Bab.17 pingsan.

1090 Kata
"Apa untuk saat ini, uang adalah tujuan hidup ibu?" Kuucapkan pertanyaannya yang terkesan menuduh itu. "Menjelaskan dengan bagaimana pun, jika pandanganmu tentang ibu sudah buruk semua akan menjadi percuma." Seru ibu dengan tatapannya yang tajam. "Teteh, tidak meminta penjelasan yang berbelit-belit. Teteh, hanya bertanya. apakah hidup bersama dengan aku, Rani dan ayah dahulu tidak ada artinya bagi ibu sedikit pun?" dengan suara tertahan kuluapkan semua emosi dalam diri ini. "Apakah dua puluh tahun itu tidak sedikit pun membekas?" Semua pertanyaan yang ada dikepalaku selama ini, sedikit demi sedikit aku utarakan. "Terus menurut teteh, apakah dua puluh tahun hidup yang ibu berikan untuk keluarga kita dulu masih kurang? teteh meminta lebih dari itu?" ibu membalikkan pertanyaan padaku. "Apa ibu tidak berhak mendapatkan sesuatu yang ibu rasa bisa membahagiakan ibu?" Ibu berusaha mencari pembenaran atas dirinya, yang malah semakin membuatku tidak memahami jalan pikirannya. "Teteh, tidak meminta ibu untuk kembali pada ayah. Karena teteh tahu, semua itu rasanya tidak mungkin. Hanya saja, mengetahui kebenarannya walaupun itu ternyata menyakitkan penting buat teteh." Ucapku pada ibu, seraya berlalu meninggalkan ibu sendiri diteras dan masuk kekamar. Semarah apapun aku pada ibu saat ini, tetap saja aku tidak mungkin membencinya dan tidak menghormatinya. Aku jadi meragukan kepindahanku kerumah nenek, walaupun karena keadaanku yang sedang sakit tapi tinggal bersama ibu setelah mengetahui kebenarannya, apakah aku bisa melakukannya? Apa pulang kerumah ayah lebih baik daripada disini? Tapi aku tidak tega jika harus membuat repot ayah dengan kondisinya saat ini. Bukan berarti aku tega terhadap ibu, hanya saja ibu memiliki fisik yang lebih sehat dari ayah. Aku yang dalam sakit seperti ini sedikit banyak pasti akan merepotkan orang rumah. Tapi baru beberapa hari saja disini bukannya mendapatkan ketenangan, malah terjadi ketegangan antara aku dengan ibu. *** Walaupun ada ketidaksepahaman antara aku dan ibu, tapi tetap saja sulit rasanya untuk tidak menjalin komunikasi dengannya. Dan sikap yang ibu tunjukan, seolah-olah tidak ada perdebatan yang terjadi antara aku dan dirinya dimalam itu. Ibu masih bersikap seperti biasa, rasanya semua yang aku ungkapkan tidak ada yang mengena dihatinya sama sekali, seolah semua yang ibu lakukan itu tidak melukai hati kami. "Teteh yakin mau coba masuk kerja hari ini"? Ibu yang masih bersikap biasa saja mencoba meyakinkan aku. "Iya bu, kasian teman-teman disana, kalau aku ijin terlalu lama." Jawabku pasti. "Untuk sementara biar antar jemput ojeg langganan ibu saja, tuh mang udin." Ucap ibu. "Ya boleh, teteh minta nomernya. Biar ditelepon" jawabku. Pagi ini aku dengan diantar mang Udin berangkat kerja dari rumah nenek. Saat aku memberi kabar pada Maya dan Asti jika aku akan mulai bekerja hari ini, mereka berteriak kegirangan. Sebenarnya aku sendiri tidak begitu yakin, apakah hari ini aku akan kuat? Sesampainya didepan pintu karyawan, kulihat sudah ada Maya dan Asti. Sepertinya mereka dengan sengaja menunggu kedatanganku. Dari jauh sudah terlihat lambaian tangan dan senyum dari bibir dari keduanya. Pelukan pun langsung mendarat saat aku turun dari ojeg. "Ya allah, kangen banget" ucap Maya dan Asti secara bersamaan. Sadar dengan kejadian yang mereka anggap lucu itu, bola mata keduanya pun membulat penuh saling bertatapan. Diikuti dengan gelak tawa kami bertiga. "Sudah, hayo ah! Ketawa mulu. Nanti kita telat absen." ajakan Asti menghentikan kehebohan kami. "Ya sudah, hayu! Lanjut lagi didalam." Maya mengiyakan ajakan Asti. Kami bertiga bergegas masuk keruang loker untuk berganti sepatu dan membetulkan dandanan kami yang sedikit berantakan. Sebelum