Aku Tak Bisa Menolak

1069 Kata
Laki-laki itu terlihat sangat bahagia. Pengajuan kepindahannya telah disetujui. Mulai minggu depan, ia sudah dapat pulang ke kota asalnya untuk kembali bekerja di cabang lama. Dia sangat tidak sabar untuk memberi kejutan pada keluarga dan wanita yang sangat ia rindukan itu. Sengaja laki-laki itu tak memberi tahukan perihal kepulangannya. Tak sabar menyaksikan reaksi mereka nanti. Selain itu, dia juga merasa lebih lega, setidaknya di cabang lamanya jam kerja berjalan normal, tidak seperti di cabang tempat ia sekarang bekerja. karena toko baru, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Sehingga membuatnya tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Di lain tempat, ternyata Tari dan Pak Doni semakin dekat. Bukan berarti, Tari telah setuju untuk menerima pria beranak satu itu, hanya saja dia tidak bisa bersikap tidak baik pada orang yang baik. Tari merasa pak Doni adalah orang yang baik, bahkan disaat sikapnya acuh tak acuh padanya, diawal perkenalan. "Saat ini saya serius mencari pendamping hidup, cukup bagi saya selama tiga tahun ini hidup sendiri. Saat bertemu dengan dek Tari saya merasa, dek Tari adalah sosok yang tepat untuk menemani saya. Marilah coba dulu kita dekat, saya akan berusaha membuat dek Tari merasa nyaman." Ucap pak Doni dengan menatapku dalam. "Saya tidak tahu pak, saya tidak bisa memusuhi atau membenci bapak yang terus berusaha untuk mendekati saya, tapi saat ini, sudah ada seseorang yang mengisi hati saya." Jawabku. "Maaf tapi Saya tidak akan semudah itu menyerah, saya akan terus berusaha meyakinkan kamu Tari. Menikahlah dengan saya! Saya akan membuat kamu bahagia." Ucap pria itu, perkataannya sungguh meyakinkan dan hampir membuat Tari luluh. Aku semakin bingung, juga semakin takut. Bagaimana cara menghadapi ibu dan pak Doni? Lalu Andi, kemana sih dia? Dalam keadaan seperti ini, kenapa dia sulit sekali untuk dihubungi? Saat ini rasanya ingin meminta Andi untuk membawa aku pergi sejauh-jauh. *** Aku benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi hari ini. Bagaimana bisa Pak Doni datang kerumah, dengan membawa ibunya? Dan yang paling membuatku tak dapat berkata-kata, dihadapan ibunya–dia memperkenalkan aku sebagai calon istri. "Saat ini ibu merasa sudah tua. Ibu takut, saat ibu dipanggil pulang oleh yang maha kuasa nanti, Doni belum juga menikah lagi." ucap Bu Sarah, wanita yang masih terlihat cantik diusia senjanya. "Walaupun Doni sudah dewasa, tapi tetap aja, sebagai ibu rasanya lebih tenang jika anaknya sudah memiliki seseorang untuk menemani hidupnya." Bu Sarah melanjutkan. "Iya bu, sebagai orangtua saya juga dapat mengerti perasaan ibu." Ucap ibu, menanggapi perkataan Bu Sarah. "Doni cerita, kalau saat ini dia sudah memiliki seseorang yang dia rasa tepat untuk dia nikahi. Saat mendengar itu, ibu merasa tidak ingin menunda-nunda lagi. Oleh karena itu, ibu meminta Doni untuk menemui nak Tari." Ucap Bu Sarah, seraya memegang tangaku, yang kebetulan duduk disampingnya. "Saya sangat serius dengan ajakan dan niat saya untuk menikahi dek Tari, saya harap dek Tari dapat menerima niat baik saya ini." Ucap Pak Doni, mempertegas niatnya dan maksud dari kedatangan mereka ke rumah ini. Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada seorang ibu yang penuh harapan ini? Apakah aku harus terus terang, bahwa aku tidak dapat menerima ajakannya ini? Tapi aku tidak sampai hati. Ditambah ibu sangat mendukung obrolan ini, dari semua perkataan yang ibu bicarakan, seolah memberi banyak harapan pada ibunya Pak Doni. Terkesan Bahwa aku pasti akan menerima pernikahan ini. "Maaf, tapi saya tidak bisa memberi jawaban apapun untuk saat ini. Saya akan coba mempertimbangkannya." Hanya itu yang dapat terucap dari mulutku. Walaupun, Aku sendiri tidak paham -- apa yang akan aku pertimbangkan? Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Pak Doni dan bu Sarah pun pulang. Saat ini aku merasa, kenapa keadaannya menjadi nampak serius? 'Ojokan-ojokan' ibu untuk menjodohkanku dengan Pak Doni, yang saat itu tidak begitu aku hiraukan. Mengapa sekarang seolah membuatku terhimpit? Kenapa juga aku harus merasa serba salah? Bukankah semua jawaban ada pada diriku? Jika aku tidak bersedia, bukankah aku hanya perlu menjawab 'tidak'? Tapi jika aku menjawab tidak, ibu pasti tidak akan semudah itu membiarkannya. Bagaimana jika nantinya pernikahan itu tetap terjadi tanpa adanya persetujuan dariku? Apa aku harus pulang saja kerumah ayah? Tapi jika hanya kerumah ayah, ibu pasti bisa menyusul dan menjemputku. Andi, dimanakah Andi? Bisakah saat ini kau tiba-tiba ada dihadapanku dan membawaku pergi dari sini? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Setelah kedatanganya ibu Sarah, ibu dari Pak Doni. Ibu makin gencar melakukan aksinya, meyakikanku untuk dapat menerima pernikahan itu. "Terima saja ajakan Pak Doni, setelah itu tak usah menunggu terlalu lama, kita tetapkan tanggalnya." Ucap ibu . "Bagaimana bisa, Ibu begitu saja akan menetapkan tanggal? Apalagi saat ini aku juga masih menjalankan pengobatan." Jawabku, berusaha menolak dengan berbagai alasan. "Kondisi teteh saat ini, Alhamdulillah sudah terlihat membaik. Selepas pengobatan yang tinggal hitunggan bulan, ibu yakin teteh sudah kembali pulih seperti semula." Ucap ibu menangkis perkataanku. "Tetap saja, ini tentang pernikahanku. Aku tidak bisa sembarangan mengambil keputusan." Jawabku. "Lalu Apalagi yang teteh tunggu? cinta? Cinta akan tumbuh dengan sendirinya jika kalian sudah menikah. Saat ini yang terpenting itu masa depan, ekonomi." ucap ibu dengan penekanan. "Dengan laki-laki yang telah mapan seperti Pak Doni, masa depan teteh nanti pasti akan terjamin." ibu menekankan sekali lagi. "Aku tidak tahu, aku tidak bisa memberi keputusan untuk saat ini." Jawabku yang ingin menyudahi obrolan ini. "Ibu tahu, sebenarnya kamu sendiri tidak begitu yakinkan dengan Andi? Maka dari itu dengarkan saja saran ibu! Terimalah ajakan Pak Doni untuk menikah!" Ucap ibu tetap berusaha menggoyahkanku. Sekarang ini, Aku sama sekali tidak mengetahui apa keinginanku sendiri. Dulu aku sangat yakin, hubunganku dengan Andi akan sampai pada tahap pernikahan. Tapi mengapa dalam hitungan bulan saja, hati ini menjadi ragu? Perkata-perkataan ibu itu mengapa dapat mempengaruhiku? Atau mungkin memang hatiku sendiri yang telah goyah? Apa nyatanya tanpa aku sadari aku tidak sesetia itu? "Bukankah sebenarnya aku ini masih terbilang cukup muda bu? Kenapa ibu sangat ingin sekali, aku untuk segera menikah?" Tanyaku yang tiba-tiba teringat akan hal itu. "Menikahlah! Setidaknya jika teteh sudah menikah, ada laki-laki yang memegang tanggung jawab atas teteh. Ibu akan merasa jauh lebih lega dan tenang saat itu." Jawab ibu dengan kata-kata yang membuatku penuh dengan tanda tanya. Kenapa mendengar jawaban ibu itu, membuat hati ini merasa tidak nyaman? Ucapan itu membuat kesan, bahwa saat ini aku menjadi beban untuknya. Atau mungkin memang aku saja yang terlalu sensitif menanggapi perkataan ibu tersebut? Jika ingin permasalah ini cepat teratasi, Aku tetap harus menemui atau menghubungi Andi, aku ingin dia membantuku. Andi harus bicara pada ibu, tidaknya ibu harus menghormati keinginanku dan menghargai perasaan Andi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN