Perintah Untuk Menikah.

1033 Kata
Sore itu, belum juga terlihat ada tanda-tanda kepulangan ibu yang sedari pagi pergi bersama Om Hendra. Sedangkan, baru saja Andi memberi kabar, bahwa dia sudah pulang dari pekerjaannya dan sedang dalam perjalanan menuju kerumahku. Sesuai dengan rencana yang sudah kita sepakati bersama kemarin, hari ini Andi dan aku akan berbicara dengan ibu. Setelah menunggu kedatangan mereka beberapa saat. Kulihat mobil MPV berwarna abu-abu, dengan plat yang sangat aku hafal itu melaju memasuki pekarangan rumah. Bersamaan dengan kedatangan mobil hitam itu, motor matic dengan ciri khas suara yg sangat aku kenal itu, melaju mengikuti dibelakangnya. Om Hendra dan ibu keluar dari mobil, berjalan menuju rumah. Melihat ada motor datang, dan seolah tahu bahwa itu adalah tamu untukku, Om Hendra terlihat mengurungkan niatnya untuk mampir, dia terlihat pamit kepada ibu untuk pulang. "Sepertinya aku langsung pulang saja ya, lain kali saja aku mampirnya." Ucap Om Hendra pada ibu. "Loh, kok! Hemm, ya sudahlah! Hati-hati dijalan." Seolah mengerti keadaannya, ibu pun mengiyakan ucapan Om Hendra. "Tar, Om langsung Pamit ya." Sapa Om Hendra padaku yang sedari tadi berdiri diteras rumah. "Iya." Ucapku dengan senyum. Om Hendra berlalu pergi. Ibu yang menyadari atas kedatangan Andi, saat itu menerimanya dengan senyum. "Assalamualaikum bu." Ucap Andi seraya mencium punggung tangan ibu. "Waallaikumsalam, baru pulang kerja Ndi?" Ucap ibu. "Iya bu" "Bagaimana kabar ibu sehat?" Tanya Andi. "Alhamdulillah sehat. Perasaan, ibu sekarang-sekarang ini jarang melihatmu Ndi." Ucap ibu pada Andi. "Selama beberapa bulan ini, aku memang ditugaskan dicabang yang ada diluar pulau bu." Jawab Andi. "Ooo, pantas saja kalau begitu." "Ya sudah, ayo, masuk! Ngobrolnya didalam." Ajak ibu Pada kami. Ibu berjalan terlebih dahulu, meninggalkan kami yang berjalan dibelakang. Ketika Andi mau duduk dibangku teras, Aku mengajaknya untuk duduk diruang tamu. Awalnya aku dan Andi berbincang-bincang tanpa ibu. tak lama, ibu pun kembali menemui kami dengan baju yang telah iya salin dan keadaan yang lebih segar, sepertinya tadi ibu mandi terlebih dahulu. Kami mengobrol santai saat itu. Tapi rupanya, bukan hanya kami yang memiliki maksud untuk bicara saat itu. ibu, tiba-tiba saja membuka obrolan serius kepada kami "Bagaimana pekerjaanmu saat ini Ndi? Lancar?" Ucap ibu, terlebih dahulu basa basi. "Alhamdulillah bu, lancar." Jawab Andi. "Maaf yak Ndi sebelumnya, ibu ada sesuatu yang ingin ditanyakan pada Andi." Ucap ibu. Seketika itu juga suasana menjadi terasa lebih serius, "Iya bu, mangga." Jawab Andi. "Ini mengenai hubungan kalian berdua. Apakah sejauh ini, Andi sudah punya niatan atau rencana untuk kearah pernikahan?" Tanya ibu, dengan pertanyaan yang langsung menembak Andi. Dengan terlihat sangat tenang, Andi berusaha untuk menjawab pertanyaan ibu. "Sejak awal berhubungan dengan Tari, aku sudah sangat serius bu. Sedari awal tujuanku memang untuk menikah. Apalagi sejauh ini, tidak ada hal apapun yang membuatku, harus mengakhiri hubungan aku dengan Tari. Aku yakin dan berharap aku dan Tari bisa sampai menikah." Jawab Andi. "Tapi kalian ini dekat sudah cukup lama. seingat ibu, mungkin sudah ada tiga tahunan. Apa akan seperti ini terus?" Tanya ibu lagi. "Saya tidak ingin seperti ini terus bu, saya sedang mengusahakan untuk menuju kesana saat ini." Jawab Andi. "Ibu merasa sepertinya tidak baik ya, kalau kalian dekat terlalu lama. Ibu meminta kepastian, kapan kamu