"Yah, ini Pak Doni! Sebelumnya aku sudah pernah cerita pada ayah." Aku memperkenalkan Pak Doni pada ayah.
"Oh, iya! Kenalkan saya ayahnya Tari." Ucap Ayah seraya mengulurkan tangannya.
Pak Doni pun menyambut uluran tangan itu.
Keduanya terlihat cepat terhubung dan banyak berbincang. Pak Doni memang pandai bicara, dia selalu dapat menemukan topik pembicaraan yang dapat dibahas dengan siapapun. Termasuk kali ini dengan ayah.
Walaupun kadang kudengar, dari satu atau dua perkataannya ada yang terkesan meninggi. Namun, aku rasa itu hal yang wajar, karena mungkin semua yang dia katakan memang sesuai dengan kenyataannya. Kenapa aku selalu berkata mungkin, jika menyangkut semua hal tentang Pak Doni? Karena memang aku sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti.
"Minggu depan, rencananya saya dan keluarga akan datang kerumah untuk melamar Tari, pak." Ucap Pak Doni pada ayah.
"Alhamdulillah kalau memang semua sudah setuju, dan menerima. Yang penting tidak ada keterpaksaan. Niat baik akan selalu ayah dukung." Ucap ayah, yang kemudian mengalihkan tatapannya padaku.
Aku diam tak ikut bicara, aku sedang berusaha ikhlas menerima semua ini. Mengikuti alurnya membawaku.
"Ayah datangkan Minggu depan?" Tanyaku pada ayah.
"Pasti ayah akan datang, tapi sebelumnya teteh tanyakan dulu pada ibu yah!" Imbuhnya."ayah pikir akan datangnya kerumah ini teh? " tanya ayah.
aku menaikan kedua pundakku,
"Kalau gitu, saya dan Tari mau izin untuk pergi pak. Masih ada urusan yang harus kami lakukan." Pak Doni bangun dari duduknya.
"Senang hari ini bisa mengenal ayah." Ucapnya basa-basi.
"Saya juga, semoga semua yang direncanakan berjalan dengan lancar." Ucap ayah. "Dan, hati-hati dijalan." Serunya.
Pak Doni mengendari mobinya tanpa aku tahu kemana arah mobil itu melaju.
"Emang kita ada urusan apa lagi yah Pak?" Tanyaku pada laki-laki berperwakan tinggi itu.
"Ya urusan kita, apalagi? Kalau bukan pergi jalan-jalan agar kita saling kenal satu sama lain. Biar makin akrab." Jawab Pak Doni sekenanya saat itu.
Orang ini, aku pikir ada urusan penting apa? kenapa dia harus pamit dengan kata-kata seperti itu pada ayah.
Kepergianku dengan Pak Doni kali ini, mungkin bisa dibilang kencan kami yang pertama. Sebelumnya kami juga pernah pergi bersama saat menemaninya membeli kado, tapi saat itu ada anak buahnya yang ikut bersama. Dan saat itu aku juga tidak menganggapnya sebuah kencan. Saat itu malas sekali rasanya meladeni laki-laki ini. Untuk kali ini, walaupun masih enggan mengakui, tapi aku sudah mulai merasa seperti pasangan dengannya.
Berpergian dengan Pak Doni memang banyak memberikan pengalaman baru untuk aku. Banyak tempat-tempat dan kegiatan baru yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi atau aku lakukan. Dari yang kulihat pak Doni sangat senang menunjukkan hal-hal yang aku anggap baru itu, padahal baginya adalah hal yang biasa.
"Pak, terima kasih sudah mengajak saya pergi hari ini." Ucapku pada laki-laki yang akan menikahiku ini.
"Sama-sama, saya senang sekali bisa pergi berdua dengan dek Tari." Sahutnya.
"Tapi boleh nggak saya minta sesuatu?"
"apa?" singkatku.
saya ingin dek Tari jangan memanggil saya dengan sebutan 'Pak', yang lebih santai gimana seperti 'mas'? Pintanya.
"Iya maaf! Kedepannya saya akan berusaha membiasakan. Tapi maaf jika sesekali masih suka lupa." Jawabku, masih merasa canggung.
"Iya, terimma kasih. Saya sangat senang. Sekarang ini, kamu lebih terbuka kepada saya." Ucap Pak Doni dengan senyum.
"Iya, maafkan saya sekali lagi. Kalau yang sudah-sudah, saya pernah bersikap kurang sopan." Ucapku seraya menundukan kepala.
"Kamu tidak pernah tidak sopan. Kamu selalu baik dimata saya." Ucap Pak Doni, membuat hati ini sedikit bergetar.
" Ya sudah, takut semakin malam. Ayo kita pulang!" Pak Doni menghidupkan mobilnya.
Malam itu kami berdua pulang dalam keadaan lebih akrab dari sebelumnya.
***
Memang tidak banyak sanak saudara, yang kami kabari tentang acara hari ini. lamaran hari ini, hanya dihadiri oleh keluarga inti saja. Ada ayah yang datang bersama Rani, juga mang bagja dan istrinya Bi Eha, yang sengaja ibu panggil dari kampung untuk membantunya. Bicara sebagai perwakilan keluarga. Karena ayah pribadi selaku waliku, kurang pandai jika harus bicara dihadapan banyak orang. dan tentunya ada ibu dan juga nenek.
Sedari pagi, rumah nenek sudah ditata dengan rapih. Beberapa hidangan juga sudah berjajar di meja ruang tamu. Pak Doni memberi kabar, jika dia dan keluarga akan datang sekitar pukul tiga sore.
"Teh, coba itu dandanan dirapihin lagi! Make up-nya terlalu pucet. Coba itu lipstik nya ganti sama yang warnanya lebih cerah." Ibu sibuk memprotes dandananku.
"Iya" lirihku, tetap menurut.
Kuhadapkan wajah yang sudah tersapu oleh make up dihadapan cermin, kuperhatikan dengan seksama apa yang dirasa kurang. Tapi sepertinya semua sudah pas sesuai porsinya. "Ah, untuk kali ini biarkanlah sesuai keinginanku. Semua sudah aku turuti, setidaknya untuk urusan berdandan biarkan aku melakukan yang aku suka.
"Teh, sudah selesai belum?" Terdengar suara Rani memanggil dari luar kamar. "Tamunya sudah datang, kata ibu ayo keluar." serunya.
"Iya, ini sudah selesai." Jawabku.
Kembali kuperhatikan pantulan wajah dicermin itu sekali lagi, pemilik wajah itu sendiri tidak mengetahui pasti bagaimana perasaannya saat ini. Dihari yang harusnya membahagiakan, dia tidak yakin dengan apa yang dia rasa. bahagiakah, sedihkan atau bahkan hampa.
Saat memasuki ruang tamu, terlihat ada tiga orang lainnya yang datang bersama Pak Doni. Salah satunya sudah aku kenali. Perempuan yang memasuki usia senja dengan mengenakan setelan senada berwarna peace itu, pernah datang kerumah ini menemuiku dan secara tidak resmi meminta aku untuk menikahi putranya.
Melihat kemunculanku, wanita itu mengembangkan senyumannya. Bermaksud menghormati yang lebih tua, aku datang menghampirinya dan mencium punggung tangannya.
"Bagaimana kabar mu nak?sehat?" ucapnya menanyakan keadaanku.
"Alhamdulillah, ibu sendiri bagaimana?semoga selalu sehat ya." Sahutku membalas.
Dan kulemparkan senyum kepada dua orang laki-laki paru baya lainnya, yang duduk disebelah ibu Sarah, ibunya Pak Doni.
Semua yang dirasa berkepentingan telah hadir, pertemuan antar dua keluarga pun dimulai. Diawalin dengan Mang Bagja yang membuka forum. Pak Doni memperkenalkan ibu dan dua kakak laki-laki yang datang bersamanya. Selebihnya kakak laki-laki tertuanya lah yang banyak bicara mewakili keluarga.
Diliat dari sudut manapun, terlihat dengan sangat jelas – perbedaan yang ada antara keluargaku dan keluarga Pak Doni. Dari penampilan saja sudah dapat ditebak jika aku dan keluarga, merupakan kalangan kurang berada. Tapi jika melihat penampilan dari keluarga Pak Doni, orang lain pasti dapat dengan mudah menebak bahwa mereka dari kalangan berada, dengan aura yang terpancar. Dan tahukah? betapa bangganya ibu akan hal itu. Ia membicarakan hal itu, keseluruh tetangga dan orang-orang yang ia kenal. Bahwa aku, anak sulungnya akan dinikahi oleh laki-laki dari keluarga berada.