Rasanya ingin sekali menangis, aku masih tidak percaya dengan apa yang sekarang ini sedang aku lihat. Tiba-tiba, setelah berminggu-minggu sulit untuk diketahui kabarnya, dia muncul begitu saja didepan mata, dengan senyuman yang hangat, membuat hati ini berdebar, seolah tak miliki rasa bersalah sama sekali.
Tak ingin memaafkan dengan mudah begitu saja, atas apa yang telah dia lakukan padaku. Tak kubiarkan senyuman dari bibir itu dengan mudah meluluhkanku. Tak ada senyum balasan yang aku ukir dibibir ini, yang ku yakini sangat ingin dilihatnya. Akan kutunjukan dulu, pada laki-laki yang sangat aku rindukan itu, bahwa aku sangatlah marah padanya.
Saat dia mulai mendekatkan langkahnya padaku, kuarahkan tatapan tajam padanya.
"Kamu tidak senang aku datang? kamu tidak suka melihatku?" Tanya Andi, dengan raut wajah kecewa atas reaksiku, yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
"Kamu benar-benar jahat, apa kamu tidak merasa bersalah sedikit pun? Kamu tidak tau apa salahmu?" ucapku dengan nada sedikit meninggi. "Ya, aku benar-benar marah saat ini. Tapi aku juga tidak bisa berbohong kalau aku begitu senang, melihatmu tiba-tiba muncul dihadapanku." Ucapku pada Andi dengan tangis sesenggukan.
Andi pun tersenyum melihat reaksi yang aku lakukan. Ia pun Semakin mendekatkan langkahnya hingga tepat berada dihadapanku, dengan senyum dibibirnya, matanya menatap mataku sangat dalam.
"Aku minta maaf karena sudah menyusahkanmu! Aku pikir tidak masalah bagimu, ketika tak mendapatkan kabar dariku." Ucapnya penuh penyesalan, sambil menghapus air mata yang membasahi pipiku.
"Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? saat jauh darimu, setidaknya hanya dengan mengetahui kabarmu baik-baik saja setiap harinya, yang baru bisa membuatku merasa tenang." Jawabku dengan menatap matanya dalam.
Saat itu aku penuh dengan emosi. Marah, bahagia, lega dan seperti menemukan harapan menjadi satu. Tanpa kurasa tangisku semakin menjadi. Namun nampaknya Andi menyadari, bahwa reaksiku yang aku tunjukan agak sedikit berlebihan bila hanya karena kepulangannya.
"Apakah kamu sebahagia dan semarah itu secara bersamaan terhadapku? Apa ada sesuatu? apakah semuanya baik-baik saja?" Tanya Andi penasaran.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Andi, malah membuat tangisku menjadi-jadi. Saat itu juga aku memutuskan, untuk menceritakan segala hal yang sedang aku hadapi saat ini. Andi terlihat cukup terkejut, tapi dia berusaha untuk setenang mungkin dihadapanku. Ia ingin aku merasa dapat mengandalkannya.
"Nanti kita pikirkan solusi, bagaimana untuk menghadapinya yah! Terus sekarang kamu mau pergi kemana? Kok berdiri disini? Nunggu angkot?" Tanya Andi.
Saat itu posisi aku memang sedang berada dipinggir jalan dan sedang menunggu angkot yang datang.
"Aku tadinya pengin kerumah ayah, sumpek dirumah. Apalagi ibu nggak ada berhentinya ngomongin Pak Doni sepanjang hari." Jawabku.
"Oke, ya sudah! Ayo, Naik, kita kerumah ayah!" Ucap Andi, seraya memintaku menaikin motornya.
Aku benar-benar merasa sangat senang, karena Andi bukan hanya sekedar pulang untuk liburan. Tapi dia akan ditugaskan ditempat kerja lamanya lagi. Setelah menceritakan segalanya pada Andi, saat itu juga aku merasa lebih tenang, aku merasa seperti ada sosok yang bisa aku andalkan. Semoga saja kehadiran Andi didekatku lagi, membuat ibu menghentikan keinginannya untuk menjodohkan aku dengan Pak Doni.
***
Sesampainya dirumah ayah, ternyata ayah sedang tak ada dirumah. Rumah dalam keadaan kosong, sepertinya Rani juga sedang pergi. Aku dan Andi sepakat untuk menunggu ayah sejenak, sambil duduk berbincang diteras.
"Nanti aku akan coba bicara pada ibu. Yakinlah, bahwa kamu nggak sendiri. Kita berjuang sama-sama yah." Ucapan Andi meyakinkanku.
"Asal kamu tahu, betapa putus asanya aku karena begitu sulit nya menghubungimu, hanya sebatas mengetahui kabarmu saja sulit, apalagi menceritahakan apa yang sedang kuhadapi saat ini, rasanya mustahil." Ucapku, meluapkan segala kekesalanku pada Andi.
"Iya, sekali lagi aku sangat menyesal. Aku sungguh tak mengira ada hal seperti ini akan terjadi. Tadinya aku hanya ingin menggodamu, memberimu kejutan akan kepulanganku yang mendadak, yang telah lama tak ada kabar ini." Ucap Andi sekali lagi penuh penyesalan.
"Sepertinya ayah lama, kita pergi saja yuk! Kemana saja, Aku sangat jenuh dirumah. Anggap saja ini balas dendam karena kita sudah lama tidak jalan-jalan." Pintaku pada Andi.
"Ya sudah, ayo!" Andipun mengiyakan tanpa banyak alasan..
Hari itu kami menghabiskan waktu bersama-sama. Tanpa ada tujuan jelas kita mengitari seluruh kota, makan dan jajan dipingir jalan, dan menonton film yang sedang diputar dilayar lebar. Sampai pada waktunya sang lunar keluar dari peraduannya, kami pun harus menyudahin kebersamaan kami dihari ini.
"Kamu nggak usah antar aku sampai rumah yah. Antar saja aku sampai depan jalan." Ucapku pada Andi.
"Loh, kok gitu. Nanti apa kata ibu?" Jawab Andi.
"Ibu kan tidak tahu aku pergi sama kamu, ibu tahunya aku kerumah ayah. Kalau ibu liat aku pulang dianter sama kamu, aku nggak tahu apalagi nanti yang akan ibu rencanakan." Jawabku.
"Kamu yakin?" Tanya Andi.
"Iya, seperti itu saja. Besok kamu baru datanglah kerumah! Bicaralah dengan ibu, perjuangkan hubungan ini!" Ucapku sedikit memohon pada Andi.
"Kalau begitu, besok sepulang kerja aku akan mampir kerumah, kita sama-sama bicara pada ibu yah!" Ajak Andi padaku.
Sesampainya dirumah, ibu ternyata sedang menungguku yang hingga selarut ini belum juga pulang.
"Kok, pulangnya malem banget teh? Pulang naek apa?" Tanya ibu.
"Naek ojeg online bu." Jawabku.
"Teteh, sebenarnya dari mana? Kenapa pulangnya malam sekali? Tadi ibu sempat telepon si neng, tapi kata neng, teteh nggak ada kerumah." Tanya ibu padaku
"Tadi teteh memang kerumah ayah, tapi dirumah nggak ada orang. Ayah dan Rani nggak ada dirumah, akhirnya teteh pergi kerumah temen." Jawabku.
"Sudah ya bu, aku istirahat dulu!" Ucapku melanjutkan.
"Ya sudah sana istirahat, jangan terlalu capek teh! Jangan sampai kondisi badanmu drop lagi." Ucap ibu mengingatkanku.
Aku masuk kedalam kamar, kurebahkan tubuh ini diatas kasur empuk, yang sedari tadi sudah sangat aku rindukan. Aku ingin tidur nyenyak malam ini, tidak ingin memikirkan segala permasalahan yang sedang aku hadapi. Apalagi saat ini sudah ada Andi, aku yakin kita berdua bisa menyelesaikannya. Besok aku harap permasalahan selesai, dan ibu berhenti memintaku untuk menikah dengan Pak Doni.
***
Hari ini, sedari pagi Om Hendra sudah menampakan batang hidungnya dirumah. Ibu juga sudah telihat sangat rapih, mungkin hari ini mereka akan ada pergi lagi. Apalagi perkumpulan alumni SMA ibu itu, sering sekali membuat acara kumpul-kumpul.
Kalau diperhatikan, rasanya sering sekali ibu berpergian dengan Om Hendra. Entah apa yang laki-laki itu bilang saat ijin pada istrinya, Apalagi jika sepagi ini dia sudah ada disini. Sebelum pergi, ibu dan om Hendra terdengar sedang berbincang-bincang diteras rumah. Aku yang sedang memainkan gawaiku, sambil rebahan dibangku panjang ruang tamu mencuri dengar obrolan mereka.
"Disaat aku yang sudah siap, kenapa kamu yang maju mundur seperti ini? Tanya om Hendra pada ibu.
"Aku tidak maju mundur mas, aku iyakan ajakanmu. Tapi jangan secepat itu. Paling tidak tunggu Anakku menikah dulu." Terdengar jawaban dari ibu.
Kenapa juga ibu membicarakan pernikahan anaknya? Siapa anak yang dia maksud? Pastinya aku kan? Tidak mungkin Rani.
"Ya tapi kapan anakmu itu akan menikah? Memang sudah ada rencana dalam waktu dekat ini? Masa iya, menunggu sesuatu hal yang tidak pasti." Om Hendra kembali bertanya.
"Tidak akan lama lagi, ini sedang dalam pembahasan. Sebelum akhir tahun ini kita pasti sudah menikah, tapi tentunnya setelah Tari menikah." Ucap ibu.
Apa yang ibu maksud adalah niatannya untuk menikahkan aku dengan Pak Doni? Setelah mendengar pembicaraan itu, aku jadi memiliki prasangka yang buruk terhadap ibu. Mungkin ibu memaksaku menikah cepat karena dia juga ingin segera menikah. Padahal jika dia mau menikah, menikah saja! kenapa juga dia harus 'mengojok-ojok' aku?
Hari ini, sore nanti, aku akan hentikan rencana ibu itu.