Pembicaraan di Kedai Bakso

1378 Kata
Semalaman tadi, aku benar-benar tidak bisa tidur dibuatnya. kepala ini terus saja memikirkan perbincangan semalam. Apalagi jika kuingat garis muka Andi saat pamit pulang, dia terlihat tak setenang sebelumnya. Saat keluar dari kamar mandi, di meja makan kulihat ibu dan nenek sedang sarapan nasi goreng, yang tadi aku buat. "Teh, ayo sarapan bareng! Teteh yang masak, nenek duluan yang makan." Ucap nenek, sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang sudah tak lagi utuh. "Iya, nek! Baru beres mandi ini, rapih-rapih dulu." Jawabku. "Kamu mau pergi teh? Tumben jam segini udah rapih-rapih?" Tanya ibu padaku. "Teteh, mau kerumah ayah dulu yah?" Ijinku pada ibu. "Emang ayah ada dirumah? jam-jam seginikan ayah pasti narik." Tanya ibu. "Tadi teteh udah tanya si Neng, katanya kalau teteh mau kerumah, nanti siang ayah pulang." Jawabku. "Oh, ya sudah!" "Oh ya, bagaimana tanggapan Andi tentang pembicaraan kita?" Tanya ibu, tiba-tiba membahas obrolan kemarin. "Andi belum memberi tanggapan apapun bu. Lagi pun teteh nggak peduli. Apapun yang dibahas kemarin, teteh tidak oernah setuju dengan ibu. Untuk masalah ini, teteh tidak mau mengikuti keinginan ibu." Jawabku dengan sedikit emosi. "Dengarkanlah ibu! Semua ini bukan untuk ibu, tapi untuk teteh. Jangan lupa sampaikan sama Andi! ibu menunggu tanggapannya minggu-minggu ini. Paling telat minggu depan Andi sudah mengambil keputusan." Ucap ibu, tak mengindahkan ucapanku. "Ibu ngeselin! percuma rasanya, semua yang aku katakan, nggak ada yang satu pun yang ibu dengar." Ucapku yang berlalu meninggalkan ibu yang masih berusaha untuk menyampaikan argumennya. *** Sebenarnya aku merasa lelah. Inginnya seharian, dirumah saja. Tapi aku malas jika harus mendengar omongan ibu yang itu-itu saja. Jujur saja aku pun takut! takut, jika aku sama sekali tidak bisa menolak dan menghindar atas semua rencana dan keinginannya. *** Terdengar dering telepon yang berasal dari ponselku. Saat kulihat layar, disitu tertera nama Andi. Segera kuangkat sambungan telepon itu. "Hallo, kamu lagi apa?" suara Andi dari seberang telepon. "Aku lagi dirumah ayah, nggak lagi ngapa-ngapain, lagi tiduran aja Ndi." Jawabku sedikit lemas. "Nanti sore aku jemput kamu ya! Bisa nggak? Ada yang harus kita bicarakan." Ucap Andi serius. " iya, ayo kita bertemu nanti sore, jemput aku dirumah ayah saja ya." Pintaku pada Andi. "Iya, tapi nanti kita bicaranya diluar yah! sekalian cari makan!" Ucap Andi. "Iya, boleh! Aku tunggu ya!" Jawabku. Sambungan pun terputus, Aku penasaran, sebenarnya apa yah, yang ingin Andi bicarakan? Apa dia sudah mengambil keputusan? Apa Andi menerima tawaran ibu? Untuk menikahi aku dalam waktu dekat ini. Karena hanya itulah solusi yang terpikir dikepalaku, harapan satu-satunya untukku, agar keluar dari desakkan ibu. *** "Yah, teteh mau pergi sama Andi. Nanti langsung pamit ya, teteh langsung pulang nggak balik kesini lagi." Ucapku pada ayah. "Terus Andinya mana? udah datang?" Tanya ayah. "Belum, tadi ngabarin masih dijalan." "Ya, sudah! Kalau gitu ayah narik lagi ya! Lumayan ngisi yang tarikan sore." Ucap ayah. "Oh, gitu? Ya atuh!" Jawabku. "Ya, nanti teteh jalan, ayah