bisa membawa orang tuamu untuk datang kesini dan melamar Tari." ibu menanggapi perkataan Tari. "Saya sangat mencintai Tari anak ibu, tapi untuk saat ini sepertinya saya belum memiliki persiapan apapun." Jawab Andi. "Ibu terang-terangan saja ya Ndi. Mungkin juga Tari sudah cerita sama Andi. Kalau saat ini, ada laki-laki yang meminta pada ibu untuk menikahi Tari. Sebagai orang tua , jujur saja ibu cocok dengan laki-laki itu. Tapi disini ibu masih menghargai hubungan kalian. Kalau Andi memang ada rencana atau sanggup dalam waktu dekat menikahi Tari, ibu akan pertimbangkan untuk menolak lamaran dari pihak laki-laki itu. Tapi, jika Andi tidak ada kesiapan dan kesanggupan, maaf, ibu tidak akan membiarkan Tari menunggu sesuatu hal yang tidak pasti." Ucap ibu panjang lebar. "Ibu tidak bisa seperti itu dong bu, ini hidup aku, ini pernikahan yang akan aku jalani. Dengan siapa aku akan menikah dan kapan aku bersedia menikah aku yang berhak menentukan." Ucapku, menentang semua perkataan ibu. "Tapi kamu tak masalahkan bila Andi mengajakmu menikah dekat-dekat ini? Tanya ibu. Aku hanya terdiam, karena jawabanku atas pertanyaan ibu adalah ya. "Berarti masalahnya bukan kamu siap atau tidaknya menikah saat ini. Teteh! Mengertilah! Keluarga kita saat ini, tidaklah sama seperti keluarga lainnya." Sedikit terdiam, lalu ibu melanjutkan perkataannya. "Teteh tahu ayah dan ibu itu sudah bercerai, saat ini ibu tidak bisa tenang bila membiarkan teteh hidup sendiri. Bila teteh tinggal dengan ayah pun, ibu tidak yakin– ayah bisa mencukupi kalian berdua. Sedangkan ibu sendiri, ibu tidak tahu kapan ibu masih mampu membawa teteh bersama ibu." Ucap ibu. "Pokoknya hidupku, aku yang jalani dan aku yang tentukan. Bila ibu memaksa aku akan pulang kerumah ayah." Jawabku dengan segala cara menentang ibu. "Menikahlah! Dengan siapapun menikahlah! Ibu tak masalah kalaupun teteh mau menikah dengan Andi, tapi yang penting bagi ibu dalam waktu dekat ini." Ucap ibu menekankan. Mendengar perdebatan antara aku dan ibu, Andi hanya terdiam. Seolah banyak hal yang ada dipikirannya saat ini. "Kalau Andi tak ada kesanggupan, dan teteh memutuskan untuk pulang kerumah ayah. Ibu masih bisa menentukan tanggal pernikahan itu tanpa menjemput teteh dari rumah itu." Ucap ibu, yang terdengar seperti ancaman. "Sebenarnya kenapa ibu berbuat seperti ini? Kenapa pernikahanku yang harus dilakukan dalam waktu dekat itu menjadi begitu penting untuk ibu?" Tanyaku pada ibu. "Bagi seorang ibu, memastikan anaknya aman dan terlindungi itu adalah yang paling penting. Saat kamu menikah, saat itu ada seseorang yang bertanggungjawab atas diri kamu. Disitu tugas ibu sudah selesai, untuk menjaga putri-putrinya. Dan jujur saja ibu lebih cocok menyerahkan teteh kepada Pak Doni, karena dilihat dari segala sisi dia lebih mempuni." Ucap ibu, ucapan terakhir ibu itu, pasti menyakiti Andi. "Pikirkanlah semua perkataan ibu, sebenarnya semua keputusan ada pada kalian sendiri. Semua keputusan yang akan terjadi nanti tergantung dari jawaban Andi dan kamu, atas semua perkataan dan pertanyaan ibu ini. Setelah dirasa semua hal yang ingin diucapkannya tersampaikan, ibu meminta kami untuk mempertimbangkannya dan segera mengambil keputusan. Dia pun berlalu meminta ijin untuk menyudahi pembicaraan kita malam itu. Ibu berjalan kekamarnya dan istirahat. Tinggallah disitu aku dan Andi saling terdiam. Seolah mencari jawaban, atas keputusan seperti apa yang harus kami ambil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN