Kutemui pak Yus dimeja kerjanya, ditemani oleh Asti. Mau tidak mau aku harus membuat keputusan.
"Maaf pak, ganggu waktunya." Ucapku pada Pak Yus yang sedang fokus oada layar komputer di mejanya.
"Oh, Tari. Iya kenapa?" Jawab pak Yus, menoleh sebentar kearah kedatanganku lalu kembali pada layar komputernya.
ku raih kursi kosong yang berada tepat disamping kursi yang Pak Yus duduki.
"Maaf sebelumnya ya pak, jika saya terkesan terlambat membuat keputusan." Ucapku mengawali pembicaraan.
"Iya, maksudnya bagaimana?" Pak Yus sedikit kebingungan.
"Sepertinya untuk saat ini, kondisi kesehatan saya tidak bisa untuk saya bawa bekerja pak. Jadi saya memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri." Ucapku pada intinya tanpa basa-basi.
"Kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tiba-tiba mengundurkan diri?" Ucap pak Yus meminta penjelasan. "saya pikir hari ini kamu kembali masuk kerja karena kondisi kamu sudah sehat?" lanjutnya.
"Sebenarnya ini memang tidak tiba-tiba pak, seharusnya keputusan ini saya ambil sejak kamarin-kemarin." Ucapku.
"Lalu?" Tanya pak Yus kembali.
"Jadi gini pak, baru saja Tari jatuh pingsan ditengah-tengah pekerjaan." Ucap Asti coba membantuku menjelaskan pada pak Yus.
"Astaghfirullah, terus gimana kondisimu sekarang?" Pak Yus nampak cukup terkejut.
"Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu pasti pak kapan kondisi saya siap untuk kembali bekerja. Maka dari itu, daripada saya mengganggu operasional perusahaan. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan fokus pada proses pengobatan saya." seruku.
Setelah semua dirasa cukup jelas, hari ini aku resmi mengundurkan diri dari pekerjaanku. Pak Yus sempat menawariku, jika suatu hari nanti aku sudah siap untuk bekerja kembali, aku bisa menghubunginya. Dia juga memdoakan kesehatanku. Untuk kali ini tidak ada gurat kesedihan diwajah Maya dan Asti, mereka tahu yang aku butuhkan saat ini adalah istirahat. Dukungan dan doa mereka menyertai pengunduran diriku.
***
"Besok mang udin tidak perlu jemput ya." Ucapku pada mang udin, setelah turun dari motornya.
"Oh, tidak perlu jemput Tar?" Tanya mang udin heran.
"Iya mang, tidak perlu mang." Ucapku memastikan.
Kulangkahkan kaki menuju rumah. Dari luar terlihat, sepertinya ada tamu. Pikirku siapa lagi jika bukan juga om Hendra, yang datang untuk bertemu dengan ibu atau mengajaknya keluar.
Betapa terkejutnya aku, saat kulihat sosok pria dengan kaos berwarna biru dipadukan jeans dengan warna senada, yang sedang duduk diruang tamu itu adalah Andi. Bila tak ingat aturan dan rasa malu, ingin rasanya berlari kearahnya dan memeluknya. Seperti kebanyakan adegan didrama romantis pada umumnya. Tapi aku tidak mungkin melakukan itu aku masih tahu batasan antara aku dan Andi.
Tanpa sadar ada butiran-butiran air mata yang jatuh tanpa bisa aku tahan. Nyatanya tanpa aku sadari aku sangat merindukannya. Selama ini aku terlalu bergantung padanya. Sehingga saat aku dihadapkan dengan kondisi berjauhan dengannya, ditambah permasalahan yang sedang aku hadapi saat ini, membuat aku semakin menyadari betapa kehadirannya sangat berarti bagiku.
"Kok, kamu bisa ada disini Ndi?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku ditengah rasa terkejut.
Hanya senyum mengembang yang dia pamerkan padaku, tanpa memberikan jawaban atas pertanyaanku. Dengan sorot mata yang berbinar dan sedikit senyuman, perlahan kumendekat padanya, tepat duduk disampingnya, tatapan mata kami pun beradu. Seolah mengerti dengan sorot mata yang penuh dengan tanya.
"Aku sengaja menghabiskan cuti tahunanku yang masih tersisa 1minggu." Ucap Andi menjawab rasa penasaranku.
"Kenapa tak memberi kabar sebelumnya?" Tanyaku.
"Hihihi..sengaja!" Ucap Andi diawali dengan tawa.
"Aku masih nggak percaya kamu ada disini" ucapku lirih sedikit berbisik.
"Aku sangat rindu." Ucap Andi dengan tatapan menggodaku.
Pipiku menjadi merah dibuatnya.
Padahal tadi saat baru tiba, badan ini tak karuan rasanya. Apalagi dengan perasaanku, setelah kejadian di toko tadi tak perlu ditanya lagi, siapapun akan langsung tahu bila melihat raut wajahku. Tapi entah mengapa kehadiran Andi dapat menghilangkan semua itu dalam sekejap.
"Kamu bagaimana? Bagaimana keadaanmu saat ini?" Andi bertanya dengan dengan penuh khawatir.
"Seperti yang saat itu aku ceritakan ditelepon Ndi. Untuk sekarang aku sedang terapi obat, rutin tak boleh putus selama tiga sampai enam bulan kedepan." Jawabku.
"Kondisi kamu? apa yang kamu rasakan sekarang?" Andi seperti sangat ingin mengetahui keadaanku.
"Sejauh ini stabil, hanya saja aku sering merasa cepat lelah, juga batuk dan sesak." Ucapku menjawab semua rasa penasaran Andi.
"Maaf, aku sangat menyesal karena saat kamu membutuhkan keberadaanku aku tidak ada." Ucap Andi penuh penyesalan.
"Hey, jangan terlalu melankolis seperti itu. Aku kan baik-baik saja. Kamu bisa lihatkan?" Ucapku menenangkan hatinya.
"Aku pikir berhubungan jarak jauh bisa aku atasi dengan mudah. Namun nyatanya jauh darimu sungguh menyiksa." Ucap Andi, sungguh membuatku melayang.
Saat itu banyak sekali hal yang kami obrolkan bersama. Andi banyak bercerita tentang cabang tempat ia bekerja sekarang, ia berharap dia tidak akan lama disana dan bisa kembali ditugaskan ketempat kerjanya yang lama. Begitu juga dengan aku. Aku merasa inilah kesempatanku untuk menceritakan semua hal yang belum dapat aku ceritakan padanya. Sebenarnya setiap hari kamipun pasti bertukar kabar, tapi berbicara secara langsung seperti ini tak bisa tergantikan dengan berbicara hanya lewat sambungan telepon.
Suasana diantara kami sedikit berubah saat aku bercerita pada Andi, tentang obrolanku dengan ibu diteras rumah pada malam beberapa hari yang lalu. Pastinya Andi tidak menyangka bila kenyataannya seperti itu, hanya saja Andi adalah orang yang baik dia selalu berpikir dan menilai positif tentang segalanya. Dia tidak ingin aku terlalu memikirkan hal itu dan memiliki amarah pada ibu. Dia ingin aku membiarkan hal-hal yang telah berlalu. Biarkan ibu menjalani hidupnya dan menjalankan apa yang telah menjadi pilihannya.
"Aku pulang ya? Kamu juga sebaiknya istirahat, dari pulang tadi sampe sekarang kayanya kita sudah ngobrol cukup lama." Ucap Andi pamit.
"Iya, aku memang capek sih, kepala juga agak pusing." Jawabku.
"Ya sudah, istirahat ya! Besok aku kesini lagi. Mana ibu?aku mau pamit." Ucap Andi.
Sebelum aku memanggil ibu, ibu sudah keluar terlebih dahulu. Dari yang terlihat ibu sudah sangat rapih seperti akan pergi.
"Bu, aku pulang dulu ya" pamit Andi pada ibu.
"Iya, salam sama ibu ya dirumah." Jawab ibu.
Bersamaan dengan Andi yang keluar rumah, Om Hendra baru tiba. Sepertinya ibu dan om Hendra akan pergi keluar sore ini. Pantas saja ibu sudah terlihat rapih. Saat itu mataku dan mata Andi beradu, mengisyaratkan sesuatu yang seolah hanya aku dan dia yang tahu.
Andi berlalu dengan motornya, rasanya kesedihanku tadi terbalaskan dengan kehadiran Andi, saat ini aku merasa sangat bahagia.
"Teh, ibu keluar dulu ya dengan om Hendra sebentar." Pamit ibu padaku.
"Ya" jawabku.
"Sebentar ya Tari! Apa Ada sesuatu yang mau kamu titip? Biar nanti om belikan." Ucap om Hendra, tumben sekali dia membuat pembicaraan denganku. Padahal dari awal mula kita bertemu, belum pernah ada pembicaraan sedikit pun antara aku dan dia.
"Tidak usah om, terima kasih." Tolakku halus.
"Baik, tapi kalau berubah pikiran nanti telepon ibumu saja yah." Ucap om Hendra.
Om Hendra dan ibu pun pergi tak lama setelah Andi pulang tadi.