Siger telah tersemat menghias kepala bersamaan dengan riasan yang telah memoles wajah bahkan kebaya dengan manik cantiknya telah melekat dibadan. Hari ini aku akan memasukin fase baru dalam hidup, merubah status menjadi seorang istri.
Dari pukul lima subuh tadi, aku telah siap di depan meja rias. Para MUA yang merias secara profesional mulai bekerja sesuai dengan perjanjian diawal.
Aku sangat bersyukur semua anggota keluarga Mas Doni yang berada di sini dari semalam, memperlakukan aku dengan baik membuat aku merasa nyaman, walau seorang diri tanpa ada keluarga yang menemani.
"Mbak nya sangat cantik, benar-benar pangling, aku yang rias jadi bangga sendiri liatnya." Seru mbak Retno, wanita yang sudah banyak memiliki pengalaman didunia yang ia geluti itu.
"Mbak Retno-nya hebat, aku nggak nyangka yang dicermin itu aku." Ucapku balik memujinya.
"Emang mbak Tari dasarnya udah cantik, jadi hasil makeup-nya lebih dari ekspektasi." Mbak Retno kembali memuji.
Tiga jam lamanya di depan cermin cukup melelahkan juga ternyata. Sekarang waktu telah menunjukan pukul delapan pagi, satu jam dari sekarang akad akan segera diselenggarakan. Setelahnya akan diadakan acara yang hanya diperuntukan keluarga inti saja, sedangkan resepsinya sendiri baru akan diselenggarakan pukul satu siang nanti.
Aku telah siap dengan segala hal yang melekat dibadan, mulai dari atas kepala hingga kaki. Menunggu petunjuk selanjutnya dari pihak WO. Aku sendirian menunggu di kamar, berharap tidak lama lagi ada anggota keluarga yang datang menemani. Jujur saja walaupun keluarga mas Doni membuat aku nyaman, tapi rasa canggung itu ada. Ditambah jantung ini terus saja berdegup kencang.
***
Aku berjalan keluar kamar dengan ditemani Rani disampingku. Di aula yang luas itu, sudah terdapat Mas Doni yang duduk disebuah kursi berwarna putih, ayah duduk tepat didepannya terhalang sebuah meja diantara mereka, ada enam kursi yang mengelilingi meja hanya tinggal satu yang kosong, disanalah nanti aku akan duduk, tiga lainnya diisi oleh penghulu dan saksi pernikahan kami. Aula besar yang semalam aku lihat belum rapih, pagi ini terlihat sangat indah, banyak hiasan bunga-bunga hidup diseluruh ruangan. Warna putih dan hijau mendominasi seluruh dekorasi.
Acara dimulai tepat pukul sembilan pagi. Seluruh serangkai acara pagi itu dipandu oleh MC yang terlihat sudah sangat berpengalaman menangani acara pernikahan. Sesekali aku melirikan pandanganku ke arah laki-laki yang sebentar lagi akan mengucapkan akad nikah atas diriku, mengambil alih tanggung jawab diriku dari ayah pada dirinya. Mas Doni memang laki-laki yang gagah, dengan setelan jas berwarna putih senada dengan baju kebaya yang aku kenakan, dia makin terlihat menawan. Entah mengapa setiap melihatnya jantungku berdegup sangat kencang.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Tari andhita binti Hardi dermawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Terucap dari bibir Mas Doni, kata-kata yang menjadi perikatan antara aku dan dirinya, kata-kata yang telah mengubah statusku menjadi seorang istri, kata-kata yang secara otomatis membuat baktiku lebih utama berpindah dari orangtua menjadi kepada dirinya.
"Sah..sah.." terdengar seruan dari para saksi yang duduk di samping kanan dan kiri kami.
Untuk pertama kalinya kucium punggung tangan laki-laki yang saat ini sudah sah menjadi suamiku, sebagai tanda permulaan baktiku padanya. Membalas salam dariku, Mas Doni pun menjatuhkan kecupan lembutnya diatas keningku. Entahlah mengapa bisa seperti ini tapi benih-benih cinta itu mulai terasa, ternyata laki-laki yang sekarang bersanding denganku ini bukanlah laki-laki yang selama bertahun-tahun ada dalam angan-anganku, dia adalah laki-laki yang tidak butuh waktu lama untuk merasa yakin jika aku adalah wanita yang dia cari untuk menemani perjalanan hidunya. Semoga benar dialah jodoh terbaik untukku yang dikirim tuhan, walau dengan cara yang tidak biasa.
***
Hari ini waktu berjalan terasa lama dan cukup melelahkan. Setelah serangkaian acara ijab Kabul, dilanjut dengan jamuan keluarga. Resepsi untuk kerabat dan teman dekat akan dilaksanakan pukul satu siang nanti, ada waktu dua jam yang tersedia untuk kita istirahat.
Secara keseluruhan semua berjalan dengan baik. Suasana pernikahan yang begitu indah, keluarga kedua belah pihak yang terlihat sangat berbahagia, juga Mas Doni yang memperlakukan aku dengan sangat spesial. Itu semua yang membuat benih-benih cinta itu sedikit demi sedikit tumbuh.
"Terima kasih ya dek, kamu sudah menerima aku sebagai suami kamu." Mas Doni menggenggam tanganku dan menatapku tajam. Saat ini laki-laki itu telah resmi menjadi suamiku.
"Sama-sama mas, bimbinglah aku, maafkanlah bila nanti aku tidak sempurna melayanimu sebagai istri, tapi aku akan selalu belajar menjadi lebih baik." Kami berusaha untuk saling meresapi perasaan kami satu sama lain.
Ruang kamar yang dipenuhi dengan berbagai hiasan bunga menambah suasana romantis yang tercipta antara kita berdua. Mulai detik ini aku berjanji akan berusaha untuk mencintai laki-laki ini sepenuh hatiku, dan meninggalkan masa lalu dibelakang tanpa menoleh kembali kebelakang.
"Hari ini masih akan berjalan panjang dan melelahkan. Resepsi nanti akan banyak tamu yang datang. Sekarang beristirahatlah." Ucap mas Doni penuh perhatian.
"Iya mas, aku juga sangat lapar." Sambil memegang perut dan tersenyum malu."Tadi aku sangat gugup sehingga tidak ingat untuk sarapan." Ucapku.
"Kamu tetap dikamar saja yah! Nanti aku minta tolong orang untuk membawakan makanan ke kamar." Mas Doni segera berdiri membuka pintu dan melangkahkan kakinya keluar.
Masih ada waktu yang cukup untuk aku istirahat dan juga makan. Sebelum aku harus merapihkan riasan kembali dan berganti baju untuk resepsi.
Tok! tok! tok!
Terdengar suara ketukan pintu kamar. Saat aku tengah disibukan dengan makan siangku. Apa mas Doni? Tapi kenapa dia harus mengetuk pintu? Setelah mengantarkan makanan untukku tadi dia kembali keluar, karena ada saudara jauh yang ingin dia temui.
"Teh.." Terdengar suara ibu memanggil.
Oh, ibu rupanya.
"Iya bu, nggak aku kunci pintunya, masuk aja!" Seruku sedikit mengencangkan volume suara.
Ibu muncul dari balik pintu bersama dengan nenek dan Rani.
"Malam ini masih bermalam disini teh?" Tanya ibu dengan mata mata yang sedangmenyapu seluruh ruangan kamar.
"Tadi Mas Doni sih bilangnya gitu bu." Jawabku. " Tapi nggak dengan keluarga yang lain. Mereka akan pulang setelah acara selesai." Lanjutku.
"Paviliun-nya bagus ya, teh." Seru Rani.
Aku hanya menjawab dengan senyuman dibibir.
"Dekorasi Aula sama kebunnya juga cantik banget, teh. Duh, aku jadi kepengin jika nanti nikah konsepnya kaya gini." Rani berucap dengan raut kagum diwajahnya.
"Ayah di mana bu? Tanyaku pada ibu, tak memberi tanggapan atas perkataan Rani yang masih terkagum-kagum akan suasana.
"Terakhir ibu liat sih, tadi ada di taman" jawab ibu sedikit cuek.
"Teh, ngomong-ngomong ini tempat apa sih, teh?" Rani kembali membahas tempat ini. " Kok halamannya luas banget? Rumah paviliun-nya kaya villa, tapi aneh ada Aula besar yang sekarang dipakai untuk acara di depan." Rani dengan rasa penasarannya.
"Teteh sendiri kurang tahu, neng, nggak banyak tanya-tanya juga, nggak enak." Jawabku dengan jawaban yang tidak dapat menghilangkan rasa penasaran Rani.
"Teh, nenek pamit pulang duluan yah." Ucap nenek ditengah obrolan. "Nenek capek, rasanya nggak kuat kalau harus nunggu selesai semua acara." Lanjutnya.
"Iya nenek! Terus nenek mau pulang dengan siapa? Atau nenek istirahat saja disini dulu aja ya!"
"Nenek istirahat dirumaha saja, nenek lebih kerasan dirumah. Nanti nenek pulang bareng mang Bagja, masih ada satu mobil yang belum pulang." Jawabnya.
"Ya sudah kalau begitu." Ucapku.
"Rencananya berapa hari kalian berdua dirumah ini? Trus setelah disini kalian akan tinggal dimana?" Ibu kembali bertanya.
"Aku belum banyak bertanya pada Mas Doni, bu, karena kesempatannya juga belum ada. Mungkin nanti setelah semua acara selesai kita akan bicara berdua." Jawabku pada ibu.
Obrolan kami harus berakhir saat tim dari MUA meminta aku untuk pindah ke kamar sebelah, yang digunakan untuk tempat merias. Karena aku harus bersiap untuk resepsi yang tidak lama lagi. Ibu dan Rani juga mengantar nenek yang sudah meminta untuk pulang.
Sampai aku selesai berganti baju resepsi, tapi Mas Doni belum juga terlihat kembali ke kamar. Sedangkan dari tim perias sudah menanyakan keberadaannya karena harus mengganti baju yang akan dipakai Mas Doni saat resepsi nanti.
"Aku sudah selesai kan mba Retno?" Tanyaku pada wanita yang masih terlihat cantik meski tak muda lagi itu.
"Iya sayang, sudah selesai." Jawab mbak Retno.
"Kalau begitu, biar aku cari Mas Doni-nya dulu ya keluar." Aku pun bangun dari kursi kecil di depan cermin itu.
"Ok, say! Makasih." Seru Mbak Retno.
Setelah keluar kamar, aku cari Mas Doni keseluruh sudut paviliun, tapi tak juga nampak bayangannya. Setelah diperhatikan rumah ini terlihat cukup bersih dan sepi untuk ukuran tempat yang sedang mengadakan sebuah acara pernikahan. Hanya ada satu dua keponakan Mas Doni yang bersantai di sofa panjang sambil memainkan ponsel pintarnya bahkan sampah makanan nyaris tidak ada.
Setelah mencari keseluruh ruangan tidak juga aku temui, aku bergeser mencarinya di taman tempat resepsi nanti diselenggarakan.
Dari kejauhan dapat kulihat Mas Doni sedang ada di salah satu sudut taman berkumpul dengan beberapa orang lainnya. Aku langkahkan kaki untuk mememuinya, dari kejauhan nampaknya ia sudah menyadari kehadiranku, sehingga belum sempat aku mendekat kearahnya dia sudah terlebih dahulu berdiri untuk menghampiriku.
"Kenapa dek? Nyariin aku ya? Aku kelamaan ya? Maaf kamu jadi lama menunggu. Aku tadi keasikan ngobrol sama saudara yang datang dari Bandung." Ucap Mas Doni.
"Nggak apa-apa kok mas. tapi itu, orang rias nanyain kamu, mau diminta ganti baju soalnya sebentar lagi resepsi dimulaikan." Jawabku lembut.
"Oh iya, aku sampai lupa. Ya sudah, ayo! Eh, tapi sebelumnya aku mau kenalin dulu saudara-saudara aku , keponakan mamih yang datang dari Bandung." Mas Doni meraih tanganku dan memutar badannya mengenalkan aku kepada beberapa orang yang sedang bersamanya tadi.