Satu malam menjelang hari pernikahan.
"Nanti malam Pak Doni akan menjemput, teteh siapkan barang-barang pribadi yang nanti diperlukan." Sambil mempersiapkan keperluan untuk besok ibu memintaku bersiap.
Pagi itu ibu sudah sangat sibuk mengingatkan aku akan segala hal. Padahal sebenarnya tidak ada yang perlu disibukkan.
Nanti malam aku akan dijemput oleh Mas Doni. Malam ini aku akan menginap ditempat, dimana acara akad besok akan berlangsung. Aku hanya perlu membawa diriku sendiri dan beberapa barang pribadi yang sekiranya aku perlukan. Tidak ada yang lain, hanya se-simple itu. Aku akan menginap sendiri, sedangkan ibu beserta rombongan keluarga yang lain akan berangkat pagi harinya dari rumah langsung ke tempat akad berlangsung. Tadinya aku ragu jika harus sendiri, aku sempat meminta Rani untuk menemani dan dia pun sebenarnya telah setuju. Hanya saja aku memang kurang beruntung, Rani hari ini tiba-tiba demam, sepertinya terserang flu karena kemarin kehujanan saat kumintai tolong berbelanja keperluan yang akan aku bawa malam ini. Alhasil, mau tak mau akhitnya aku sendiri tanpa ditemani anggota keluarga.
"Bu, aku nggak bisa ya minta tolong temani siapa gitu malam ini? Rasanya akan sangat canggung jika harus sendiri." Ujarku pada ibu.
"Gimana lagi dong teh? ibu-kan nggak mungkin. Besok pagi ibu akan sangat sibuk mengurus rombongan keluarga dan tetangga yang akan ikut ke acara akad besok." Jawab ibu.
"Kenapa nggak ayah sama mang bagja aja bu yang menguruh rombongan besok?" Usulku pada ibu.
"Gini aja deh, nanti malam ibu ikut teteh. Tapi ibu temani hanya sampai kira-kira teteh merasa nyaman, setelah dirasa tidak canggung ibu pulang lagi." Ibu mencoba menawarkan solusi padaku.
"Oh, ya, terus neng gimana? Demam? besok dia ikut hadir nggak ke acaranya?" ibu balik bertanya.
"Dia sangat ingin ikut, dia harap demamnya segera reda – sehingga besok bisa ikut menyaksikan." Seruku.
Mas Doni menjemput aku sekitar pukul sembilan malam. Dengan ditemani ibu, aku berangkat menuju lokasi akad besok akan diselenggarakan. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang terlihat cukup ramai. Mungkin karena ini sabtu malam, sepanjang perjalanan mudah sekali menjumpai pasangan muda-mudi yang sedang menghabiskan waktu bersama.
Jika dirunut dari awal, perjalanan hubunganku dengan Mas Doni tidaklah sama dengan hubungan orang kebanyakan. Selain waktu yang relatif singkat dan perkenalan yang tidak biasa, kesan pertama yang aku lihat pada dirinya pun tidak begitu bagus, bahkan bisa dibilang aku tidak terlalu mengenal Mas Doni secara mendalam.
Dari awal ibu sudah meyakinkan aku, bahwa Mas Doni adalah laki-laki baik dan dari keluarga baik-baik, sehingga aku bisa menemukan proses pengenalan lebih dalam itu saat sudah berumah tangga nanti.
Semenjak Andi menyerah akan hubungan kita, semenjak itu juga aku menyerah pada harapanku, aku berusaha mengikuti alur kehidupan berjalan seperti bagaimana mestinya.
Jika ditanya apakah aku sudah melupakan Andi? Sampai saat ini, itu masih dalam proses. Dan jika ada lagi yang bertanya, apakah saat ini aku sudah mencintai Mas Doni? Jawabannya pun sama, saat ini itu semua masih berproses untukku. Hanya, perbedaannya saat ini aku telah menutup hati untuk Andi dan mencoba membuka hatikku untuk Mas Doni. Selama satu bulan kemarin, sejak hari lamaran sampai proses menuju hari akad besok, pelan tapi pasti Aku dan Mas Doni berusaha untuk saling mendekatkam diri.
Sepanjang penjalanan dari rumah menuju tempat tujuan, aku tidak banyak melakukan obrolan dengan mas Doni. Tanpa aku sadari Mas Doni sudah menghentikan laju mobilnya disebuah tempat yang tak tahu pasti aku harus menyebutnya apa, ada bangunan luas mirip aula besar didepan mobil yang kami tumpangi terparkir, disekitarnya pula terdapat perkarangan atau juga bisa disebut taman yang sangat luas dengan banyak tanaman diseluruh mata memandang. Khas tempat yang akan digunakan untuk acara pernikahan, suasana ditempat itu sangat ramai orang, ada yang sibuk dengan dekorasi di taman juga sebagian di aula besar. Banyak lampu-lampu besar menerangi seluruh tempat, juga lampu-lampu hias kecil dibeberapa sudut yang membuat tempat ini menjandi tampak cantik.
"Sudah sampai. ayo, kita turun!" Mas Doni mengajakku keluar dari dalam mobil.
Aku mengangguk tanda setuju.
"Jadi dimana Tari akan bermalam Pak Doni?" Tanya ibu seraya menyapu pandangannya ke seluruh tempat yang terjangkau mata.
"Disana" seru Mas Doni menunjukan salah satu jarinya ke sebuah bangunan yang berada di samping kiri aula besar dengan jarak yang cukup jauh untuk ukuran masih dalam satu pekarangan.
Bangunan itu masih terdapat satu lingkungan dengan Aula besar dan pekarangan, seperti paviliun dengan ukuran yang cukup besar.
"Selain Tari, nanti ada beberapa anggota keluarga inti yang akan bermalam juga disana." Seru Mas Doni,
"Ayo" mas Doni mengulurkan tangannya padaku, mengerti akan maksudnya aku pun menyabutnya dengan genggaman tanganku.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak terbuat dari batu-batu bulat pipih yang disusun rapih. Aku dan Mas Doni jalan berdampingan dengan diikuti ibu dibelakang. Kuakui tempat ini memang sangat indah, ditambah dekorasi khas acara pernikahan, pasti besok akan terlihat jauh lebih indah.
Tepat di depan pintu paviliun yang kebetulan dalam keadaan terbuka, terlihat dari luar, beberapa anggota keluarga Mas Doni sedang berkumpul. Menyadari kedatangan kami bertiga, semua yang berada diruangan itu menolehkan pandangannya kearah kami.
"Selamat malam semuanya." Mas Doni berseru.
"Hai, Don! Sini! biar besok nggak terlalu tegang, kumpul dulu sini kita ngobrol-ngobrol santai." Ucap salah satu laki-laki berumur awal empat puluhan mengajak Mas Doni bergabung.
"Iya, ayo! Pasti ini Tari kan? Ikut sekalian kita ngobrol-ngobrol biar sesama keluarga saling kenal." Sahut salah satu wanita yang terlihat sedikit lebih tua dari laki-laki tadi.
"Ayo, kita gabung! Biar kamu juga jadi lebih dekat dengan keluargaku." Ajak Mas Doni sambil menggenggam tanganku.
"Bukankah sebaiknya Tari langsung beristirahat dikamar saja Pak Doni?" Ibu langsung memotong. " Besok pasti akan sangat melelahkan jadi istirahat lebih awal lebih baik untuk Tari." Lanjutnya.
"Bagaimana dek, kamu mau langsung ke kamar saja?" Mas Doni terlebih dahulu memastikan kepadaku.
"Nggak apa-apa kok bu, ini waktu yang baik untuk aku agar lebih mengenal keluarga Mas Doni." Ucapku seraya mengalihkan pandanganku pada ibu.
"Kalau begitu, ibu langsung pamit pulang saja yah? Izin ibu padaku.
"Katanya ibu mau menemani sampai aku merasa nyaman?" Aku menagih janji ibu tadi.
"Om Hendra sedang di jalan menuju ke sini. Dia akan mengantar ibu pulang."
"Ya sudah, biarkan ibu pulang dek. Kan ada Mas yang menemani." Ucap Mas Doni.
Malam itu akhirnya aku tetaplah sendiri ditengah-tengah keluarga besar Mas Doni. Rasanya sungguhlah canggung dan sedih. Tidak ada satu pun anggota keluarga menemani aku dihari sepenting itu. Bahkan aku juga merasa sangat minder berada ditengah-tengah keluarga besar Mas Doni yang memiliki kebiasaaan serta pembicaraan yang berbeda dengan keluargaku.
"Kok aku nggak lihat mamih Mas?" Tanya Mas Doni Pada laki-laki yang menyapa kami diawal tadi.
"Mamih sudah tidur dari tadi, capek katanya." Jawab laki-laki dengan kumis tipis diatas bibirnya itu.
Ternyata laki-laki itu adalah kakak laki-laki Mas Doni yang nomer tiga, sedangkan perempuan yang terlihat sedikit lebih tua tadi adalah anak perempuan paling tua dikeluarga. Baru aku tahu saat ini, keluarga Mas Doni ternyata adalah keluarga besar, terdapat sepuluh adik beradik. Ayah mereka sudah tiada, mamih adalah satu-satunya orangtua yang mereka punya saat ini. Sedangkan Pak Randi, yang datang saat lamaran ke rumahku adalah Anak tertua dikeluarga. Mas Doni sendiri adalah anak bungsu. Total yang sudah aku temui ada empat adik beradik, dua orang saat lamaran dan dua orang ditempat saat ini aku berada, ditambah Pak Doni, sisanya masih ada lima anggota lainnya yang belum aku temui. Kalau saat ini selain dua kakak Mas Doni tadi yang lainnya adalah para keponakan yang telah dewasa dan beberapa sepupu. Sungguh keluarga yang sangat besar.