masuk kearea tempat kami bekerja, biasanya kita akan terlebih dahulu ke ruangan loker untuk berdandan. Setiap pergantian sif pasti banyak pekerja yang berkumpul di ruang ini. "Tapi kamu masih terlihat sangat pucat Tar. kamu yakin, tubuhmu sudah bisa kamu ajak bekerja?" tanya Maya yang menghawatirkan keadaanku. "Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin May, tapi aku sungguh tidak enak hati kalau harus ijin terlalu lama." jawabku sambil menundukkan pandanganku. Mendengar jawaban yang keluar dari muluy ini, malah membuay Maya menjadi tambah khawatir terhadapku. "Padahal seharusnya tidak kau paksakan Tar." Ucap Maya. "Walaupun aku sangat senang. Saat ini kau kembali lagi bekerja, dan kita bisa sama-sama lagi. Tapi kesehatanmu tetaplah yang utama." lanjutnya. "Rasanya aku masih belum ikhlas May, jika harus resign. Aku merasa sangat nyaman dan senang menghabiskan waktuku untuk bekerja ditempat ini" seruku. "Makanya hari ini aku ingin mencoba dulu, apakah aku bisa atau tidak." "Ya sudah, selama kau belum pulih total. Kau jangan memegang pekerjaan yang terlalu berat. Pegang saja pekerjaan yang ringan-ringan dulu ya." Ucap Maya. "Untuk hari ini, kita dilorong yang sama dulu ya? Kita display-nya bersamaan dulu." Ucapku pada Maya. "Ya, nanti aku bilang sama pak Yus." Ucap Asti. Aku memang sangat beruntung memiliki teman-teman yang sangatlah pengertian. Kami selalu ada untuk satu sama lain. Terutama aku, yang saat ini memang paling sering mendapat dukungan dari mereka. *** Padahal hari ini aku benar-benar tidak memegang pekerjaan yang berat. Selain mengecek jumlah barang, paling yang aku kerjakan hanya me-refill barang dirak yang pendek-pendek saja. Sedangkan untuk mengambil barang-barang yang ukurannya besar dan berat, Maya-lah yang bolak-balik ke gudang. Belum lagi untuk mengisi rak-rak atas, Maya harus naik turun tangga. Tapi belum juga masuk jam istirahat makan siang, badan ini sudah terasa tak bertenaga. Pusing yang hebat menyerang kepalaku, belum lagi sepanjang aku bekerja, batuk tak henti-hentinya datang. Semakin lama, Maya semakin khawatir padaku. Melihat wajahku yang terlihat semakin pucat, dia memintaku untuk mengistirahatkan badan sejenak di mushola karyawan. Dengan diantar Maya aku menuju mushola, sedangkan Maya meminta Asti untuk memesankan teh manis hangat dikantin karyawan. Belum juga sampai langkahku dan Asti dipintu mushola, tiba-tiba pandangan disekeliling menjadi gelap. Kaki ini terasa tak memiliki tenaga sedikitpun. Tanpa aba-aba aku terjatuh hilang kesadaran, dengan cepat Maya menyanggah tubuhku dengan kedua tanganya. Maya terlihat sangat panik saat itu. Orang-orang yang kebetulan ada di dekat kami pun dengan sigap menolong Maya mengangkat tubuhku ke dalam mushola. Asti yang baru saja selesai memesan teh manis hangat, segera berlari mengetahui aku jatuh tak sadarkan diri. "Tar, Tar, sadar Tar!" Berkali-kali Maya memanggil dan mengoyangkan tubuhku pelan, ditangannya terdapat minyak kayu putih yang sesekali dia hirupkan ke hidungku. "Du, bagaimana ini May? Kok lama banget sih Tari belum sadar-sadar juga?" Ucap Asti tak kalah panik, bahkan matanya terlihat menahan genangan air mata yang akan jatuh. "Tenang Ti, tenang! Tari pasti sadar kok. Teruskan saja usaha kita. Biar Tari cepat sadar, minyak kayu putihnya jangan lupa biar dicium Tari. Juga gosok-gosok, kaki juga tangannya pada dingin." Perintah Maya pada Asti. Samar-samar terdengar suara Maya dan Asti memanggil namaku. Saat aku buka kedua mataku perlahan, Maya dan Asti sudah ada tepat dihadapanku dengan wajah yang terlihat sangat panik. "Tar, Tar. Ya allah, alhamdulillah!" Ucap Maya dan Asti bersamaan ketika melihat aku membuka kedua mata ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN