Bersama ayah

1204 Kata
Pagi itu, ditempat yang berbeda — nampak seorang laki-laki pemilik senyum yang hangat, tengah menikmati secangkir kopi panas dengan ditemani goreng pisang favoritnya. Dari yang terlihat dia sedang bersantai, karena hari ini adalah hari rehatnya dari segala tugas perusahaan yang selalu menumpuk. Pagi itu tiba-tiba saja dia merasa sangat kesepian. Perasaan itu membuatnya teringat akan keluarga dan wanita terkasih yang berada jauh darinya saat ini. Laki-laki berperawakan jangkung itu, belakang merasa sangat bersalah pada perempuan yang sangat ia cintai, pasalnya selain dipisahkan oleh jarak, situasi dan tuntutan perkerjaannya saat ini, membuatnya menjadi jarang dan sulit memiliki waktu walau sekedar untuk bertukar kabar sekalipun. Namun, beberapa hari yang lalu ia mendapatkan kabar yang cukup menggembirakan, teman yang bekerja di tempatnya yang dahulu, memberikan informasi bahwa disana terdapat posisi kosong karena ada salah satu pegawai yang mengundurkan diri. Saat itu dia merasa ada sedikit harapan untuk bisa kembali pulang ke kota tempat kelahirannya. Dia, tanpa menunda langsung mengajukan permohonan, untuk dapat ditugaskan kembali ke cabang semula ia bekerja. " Tari, tunggu ya! Tidak lama dari sekarang aku akan pulang. Kamu pasti akan sangat terkejut ketika melihatku nanti." Lirih Andi dalam hati, tanpa ia sadari senyum-senyum kecil mengembang dari bibirnya. *** Sedangkan ditempat lain. Pagi-pagi sekali, Tari telah dibuat pusing oleh pertanyaan-pertanyaan yang ibunya berikan. Sebenarnya dari semalam mula, dikepala wanita empat puluh tahunan itu, sudah banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada anak sulungnya. Namun, semalam, Tari sama sekali tidak memberi sedikit pun kesempatan pada ibunya itu, untuk mengajukan barang satu pertanyaan saja. Malam itu setelah kembali kerumah, diantar oleh pak Doni. Tari tidak mengindahkan keberadaan ibu yang penuh dengan rasa penasaran, beralasan sudah sangat malam, capek dan pusing dia mengunci kamarnya dan langsung tidur. "Bagaimana teh? Setelah pergi semalam, bagaimana pendapat teteh hari ini?" Tanya ibu dengan begitu penasaran. "Bagaimana apanya bu? Aku nggak ngerti sama pertanyaan ibu?" Jawabku. "Iya gimana? setelah pergi dan ngobrol sama pak Doni, gimana sekarang pendapat teteh? Dia baikkan? Nggak salahkan kalau ibu berharap teteh dan dia bisa berjodoh?" Tanya ibu lagi. "Ih, ah.! Nggak gimana-gimana kok bu, iya memang pak Doni baik, dia sangat menyenangkan dan baik. Tapi bukan berarti, aku setuju untuk ibu jodohkan dengan dia." Jawabku menegaskan kembali. "Aduh, teh! Ibu Nggak ngerti deh sama teteh. sekarang ibu tanya lagi, apa coba yang teteh pikirkan? Pak Doni kurang apa coba?" tanya ibu dengan sedikit menaikan nada bicaranya. "Ya aku justru yang nggak ngerti dan bingung, bagaimana lagi caraku bilang sama ibu? agar ibu mengerti kalau aku nggak mau." aku balik bertanya. "Sekarang coba kamu bandingin Pak Doni sama pacarmu si Andi? Jauhlah teh!" Ucap ibu. "Terserah ibu mau bilang jauh atau apapun itu, tapi aku sukanya Andi. Rencana aku berumah tangga nantinya pun dengan dia." Ucapku. "Kamu pikir-pikir lagi deh yang bener, Andi tuh belum tentu teh, tiga atau lima tahun lagi ngajak teteh nikah, secara dia itu masih harus memikirkan keluarganya, sekolah adik-adiknya. Kalau dia nikah dalam waktu dekat gimana keluarganya? Pasti dia bellum ada pikiran untuk menikah." Ucap ibu memberikan pandangannya. "Terus teteh mau nunggu selama itu?" Tanya ibu lagi. "Sedangkan pak Doni, apa coba yang kurang dari dia? Pekerjaan bagus, uang punya, mobil ada, rumah yang dia tinggali saat ini juga besar. Pak Doni adalah laki-laki yang sudah sangat siap untuk menikah, dia memang sedang mencari calon istri dan tidak mau berpacaran lama-lama. Terus terang saja, dia bicara kepada ibu kalau dia tertarik dengan teteh dan berharap teteh mau menerima ajakan dia untuk menikah. Masa depan teteh bakal bahagia teh sama dia." Ucap ibu melanjutkan. Masih mencoba untuk membujukku. Saat itu aku hanya diam, tak membalas satu katapun semua perkataan ibu. Kalau dipikir lagi memang benar semua ucapan ibu. mungkinkah Andi akan mengajakku menikah? Memang saat ini aku dan dia masih tergolong muda, tapi bisakah aku menunggu selama itu? Dan jikalau kita menikah, akankah Andi masih harus menanggung tanggung jawab akan kelurganya? Bagaimana dengan rumah tangga kami nantinya? Ah, Tapi tetap saja, tidak benar rasanya jika aku harus meninggalkan Andi dan menikah dengan pak Doni, tidak dapat aku bayangkan bagaimana terlukanya dia nanti. Tapi disaat seperti ini, disaat aku paling membutuhkan dia, kenapa dia sangat sulit sekali untuk dihubungi? Apakah memberi kabar satu atau dua pesan saja sehari benar-benar sulit untuknya? Kan bisa dia mengabariku saat mau pergi tidur, walaupun itu akan malam sekali. Atau saat akan makan, walaupun hanya satu pesan dan tak terbalas lagi. Ibu benar-benar telah meracuni pikiranku pagi itu, membuat hati dan pikiranku mulai goyah. Ketika aku sedang merasa jauh dengan Andi, jauh dalam artian perasaan. Disaat yang bersamaan pula pak Doni dengan kesan laki-laki yang nyaris sempurna datang dalam kehidupanku. Dalam hati bertanya-tanya, jika saja komunikasi antara aku dan Andi berjalan lancar, walaupun jarak yang memisahkan kita. Mungkin aku akan tetap yakin padanya, dan tak akan tergoyahkan oleh sosok seperti Pak Doni sekalipun. Ah, tapi disisi lain akupun menyalahkan diriku sendiri, yang memiliki pemikiran semacam itu. Walaupun jauh dan apapun halangannya, sebaiknya aku tetap setia bukan? Aku benar-benar pusing dibuatnya. Bagaimana aku menghadapi ibu, yang cenderung memaksaku. Ditambah lagi bagaimana aku bisa mengendalikan perasaan dan pikiranku yang mulai goyah ini. Aku tidak mau akhirnya mengambil keputusan yang salah. Tapi ibu sama sekali tidak membiarkanku lepas dari permasalahan ini, ibu terus saja mendesakku. Haruskah aku menemui ayah? menanyakan pendapatnya, bagaimana sebaiknya aku mengambil sikap. Ya, sebaiknya seperti itu! Nanti sore aku akan menemui ayah. *** "Teteh harus bagaimana yah, menurut ayah? Ibu benar-benar memaksa. Teteh tidak bisa mengelak atau membantah terlalu keras. Tapi teteh juga bingung karena semua yang ibu katakan memang ada benarnya." Jelasku pada ayah sore itu. "Andi laki-laki yang baik, ayahpun percaya dia akan menjadi imam yang baik untuk keluarga, hanya saja memang kondisinya yang kurang beruntung untuknya saat ini" ucap ayah "Kalau, dengan laki-laki yang disebut Pak Doni itu ayah kurang tahu, ayah baru mendengar dari teteh saja. Belum pernah bicara secara langsung. Jadi ayah tidak bisa memberikan pendapat apapun. Ayah hanya menyarankan, jangan sampai ada yang tersakiti! bicara baik-baik kepada keduanya apapun keputusan teteh." Ucap ayah melanjutkan. "Ya, ayah." Jawabku masih dalam keraguan. "Ayah harap teteh bisa bersabar akan ibu yah! Ibu pasti tidak bermaksud untuk menjerumuskan teteh kedalam masalah, dia mungkin hanya ini teteh mendapatkan yang terbaik." Ucap ayah. "Iya, walau tidak dipungkiri teteh kadang merasa kesal pada ibu, tapi teteh tidak bisa membenci atau marah pada ibu." Jawabku. "Oh iya, Neng, Minggu depan sudah ujian akhir. Akhir ajaran ini sudah lulus SMA. Dia bilang sama ayah, setelah lulus mau kerja dulu. Rencana kedepannya dia berharap bisa bekerja sambil kuliah kalau ada rejekinya." Ucap ayah mengalihkan pembahasan yang lain. "Mudah-mudahan dia mendapatkan apa yang diinginkannya, teteh yakin Neng pasti bisa. Dia anak yang gigih dan rajin." Jawabku. "Teteh, gimana? Pengobatannya dua bulan lagi selesaikan? Kondisi saat ini gimana?" Tanya ayah. "Alhamdulillah yah, mudah-mudahan benar-benar nggak perlu pengobatan lanjutan. Alhamdulillah juga saat ini sudah tidak banyak yang teteh rasa, semua cenderung sudah kembali sehat. Mudah-mudahan hasil akhirnya nanti, teteh sudah bersih, bakterinya dinyatakan tak ada lagi." Jawabku. Berbicara pada ayah, memanglah solusi terbaik untukku. Walaupun belum bisa menghilangkan seluruh pikiran yang mengganjal, karena memang itu semua hanya aku yang dapat memutuskan. Tapi setidaknya membuat hati ini menjadi lebih tenang. Sehingga aku dapat berpikir lebih jernih, dan semoga saja nanti aku dapat membuat keputusan yang terbaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN