Bab. 14 Dalam gelisah

1130 Kata
"Sesuai dengan kesepakatan kita kemarin, sore ini kita akan pulang kerumah nenek ya." Ucap ibu, mengingatkan perjanjian kita kemarin. Aku hanya diam, tak memberi jawaban. Bukan karena tidak setuju untuk tinggal dengan ibu, tapi lebih karena rasa penasaranku pada sosok laki-laki yang datang bersama ibu. "Berhubung barang-barang yang akan kita bawa nanti cukup banyak, jadi ibu meminta bantuan om hendra." seolah ibu tahu apa isi kepala ini. Padahal aku tidak mengatakan satu patah kata pun, tak ada pertanyaan apapun yang keluar dari mulut ini. Tapi secara panjang lebar ibu menjelaskan alasan mengapa ia membawa laki-laki itu. "Teteh siap-siap yah! Pilih barang-barang yang sekiranya penting saja untuk dibawa. Sisanya, tinggalkan barang-barang yang besar. Biar nanti minta tolong ayah untuk pindahkan ke rumah." Ucap ibu. "Sepertinya nanti kita pesan taksi online saja ya bu?" Tanyaku, menanyakan pendapat ibu. "Ibu sengaja meminta bantuan om hendra, nanti om hendra yang akan mengantar kita. Dia bawa mobil." Ucap ibu tanpa menoleh ke arahku. "Teteh lanjutkan yah sendiri! Bisa kan? Ibu kedepan dulu, mau menemani om Hendra." seraya ibu berlalu. "Iya." lirihku. Aku melanjutkan kegiatan berkemas yang tadi kita lakukan bersama itu. Sementara, ibu sedang berbincang-bincang dengan om hendra di kursi depan kamarku. Tidak terlalu terdengar jelas apa yang mereka bincang-bincangkan, tapi sesekali terdengar suara tawa-tawa kecil ibu. Dari cara mereka berbicara dan dari gerak tubuh antara keduanya, nampaknya mereka sudah cukup dekat. Bip..bip.. Ditengah-tengah tangan yang bekerja, namun pikiran tak disana. Terdengar notifikasi pesan masuk. Kuambil gawai, kulihat terdapat pesan balasan dari Andi atas pesanku tadi pagi. [Maaf ya Tar, seharian ini aku banyak sekali kerjaan. Jadi pesan yang kamu kirim dari pagi, baru bisa aku baca] Merasa tak puas jika hanya berbalas pesan, kuputuskan untuk langsung menelepon Andi. Ingin rasanya menceritakan semua ini pada Andi. Semua? ya, semua yang terjadi padaku, tentang apa penyakit yang aku derita, tentang kepindahanku, juga pastinya tentang ibu yang membawa laki-laki dihadapanku bahkan terlihat sangat dekat. Kenapa ibu yang belum lama berpisah dengan ayah bisa memiliki kedekatan dengan laki-laki yang sama sekali belum pernah aku kenal sebelumnya? Saat ini memasuki jam pulang kerjannya, pasti sekarang Andi sedikit lebih longgar dari pekerjaan. Jadi aku tidak akan mengganggunya bila menelepon. *** Ditempat lain, terlihat seorang pria muda yang sepertinya baru saja menerima panggilan telepon. Dari gurat diwajahnya terlihat ada kegelisahan disana. Pria muda itu adalah Andi. Tuntutan dari pekerjaannya saat ini, mengharuskan ia untuk hidup berjauhan dengan keluarga dan wanita yang ia kasihi. Sudah satu bulan ini dia dipindah tugaskan ke toko cabang di kota lain, tepat nya adalah pulau lain. Memang sudah menjadi peraturan dari perusahaan tempat Andi bekerja, siapapun yang mendapatkan kenaikan jabatan harus siap dan bersedia untuk ditempatkan di cabang kota manapun. Rupanya kegelisan yang Andi rasakan itu terbaca oleh orang-orang yang ada disekitarnya. "Hayoo, kok ngelamun saja sih pak?" Goda Selvi, salah satu SPG ditoko itu. "Abis terima telepon kok jadi melamun?baru diputusin ya?" wanita berparas cantik itu melanjutkan candaannya. "Hush, kepo deh mau tahu aja." Balas Andi dengan candaan. "Udah nggak usah sedih gitu, kalau diputusin sama pacarnya. Bapak sama aku saja, aku single loh pak." Ucap selvi. Beberapa SPG yang lain hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan temannya itu. "Hahaha..ah, sudah bercanda terus, lanjutkan kerjaannya! Saya juga masih ada pekerjaan yang belum selesai." Ucap Andi dengan ramah. Andi memang cukup dikenal dikalangan para pekerja, terutama pekerja wanita. Hal itu tentunya adalah hal yang wajar. Mengingat Andi merupakan sosok atasan yang baik hati juga ramah terhadap semua pekerja. Selain itu, Andi juga memiliki wajah yang cukup tampan. Dengan kulit putih dan tubuh tinggi yang proporsional. Banyak teman wanita dan pekerja wanita yang memiliki ketertarikan dengannya. Hanya saja saat ini Andi sudah menetapkan hatinya pada Tari, gadis manis yang selama 3 tahun ini selalu ada di sampingnya. Saat ini Andi sedang merasa sangat gundah. Jarak antara dirinya dengan Tari, membuatnya tak bisa ada disamping wanitanya itu. Padahal dalam keadaan seperti sekarang ini, dengan semua hal yang sedang Tari hadapi dia sangat ini ada disamping wanita yang sangat ia cintai itu. *** "Neng, tolong nanti sampaikan ke ayah. Hari ini teteh pindah kerumah nenek" kukirim pesan pada Rani. [Teteh jadi pindah kerumah nenek? kenapa tidak pulang saja? Biar nanti neng yang jagain teteh?] "Terima kasih neng! Adik teteh yang paling cantik. Biar sementara teteh dirumah nenek dulu yah, biar bisa saling jaga dengan nenek. Ibu kan tidak akan selalu ada dirumah" [Jaga diri ya teh, cepat sehat lagi. Neng tunggu teteh pulang] "Iya neng, aamiin" "Oya, teteh mau minta tolong sama". lanjutku. "Tolong, sampaikan ke ayah! kalau ayah sempat, Tolong bawa pulang beberapa barang teteh yang masih teteh tinggal dikamar kost] [Iya, nanti neng sampaikan] "Bilang ke ayah, kalau bisa sebelum akhir bulan ini ya neng" [Iya, siap bos] Aku sudahin percakapan ku dengan Rani. Nampaknya ibu juga sudah selesai memasukan barang-barang yang akan dibawa kedalam mobil. Sudah beberapa kali terdengar ibu memanggilku. "Teeeehhh" teriak ibu dari luar, memanggil aku yang masih ada didalam kamar. "iya" sahutku seraya menghampirinya. "Sudah nggak ada lagi yang tertinggalkan?" Tanya ibu. "Iya, sepertinya sudah semua bu." Jawabku. "Ya sudah, ayo kira jalan. Biar sebelum Maghrib kita sudah sampai." Ucap ibu. "Tapi tunggu sebentar ya bu, aku pamit dulu sama Asti." " Ya, ibu tunggu." Jawab ibu. Aku menyempatkan diri untuk menemui Asti terlebih dahulu sebelum pergi. Saat masuk kedalam kamar bernuasa merah muda itu, aku tak menemukan sosok gadis bertubuh jangkung itu, rupanya dia keluar dari balik pintu berwarna biru, ternyata Asti baru saja menyelesaikan mandinya. Handuk masih menutupi rambutnya yang basah. "Aku pamit ya!" Ucapku lirih, mengembangkan kedua tangan isyarat meminta untuk dipeluk. "Duh, aku kok jadi sedih yah! Kapan kita bisa sama-sama lagi? Pokoknya cepet sehat lagi ya." Ucap Asti, sambil sesekali menyeka satu dua teteh air matanya yg jatuh. Kami pun saling berpelukan, Asti terlihat sangat sedih, sama seperti apa yang aku rasakan. Selama tinggal disini kedekatan diantara kita terjalin cukup erat. Ada bulir-bulir air mata yang tertahan dimata kami, menggambarkan bentuk emosi yang kita rasakan saat ini. *** Selama perjalanan pulang kerumah nenek, aku duduk dikursi belakang sedangkan Ibu duduk dikursi depan, samping om Hendra yang sedang mengemudikan mobil. Mereka terlihat sangat akrab. Perbincangan yang mereka lakukan, juga gelak tawa diantara keduanya mengisyaratakan kedekatan diantara keduanya. Sedari awal pertemuan aku dan om Hendra, kami tidak banyak melakukan interaksi. Om Hendra sendiri terkesan tidak memiliki niatan untuk dekat dengan aku. Dari kursi belakang aku dapat mendengar percakapan diantara keduanya. "Setelah sampai nanti, aku tidak mampir lagi yah!" Ucap om Hendra pada ibu. "Kamu mau langsung pulang?" Tanya ibu. "Tidak, aku masih ada sedikit urusan setelah ini. Rencana kita besok, jangan lupa yah! Aku jemput sekitar jam sembilan pagi ya." Sahut laki-laki berumur empat puluh tahunan itu "Okeh." ibu sambil mengacungkan ibu jarinya. Dari perbincangan diantara keduanya, semua orang dengan mudah pun bisa tahu bahwa besok mereka memiliki rencana untuk pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN