasanya juga akan patuh kepada suaminya." Sahut Pak Doni, menjawab semua rasa penasaran dalam diri ini.
"Jadi bapak mau bilang, kalau bapak sudak menyukai saya sejak pertama melihat saya." Tanyaku kembali.
"Ya, bisa dibilang seperti itu." Jawabnya.
"Tapi Pak, saya ini bukan perempuan yang sehat loh. Saat ini, saya sedang sakit. Bapak yakin nau menikah dengan perempuan penyakitan seperti saya?" Tanyaku, ingin mengetahui reaksinya.
"Kalau masalah itu, sejak awal saya sudah tahu dari ibumu. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Apalagi saya mendengar, saat ini kamu sudah dinyatakan sehat. Tentu itu merupakan berita yang bagus. Saya berdoa semoga kamu akan selalu sehat kedepannya." Jawab laki-laki itu.
Semua jawaban yang dikatakan olehnya, membuat aku semakin sulit untuk menolak pernikahan ini. Dia terlihat bagai laki-laki yang baik, cara ibulah yang membuatnya menjadi kurang baik dimataku.