juga jalan." Tak berselang lama Andi pun tiba, setelah memberi salam, kami pun pamit pergi kepada ayah. Disusul ayah yang juga pergi. Tinggallah Rani seorang diri dirumah. Karena tidak tahu pasti tempat mana yang ingin kami tuju. Akhirnya Andi mengajak makan di kedai bakso langganan kami, dulu biasanya, kami ini gemar sekali berburu bakso yang enak. Karena kebetulan kami cocok sama-sama penikmat bakso. Dan tempat ini merupakan tempat yang paling sering kami datangi dibanding tempat yang lain. Setelah berbulan-bulan tidak kesini, ternyata sudah banyak perubahan yang terjadi. Kedai bakso ini terlihat menjadi semakin luas, sepertinya karena pengunjung yang semakin ramai, pemilik sengaja memperluas kedainya. Pengunjung yang datang hari ini, terlihat sangat ramai, untung saja masih terdapat tempat untuk kami berdua. Bangku kosong yang berada paling pojok itu menjadi satu-satunya tempat yang bisa kita duduki. Sambil menunggu pesanan diantar, seperti kebanyakan orang, kita saling berbincang. Obrolan-obrolan santai pun terjadi disela kami menunggu. "Bagaimana keadaanmu sekarang ini Tar?" Tanya Andi. "Maksudnya? keadaanku?" Aku balik bertanya karena tak mengerti. "Bagaimana proses pengobatannya? Apakah masih harus rutin kontrol rumah sakit?" Andi menjelaskan maksud pertanyaannya tadi. "Oh, itu maksudnya?" Jawabku, sedikit menyeringatkan dahi. Karena tadinya, aku kira dia bermaksud menanyai keadaanku pasca kejadian kemarin. "Aku sudah merasa jauh lebih baik, bahkan hampir seperti pulih seratus persen. Sedikit gampang letih kadang, tapi masih kurasa wajar. Awal bulan depan, sekali lagi aku kontrol, dan menghabiskan jatah obatku dibulan terakhir. Semoga itu benar-benar jadi bulan terakhir. Dan selesai semua proses pengobatan. Dan hasil akhirnya kuharap tubuhku bersih" Jawabku panjang lebar pada Andi, sambil memberikan senyum dengan gigi yang menjajar. "Alhamdulillah, aku selalu berharap agar kamu selalu sehat. Kedepannya nanti jaga diri, jangan sakit-sakit yah!" Ucap Andi padaku, dengan tatapan yang penuh banyak arti. "Aku berterima kasih Ndi, karena kamu selalu ada untuk menguatkan aku." Ucapku membalas perkataan Andi. "Tar, aku sangat berharap kamu akan selalu bahagia, walaupun saat aku tidak ada didekat kamu. Aku meminta maaf kalau kedepannya nanti aku tidak akan selalu ada untuk menemanimu." Ucap Andi, yang entah mengapa, membuatku merasakan firasat yang kurang baik. "Kamu kenapa bicara seperti itu? Baik-baik, aku berjanji akan selalu baik-baik saja, juga aku akan berusaha untuk selalu bahagia. Tapi kamu pun harus berjanji untuk selalu ada disamping aku." Ucapku pada Andi yang tiba-tiba saja penuh emosional. "Aku mohon, kamu mendengarkan aku ya! Mohon pahami, semua perkataanku dan juga maksudnya!" Ucap Andi, yang malah semakin membuatku merasa cemas. "Baik aku dengarkan. Bicaralah! Katakan apa yang ingin kamu bicarakan!" Ucapku, memberikan kesempatan bicara pada Andi. "Aku ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menyayangi kamu." Ucap Andi, yang kemudian terdiam sejenak, seperti sedang memilah-milih kata yang tepat untuk dia katakan. Dibarengi dengan aku yang sedikit tersipu kala mendengar ucapannya itu. Pada dasarnya aku dan Andi bukanlah pasangan yang selalu mengungkapkan kata-kata cinta, bahkan panggilan untuk kami pun selama ini hanya sekedar nama, tak ada panggilan khusus seperti 'dek', 'yang' dan lain sebagainya. Andi melanjutkan perkataannya yang sempat berhenti itu. "Maafkan, jika aku tidak bisa menjadi orang yang dapat diandalkan, atau seperti yang kamu harapkan. Kedepannya berbahagialah, walaupun bukan dengan aku." Ucap Andi, dengan semua perkataan yang sama sekali tidak aku pahami. "Maksudnya gimana sih Ndi, kamu nggak pernah loh selama ini kaya gini, ngucapin kata-kata yang sarat makna. Kamu kenapa? Apa semua pembicaraan ini berhubungan dengan obrolan kita kemarin dengan ibu?" Tanyaku pada Andi putus asa. "Turutilah apa yang menjadi keinginan ibu, Menikahlah dengan laki-laki itu! Yakinlah ibumu tidak mungkin memberikan sesuatu yang buruk untukmu. Laki-laki yang dia pilihkan itu, pastilah laki-laki yang dia pikir lebih baik dari aku." Ucap Andi. Aku sangat terkejut, dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Bagaimana bisa, Andi meminta aku untuk menikah dengan laki-laki lain? "Kenapa kamu meminta hal semacam itu padaku? Apakah ini jawabanmu atas pernyataan ibu kemarin?" Ucapku dengan perasaan yang campur aduk, marah, sedih juga tak mengerti. "Aku harap kamu dapat mengerti." Ucap Andi mengharap pengertianku. "Tidak, aku tidak dapat mengerti. Kamu tidak berhak untuk memintaku menikah dengan siapapun. Asal kamu tahu, aku merasa sangat kecewa. Tadinya aku berharap, kamu akan menyanggupi tantangan ibu untuk menikahi aku dalam waktu dekat ini. Karena dalam pikiranku, hanya itulah satu-satunya jalan keluar yang aku harapkan. Namun nyatanya, tidak perlu waktu lama bagi kamu – untuk mengambil sebuah keputusan ini. Keputusan yang berbanding terbalik dengan apa yang aku pikirkan." Ucapku penuh emosi. Tak dapat dibayangkan, rupanya Andi memilih tempat yang kurang tepat untuk kami membahas masalah itu. Dengan keadaan tempat makan yang ramai, tentunya banyak pasang mata yang tertuju pada kami saat itu, karena nada bicara kami– tidaklah seperti orang yang sedang mengobrol baik-baik. Sadar akan banyaknya pasang mata yang memperhatikan, Andi mengajak aku, untuk bicara ditempat yang lebih tenang dan memungkinkan. Aku dan Andi berjalan keluar dari kedai, dan menemukan ada taman kecil dengan banyak lampu-lampu cantik berwarna-warni tepat di depan kedai bakso. Kebetulan tidak terlalu banyak juga orang yang berada ditaman itu, hanya ada beberapa pasang suami istri yang mengajak anaknya bermain. Sehingga, dapat membuat kami lebih nyaman melanjutkan obrolan yang sempat terputus tadi. kami memutuskan untuk bicara disalah satu bangku yang ada ditaman itu. Andi menyadari, keputusannya telah melukai hatiku. Dia sangat tahu dari raut wajahku, bahwa aku tidaklah baik-baik saja. Saat itu aku sangatlah kecewa, ternyata apa yang aku pikirkan tidak sama dengan apa yang dia pikirkan, mungkinkah bahwa sejauh ini, memang belum benar-benar memahami satu sama lain. Tak kusangka perbincangan yang awalnya santai tadi, berubah menjadi perbincangan yang penuh dengan emosi dan menentukan masa depanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN