[Teh, lagi dimama?kok ibu cari-cari nggak ada dirumah?]
[Aku ngajar les bu, hari ini. Tadi aku mau pamit, tapi ibu nggak ada]
[Kok ngajar? Bukannya jadwalnya besok?]
[Bu euis minta dimajukan hari ini. Besok, dia sekeluarga pergi]
[Oh, ya sudah! Setelah selesai,langsung pulang ya! jangan lama-lama!]
[Seperti biasa, sebelum maghrib aku sudah pulang]
[Ya, ibu tunggu!]
[Emang ada apa sih bu? Tumbenan.]
[Nggak ada apa-apa kok. Ok, lanjutkanlah!]
"ibu kenapa yah? tumbenan banget chat nyariin aku." Lirihku dalam hati.
"Untuk hari ini cukup yah! materinya diulang-ulang lagi pas belajar sendiri!" ucapku menutup pembelajaran hari ini. "Makasih semuanya, kak Tari pamit ya. Sampai ketemu minggu depan. Assalammualaikum!" Pamitku.
Aku menyudahi pertemuan hari ini sedikit lebih cepat dari biasanya. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi dirumah. Tumbenan sekali ibu mintaku pulang cepat. Aku sedikit mempercepat langkah kakiku, berharap bisa dengan segera sampai rumah.
Tapi sesampainya didepan rumah, perasaanku tiba-tiba saja merasa tidak enak. Saat itu aku melihat mobil SUV berwarna hitam yang terparkir dihalaman rumah. Dari plat nomernya saja aku sudah dapat menebak, siapa tamu yang saat ini sedang berada didalam. Ingin rasanya berbalik arah, melangkahkan kaki menjauhi rumah ini. Tapi aku bingung harus pergi kemana saat itu. Selain karena sebentar lagi akan masuk waktu maghrib, juga karena aku tidak membawa dompet atau uang sama sekali. Aku meninggalkan dompet dikamarku, karena aku pikir, aku hanya pergi mengajar sebentar dan tempatnya juga masih ada dilingkungan yang sama.
Dengan berat hati kulangkahkan kaki menuju rumah. Benar saja dugaanku, sudah ada Pak Doni yang sedang duduk manis dikursi panjang ruang tamu, pastinya bersama dengan Rizki, anak buah yang selalu setia menemaninya kemana pun. Ibu yang melihat kedatanganku, untuk kali ini tidak membiarkanku dengan mudah masuk kedalam. Dengan cepat dia memegangi tanganku dan memintaku untuk duduk disampingnya.
"Eh, udah pulang teh? Sini teh sini duduk dulu disini sebentar!" Ajak ibu, sambil menarik tangaku.
Aku yang saat itu merasa terpojok, hanya bisa mengikuti ajakan ibu.
"Teh, Pak Doni mau minta tolong. Bisa dong teteh nolongin?" Tanya ibu, dengan nada memaksa.
"Minta tolong apa?" Tanyaku penuh curiga.
"Saya mau cari-cari hadiah buat teman yang mau menikah, tapi saya kurang pintar memilih-milih barang. Saya harap dek Tari bisa bantu saya. Saya akan sangat senang dan berterima kasih." Pak Doni menjelaskan maksudnya.
"Kenapa harus saya? Lagi pula kenapa Pak Doni harus cari sendiri? kan bisa kasih perintah sama anak buah!" Ucapku sambil melirik Rizki yang duduk disampinnya. Aku tidak menyangka berani berkata seperti itu.
"Ish, teh! Ini tuh yang nikah sahabatnya. Pak Doni pinginnya dia sendiri yang mencarikan hadiah untuk sahabatnya." ibu berusaha membujukku dengan berbagai alasan.
"Ya, ibu benar sekali." Jawab pak Doni mengiyakan perkataan ibu.
"Hemm, bagaimana ya? Se..." Belum sempat aku menyelesaikan perkataan , tiba-tiba saja ibu menyela.
"Udah, bisa ah teh! Masa cuma anter aja nggak bisa? Kan Rizki juga ikut. Udah sana, siap-siap dulu!" ibu memaksa dengan mendorongku masuk kedalam."Lagi pula ini mau masuk waktu maghrib, siap-siap buat solat! setelah beres langsung jalan." Ucap ibu seraya memerintah.
"Iya, bu! Saya juga permisi ke masjid dulu. Nanti setelah selesai, saya kesini lagi jemput dek Tari!" Ucap pak Doni.
Aku yang saat itu terpojok dengan keadaan dan perkataan ibu, hanya bisa pasrah.
Untuk kali ini, biar saja aku turuti keinginan ibu. Lagi pula hanya mengantar, akan kulakukan semua dalam waktu yang singkat. Jika telah selesai urusannya, aku akan minta segera diantar pulang. Jika nanti orang itu banyak beralasan, biar saja aku bisa pulang sendiri.
Setelah solat maghrib dan sedikit berdandan, kita bertiga langsung berangkat. Aku yang awalnya berencana untuk duduk dibangku penumpang, dipaksa oleh ibu untuk duduk dibangku depan samping supir. Saat itu Pak Doni yang mengemudi, dan Rizki yang akhirnya duduk dibangku penumpang. Aku merasa sepertinya kali ini, ibu benar-benar menunjukan aksinya. Dia melakukan apapun agar aku bisa dekat dengan Pak Doni.
"Makasih ya dek Tari, udah mau mengantar." Ucap pak Doni, mengawali percakapan kami didalam perjalanan.
"Iya, nggak masalah." Jawabku.
"Kita santai saja ya dek! Saya ingin dek Tari nyaman, tidak merasa terpaksa ataupun canggung saat sedang bersama saya." Ucap pak Doni, dengan tetap fokus memperhatikan jalan.
"Ya, saya berusaha." Jawabku sekenanya.
"Berusaha? Jadi saat ini dek Tari sedang merasa terpaksa atau tertekan dengan keadaan ini dong?" Tanya pak Doni seraya melemparkan tatapan kearahku dengan senyumnya.
"Hemm, bukan seperti itu maksudnya! Bagaimana ya?" Ucapku, menjadi merasa terjebak oleh perkataan aku sendiri.
"Hahahaha..ya sudah! Lupakan! Kita bahas yang lain!" Tawa pak Doni, melihat aku yang menjadi salah tingkah.
Lambat laun, ketegangan dan rasa canggung yang terjadi antara aku dan Pak Doni pun mencair. Banyak perbincangan yang terjadi diantara kita. Entah mengapa dari obrolan-obrolan yang terjadi, membuat pandangaku tentang duda beranak satu itu sedikit berubah. Laki-laki itu ternyata orang yang pandai merubah suasana menjadi lebih cair, hal apapun dapat ia jadikan bahan obrolan. Walaupun benar sesuai dengan pikiranku sejak awal, untuk ukuran laki-laki dia terlalu banyak bicara. Tapi sejauh ini apa yang dijadikan topik pembicaraan masih menyenangkan untuk dibahas.
Jujur saja, perjalanan dengan pak Doni kali ini merubah pandanganku tentang duda beranak satu itu. Dia orang yang cukup baik, semua yang ada padanya tidak dapat membuatku membencinya. Aku memang sangat tidak menyukai niat ibu, yang ingin menjodohkan aku dengan pria berumur tiga puluh tahunan ini--tapi itu tidak lantas, bisa membuatku membenci laki-laki ini. Ditambah lagi setelah aku banyak berbincang dan mengetahi orang seperti apa dia. Aku menjadi tambah tidak bisa membencinya. Tapi untuk perjodohan itu, aku tetap tidak bisa menerimanya. Aku tidak mememiliki perasaan pada pak Doni, perasaan ini hanya sebatas menghormatinya. Yang aku cintai tetap Andi sampai saat ini.
Ternyata malam itu berjalan tidak sesuai dengan rencanaku diawal. Pak Doni memperlakukanku dengan baik, tidak hanya mencari hadiah, kami juga makan malam, dan melakukan beberapa hal lainnya. Satu jam diawal, Rizki masih menemani kami. Tapi ditengah-tengah, dia pamit. Karena pak Doni mempersilahkannya untuk pulang lebih awal. Sebelum waktu terlalu malam kami akhirnya memutuskan untuk pulang juga.
"Sekali lagi Makasih ya dek, udah mau bantuin nyari kado." Ucap pak Doni sambil menatapku.
" Iya, sama -sama pak. Saya juga terima kasih atas makan malam dan bingkisannya." Ucapku sembari mengankat tas belanjaan yang aku pegang.
"Semoga kamu suka hadiah kecil itu, bagaimana kalau lain kali kita nonton? itu juga kalau dek Tari nggak keberatan dan ada waktu." Ucap pak Doni.
"Ya, nanti akan aku pertimbangkan." Jawabku dengan canda.
"Hahaha..baiklah! Kalau ada keputusan yang membahagiakan untuk saya, saya tunggu kabarnya" ucap pak Doni.
Setelah beberapa menit perjalanan, kita sampai dirumah. Pak Doni mengantar sampai masuk kedalam. Dia terlebih menemui ibu, berterima kasih padanya, karena telah mengijinkan aku pergi dengannya, lalu ia pun pamit pulang.