Bab.19 Hari Terakhir

1039 Kata
Selama satu minggu ini, aku dan Andi mempergunakan waktu yang ada, semaksimal mungkin untuk rutin saling bertemu. Karena entah kapan lagi, Andi bisa pulang. Dia sudah mengambil semua ijin cutinya jatah satu tahun ini. Besok Andi sudah harus berangkat lagi, waktu berliburnya sudah habis. Hari terakhir ini aku meminta pada Andi untuk mengantarkan kerumah ayah. Tapi rencana yang awalnya berangkat pagi, gagal. Karena aku yang bangun kesiangan. Selama mengkonsumsi obat-obatan dari dokter, banyak sekali efek samping yang aku rasakan, selain detak jantung yang menjadi cepat, mulut atau bibir yang terasa kering juga yang tidak kurang menyiksa adalah ruam-ruam pada kulit yang sering kali timbul. Seperti yang terjadi pada malam tadi, ruam-ruam itu sangat gatal rasanya cukup menyiksa, membuatku sulit untuk terlelap. Alhasil aku tidak dapat bangun pagi hari ini. besyukurnya itu hanya terjadi sesekali saja. *** Aku, Andi dan Ayah sedang berbincang santai, sembari menonton acara yang sedang tayang di televisi. Saat aku datang tadi, kebetulan ayah baru saja pulang dari aplus-nya. "Teh, teteh betah dirumah nenek? Nggak kepingin pulang kesini?" Tanya ayah disela-sela obrolan kami. "Sebenernya sih lebih kerasan disini yah." Jawabku dengan mulut penuh keripik pisang, yang tadi sempat aku dan andi beli dijalan. "Terus kenapa nggak pulang aja?ayah bisa kok jagain teteh, ayah sehat kok." Ucap ayah meyakinkanku. "Ya, sempet kepikiran seperti itu yah. Teteh sempat ingin pulang kesini saja. Tapi dipikir-pikir lagi sekarang teteh kasian sama nenek." Jawabku. "Loh kok jadi kasian nenek?" Tanya ayah tak mengerti. Ku lirik Andi yang sedang duduk disamping ayah, tapi nampaknya Andi sedang asik menonton sambil memegang toples berisi keripik dipangkuannya. Sehingga dia tidak terlalu mendengarkan obrolanku dengan ayah. "Bagaimana ya? belakangan ini ibu jarang ada dirumah yah, jadi kalau aku tinggal disini, nanti nenek pasti banyak sendiri dirumah." Jelasku pada ayah. "Bukannya ada mang bagja disana?" Tanya ayah. "Semenjak ibu pulang kerumah nenek, mang bagja pulang kerumah istrinya. Fokus sama ternak dan sawah katanya. Kasian katanya selama ini bi Eha mengurus segalanya sendiri." Jawabku. "Memang jual beli tanah ibumu sedang lancar teh? Kok sering berpergian?" Tanya ayah. "Kurang tahu yah kalo soal itu, tapi yang kutahu ibu pergi bukan karena urusan tanah. Ibu pergi karena teman laki-lakinya yang sering jemput kerumah." Jelasku dengan nada– yang memperlihatkan ketidaksukaanku pada teman ibu itu. Deg, Tiba-tiba saja aku berhenti bicara, merasa ada yang salah dengan hal yang aku bicarakan. Kenapa aku menceritakan tentang ibu kepada ayah?kenapa mulut ini ceriwis sekali? Apa aku tidak punya pikiran? Bagaimana perasaan ayah mendengar ceritaku ini? Sungguh aku benar-benar sudah gila, mana bisa ayah mengetahui perihal teman laki-laki ibu dari aku anaknya sendiri. Aku terdiam, merasa bersalah atas apa yang telah aku katakan. Ayah tersenyum melihatku yang salah tingkah. "Kenapa?" Tanya ayah dengan senyum tipis dibibirnya. "Hemm, nggak kenapa-kenapa" jawabku serba salah. "Teh, kalau perihal ibumu saat ini punya teman laki-laki. Ayah nggak terkejut kok. Ayah sudah tahu. Ayah senang, mudah-mudahan ibumu bisa mendapatkan kebahagiannya yang tidak dia dapatkan saat dengan ayah." Jawab ayah sangat tenang. "Ayah kok bisa tahu?" Tanyaku penasaran. "Hemm, baik ayah akan terbuka sama teteh. Saat ini teteh sudah dewasa, biar ini bisa menjadi pelajaran untuk teteh kedepannya." Ucap ayah. Aku hanya diam, mendengarkan dengan seksama. "Tapi apapun yang akan ayah ceritakan tidak boleh mengurangi rasa sayang dan hormatmu pada ibu." Ucap ayah. "Iya" jawabku lirih. "Ayah pernah melihat ibu dengan temannya itu, saat ayah sedang membawa muatan penumpang. Waktu itu ayah melihat ibu turun dari mobil yang sedang dikendarai temannya itu." Ucap ayah. "Kapan ayah lihat?kok ayah diam saja?" Tanyaku menyela pembicaraan ayah. "Ayah melihat itu, saat proses sidang perceraian antara ayah dan ibu sedang berjalan. Waktu itu ayah menganggap — mungkin itu hanya sekedar teman, tapi ternyata desas-desus antara ibu dan temannya itu sudah banyak berhembus diantara teman ayah sesama supir dan para tetangga." Ayah menjelaskan. "Ayah baik-baik saja?" Tanyaku. "Tidak dipungkiri sebagai manusia biasa, saat itu ada rasa kecewa. Tapi untuk sekarang? Ayah baik-baik saja. Biarkan ibumu menjalankan hidup yang dianggapnya bisa membuat dia bahagia. Sebagai anak teteh doakan saja, baik ibu mau pun ayah akan selalu bahagia. Begitu juga kami orangtua mendoakan anak-anaknya." Dalam hati ini bicara, bagaimana mungkin ayah bisa tidak kecewa dan marah dengan semua hal yang telah terjadi padanya. Seketika itu aku juga merasa malu, karena aku sempat merasa kecewa dengan keadaan. Aku sempat marah pada ayah dan ibu, sehingga aku keluar dari rumah. Padahal saat itu harusnya ayahlah yang paling kecewa karena penghianatan yang ia terima. "O ya, yah! Teteh sudah fix berhenti dari pekerjaan teteh. Kemarin sempat masuk satu hari tapi sepertinya kondisinya belum memungkinkan untuk dibawa bekerja." Ucapku pada ayah. "Ya, sebaiknya memang seperti itu, pekerjaan bisa didapat lagi nanti setelah kondisi kesehatan teteh kembali pulih. Untuk sekarang fokuslah dengan pengobatan." Ayah memberikan pendapatnya. "Tapi yah, maaf! Mungkin kedepannya teteh tidak bisa membantu untuk sekolah neng." Kuutarakan hal yang selama ini mengganjal dipikiranku. "Jangan pikirkan hal itu, Rani adalah tanggung jawab ayah. Terima kasih selama ini teteh sudah sangat membantu ayah." Ucap ayah, memberikan ketenangan padaku. Pembicaraanku hari ini dengan ayah, Banyak memberikan energi yang positif untukku, jujur saja selama ini aku terlalu larut dalam kesedihan. Selama ini aku merasa, akulah yang paling merana. Padahal nyatanya setiap orang memiliki ujian dan jalan nasib yang berbeda-beda. Bahkan sebenarnya masih banyak orang-orang yang memiliki cobaan hidup yang jauh lebih berat dibanding yang aku alami. Perceraian kedua orang tuaku juga sakit yang sedang aku derita saat ini, harus aku terima dengan ikhlas. Dan aku harus berusaha bangkit, semangat untuk kebahagianku. *** "Jaga kesehatan ya, semoga semua pekerjaanmu lancar." Lirihku pada Andi. "Kamu juga, fokus pada pengobatanmu. Jika badan sedang merasa enak, lakukanlah kegiatan apapun yang bisa membuatmu senang." Ucap Andi penuh perhatian padaku. "Iya,doakan aku ya! Semoga tiga atau lamanya enam bulan cukup untuk pengobatan ini, tidak perlu lebih lama lagi." Kataku meminta doannya. "Iya pasti, kalau untuk itu tak perlu kau pinta pasti akan aku lakukan." Ucap Andi, membuatku tersentuh. Kuberikan senyum terbaikku padanya, "Tapi sebelumnya aku mau minta maaf, jika saat ini aku belum bisa menjanjikan pulang dalam waktu dekat. Mudah-mudahan saja suatu hari nanti kita bisa pulang kesatu rumah yang sama." Ucap Andi dengan senyum. Jika Andi sudah bicara seperti itu, pikiranku pasti saja membayangkan sesuatu yang jauh. Membangun rumah tangga bersama dengan Andi, semoga itu tidak hanya menjadi khayalan semata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN