Chapt 4. Abraham Althaf’s Family

2121 Kata
---**--- Mansion Abraham Althaf, New York, USA., Halaman belakang mansion., Pagi hari.,             Dapur terbuka yang sengaja direnovasi tepat di halaman belakang mansion membuat suasana mansion berkelas Abraham Althaf sangat asri. Mansion bersejarah ini memang sangat terawat.             Bangunannya juga direnovasi kembali oleh para keturunan Abraham Althaf. Sebab mereka merasa jika tidak direnovasi, maka serpihan bangunan tua akan menjadi penyakit bagi mereka.             Yah, begitulah teknik sok pintar yang mereka gunakan agar mansion ini bisa direnovasi dan bergaya masa kini. Tidak mengatakan hal itu pada orang tua mereka, tetapi mereka mengatakan hal itu pada Grandpa dan Grandma mereka.             Bagaimana tidak mungkin, sebab sang pemilik Zu dan  Anta tentu akan mengikuti saran dari ke-4 cucu tampan mereka. Mereka menganggap jika ke-4 cucu mereka memang mengerti mana yang baik dan yang tidak untuk mansion ini. ...             Seorang wanita tidak berhenti mengeluarkan omelannya sejak tadi. Dia merapikan peralatan makan di atas meja makan, sembari melirik ke arah pria yang sejak tadi terus saja bermain ponselnya. “Kau dengar aku, Mas Gamal!” ketusnya masih terus melirik ke arah ujung meja makan, tempat dimana sang putra duduk rapi disana.             Pria yang menjadi sasaran amarah sang Mommy, dengan santai dia menjawabnya. “Tentu aku mendengarkanmu, Mommy. Emuaahh!” sahut Gamal tanpa melirik ke arah sang Mommy, sebab dia fokus bermain game di ponselnya.             Wanita senja berusia 82 tahun itu, dia berjalan tertatih ke arah sang cucu. “Gamal?” gumamnya dengan suara sangat rendah.             Wanita berusia 55 tahun yang hendak meletakkan menu utama sarapan pagi mereka, dia segera meletakkan apa yang dia bawa, lalu mengejar sang Mommy dan menuntunnya berjalan ke arah keponakannya, Gamal. “Grandma … hati-hati ya,” ujar Ayra lalu menuntunnya duduk tepat di sebelah Gamal. “Terima kasih, Sayang.” Anta membalasnya dengan senyuman.             Mengetahui jika sang Grandma duduk di sebelahnya, Gamal langsung mengeluarkan game yang tengah dia mainkan, lalu meletakkan ponselnya diatas meja.             Sedangkan Ayra, dia menjewer pelan telinga kiri Gamal. “Dengarkan Grandma! Jangan game saja!” ketus Ayra menatapnya tajam.             Gamal meringis sakit, meski tarikan di telinganya tidak sakit. “Aww! Mommy!” Gamal menatapnya dengan memutar malas bola matanya.             Chandly yang ada disana, dia memperhatikan meja makan masih sepi. Dia sangat heran dengan pemuda-pemudi yang ada di mansion ini.             Sebab mereka sangat malas untuk bangun pagi jika hari libur seperti ini. Padahal, jika hari kerja mereka akan memakluminya jika telat bergabung sarapan atau mungkin tidak sarapan sama sekali dan hanya membawa bekal sarapan dan memakannya selama di perjalanan.             Gamal sudah terbiasa menerima segala amukan dari dua wanita yang menurutnya sangat perkasa di mansion ini. Oh tidak, bukan perkasa. Lebih tepatnya penguasa di mansion ini.             Dan tidak hanya dia saja, tetapi saudara dan saudarinya yang lain juga sama. Mereka semua sudah terbiasa dengan omelan jika ada kesalahan kecil yang mereka lakukan.             Mungkin sebagian kecil, semua ini karena pembelaan yang sering dilakukan oleh Grandpa dan Grandma mereka. Sehingga mereka menganggap jika omelan itu hanya lagu manis di pagi hari.             Gamal mendekatkann kursinya ke arah sang Grandma. “Ada apa Grandma? Kau mau bilang kalau aku semakin tampan?” tanya Gamal dengan menaikkan kedua alisnya ke atas, berulang kali.             Ayra dan Chandly yang mendengar itu, mereka hanya bisa menggeleng kepala saja. Tidak tahu lagi bagaimana caranya agar membuat salah satu dari mereka bisa memahami bahasa, jika mereka tengah marah besar.             Anta tersenyum geli melihat rayuan dari salah satu cucu kesayangannya itu. Dia membelai wajahnya, dan menyapu rambut ikalnya ke arah belakang. “Hey! Dasar sok tampan!”             Gamal memeluk sang Grandma sembari menggoyang tubuhnya sendiri. “Aku memang tampan, Grandma … kenapa Grandma baru menyadari hal itu?” gumamnya sembari merengek manja.             Anta kembali tertawa geli. Postur tubuh Gamal yang tinggi dan merunduk karena ingin memeluknya. Dia benar-benar merasakan waktu sangat cepat berlalu. “Hey, anak kecil! Dengarkan, Grandma!” ketusnya lalu melepas pelukan Gamal dari tubuhnya.             Gamal melepas pelukannya, namun terus menatap lekat sang Grandma. “Ada apa, Grandma? Apa ada yang harus aku lakukan untuk wanita yang paling cantik pada masanya?” Gamal mengedipkan satu mata genitnya itu, hingga membuat sang Grandma menggelengkan kepalanya. “Grandma memang cantik. Tapi Grandma serius, dengarkan Grandma!” ketus Anta lagi.             Gamal menganggukkan kepalanya. Dan membiarkan sang Grandma merapikan rambut bangun tidurnya. Membiarkan wanita lansia itu memperhatikan dirinya yang masih memakai celana tidur sependek paha, juga singlet putih sebatas bahu hingga menampakkan bahu berototnya. “Iya, Grandma … ada apa?” Gamal turut memperhatikan raut wajah sang Grandma yang sudah begitu tua.             Anta tersenyum, seketika dirinya teringat sesuatu. Sepertinya, dia memang harus mengatakan hal ini kepada ke-4 cucunya. “Tapi, Grandma mau bicara sama kalian berempat. Setelah sarapan, kita bicara di halaman samping. Okay?” ucapnya lagi membelai lembut wajah tampan cucunya yang dulu masih bisa dia gendong dan dia peluk sebelum dan sesudah tidur.             Gamal tersenyum, mengangguk paham. Dia memeluk wanita yang sangat dia hormati itu. “Iya, Grandma. Setelah sarapan, kami akan berkumpul di halaman samping.” Dia mengangguk kecil lalu mengecup puncak kepala sang Grandma.             Ayra dan Chandly saling melirik satu sama lain. Mereka tahu, jika anak-anak mereka memang sangat pengertian dan memahami aturan.             Tapi satu hal yang mereka tidak sukai, anak laki-laki mereka terkadang selalu memikirkan pekerjaan dan sangat sulit sekali membagi waktu untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Bahkan di hari libur sekalipun, seperti pagi ini.             Mereka telat berkumpul di meja makan. Sebagian lagi, justru memilih untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum acara sarapan dimulai.             Apalagi anak perempuan mereka yang sudah pasti mengikuti jejak para Abang mereka. Itu sebabnya mereka selalu marah dan menginginkan anak laki-laki mereka untuk mengingat waktu bersama dengan keluarga, agar Adik-adik mereka juga mengikutinya.             Chandly yang tidak tahan, sebab sejak tadi menahan ucapannya. Dia kembali membuka suara. “Kalian itu harus paham, kalau sudah waktunya berkumpul ya berkumpul! Jangan memikirkan apa-apa lagi! Ini tidak! Yang satu main game, yang satu kerja, yang satu malas bangun pagi!”             Gamal terus memeluk sang Grandma, meski telinganya sangat lelah mendengar omelan sang Mommy yang sangat dia sayangi.             Ayra senyam-senyum mendengar sang Adik Ipar terus saja mengomel. Dia melirik ke arah Gamal dan sang Mommy. Terlihat Gamal mengedipkan satu mata genit ke arahnya.             Dia melotot tajam, dan memberi isyarat untuk diam dan mendengarkan nasihat dari wanita yang masih betah mengomel.             Gamal tertawa geli melihat sang Mommy, Ayra yang hanya bisa diam. Dia berbisik di telinga sang Grandma. “Kenapa Mommy betah sekali mengomel, Grandma?” bisiknya dengan suara geli.             Anta memukul pelan lengan sang cucu. “Kau ini! Diam!” balasnya dengan senyuman terukir di wajahnya.             Chandly terus saja mengomel sembari menyusun beberapa kukis coklat yang sudah selesai dibuat oleh para maid.             Ketika omelan itu terus berlangsung lama, seorang pria yang mulai menghentakkan kakinya pada dapur terbuka itu, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Sepertinya keadaan sedang tidak sehat, pikirnya.             Dia memilih berbalik badan dan hendak pergi dari sana dengan kaki kilatnya. Dan tiba-tiba suara itu menggelegar di telinganya. “Mau kemana kamu, Mas Aka?!” ketus Chandly mendapati keponakannya hendak kabur dari sana.             Aiyaz menelan ludahnya dengan susah payah. Dia kembali berbalik badan, dan mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Oh … hai, Mom?? Aku pikir dapurnya sudah pindah di sebelah sana,” ucapnya mengalihkan pembicaraan dan menunjuk ke arah timur. Dia kembali melangkah lebar menuju meja makan.             Gamal tertawa mengejek ke arahnya. Hingga sang Mommy ikut membuka suara. “Gamal!” Ayra menatapnya tajam.             Aiyaz berjalan santai, dan merundukkan tubuhnya, mengecup pipi kanan dan kiri sang Grandma. “Pagi, Grandma?” sapanya.             Anta tersenyum melihat cucu keduanya yang dia katakan sebagai kembaran Gamal. “Pagi, Sayang. Kau pasti baru bangun tidur, hmm?” tanya Anta merapikan kerah piyamanya.             Aiyaz menggeleng pelan. “Tidak, Grandma. Aku baru saja keluar dari ruang kerja. Ada yang harus aku jelaskan pada Mas Ara dan Gaza tadi,” jawabnya lalu berjalan menuju sang Mommy, Ayra yang tengah menyusun makanan di meja makan sebelah barat. “Pagi, Mom?” sapanya lalu mengecup pipi kanan dan kirinya. “Pagi, Sayang.” Ayra menjawabnya begitu lembut menyapa sapaan sang putra. Dia hanya bisa senyam-senyum saja melihat ekspresi geli sang putra yang ketahuan hendak kabur dari dapur.             Aiyaz berjalan ke arah satu wanita yang juga dia anggap sebagai Mommy-nya sendiri. “Pagi, wonder womanku? Cantikmu tidak pernah pudar, Mom.” Aiyaz menyapanya dengan bahasa selembut mungkin, dia memeluk sang Mommy yang sudah menatapnya tajam.             Chandly membiarkan Aiyaz memeluknya. “Kau ini! Kenapa kalian selalu terlambat ke dapur! Lihat Adik kalian? Mereka sampai muak dan keluar dari dapur karena kalian semua tidak ada!” ketusnya lagi.             Ayra ikut membuka suaranya. “Kalian seharusnya mengajarkan Adik kalian kalau waktunya libur itu ya berkumpul sama keluarga. Kalau kalian sudah sibuk, kami sudah memakluminya.” Dia mengatakannya dengan nada begitu datar, tapi wajahnya sudah cukup membuat mereka paham.             Aiyaz kembali berjalan menuju kursi tepat di sebelah sang Grandma. “Okay, Mom. Maaf,” balasnya singkat dan tidak mau memperpanjang cicitan pagi hari ini.             Yah, Aiyaz dan Gamal hanya bisa diam saja mendengar semua omelan para wanita yang sangat mereka sayangi. Sebab mereka juga tidak bisa menjelaskan alasan dibalik sikap mereka yang sulit mengatur waktu.             Mereka juga menyadari satu hal. Bahwa Mommy mereka juga tidak akan pernah mengerti bagaimana pusingnya mereka menyisipkan waktu santai di pagi hari agar bisa menikmati sarapan atau makan malam bersama. … Ruangan kerja Althaf.,             Mereka masih duduk di sofa yang ada disana. Beberapa berkas berserakan diatas meja kristal dengan vas bunga indah di tengahnya.             Dyrga terus melirik sang putra yang terdiam sejak tadi. Berbeda dengan Dyrta yang berulang kali menghela panjang nafasnya. “Mungkin kami harus lebih ketat lagi menyaring klien yang mau bekerja sama dengan Eruca Alp.” Gaza membuka suaranya sembari melirik mereka bergantian.             Arash yang berada disana, dia melirik Gaza. “Lalu bagaimana jika itu terjadi di kantor cabang? Apa kita bisa tangani semua kantor cabang atau mungkin kantor anak cabang?” sahut Arash mengutarakan hal yang mungkin saja bisa terjadi.             Gaza kembali diam. Dia pikir, benar juga apa yang dikatakan oleh sang Abang. Sebab ratusan kantor anak cabang Althafiance tidak mungkin bisa mereka tangani satu persatu.             Sejenak Gaza memikirkan hal mustahil, yang mungkin saja tidak bisa dilakukan oleh mereka. “Begini … fokus mereka adalah menghancurkan Eruca Alp. Lalu menggeser Althafiance. Jika mereka melakukannya dari mulai paling bawah, bau mereka pasti akan tercium juga.” Gaza meliriknya. “Sebab setiap bulan kita selalu mengecek keuangan dan berkas setiap perusahaan. Kita juga bisa melihat fluktuasi secara langsung.” Gaza kembali memberikan tanggapannya terhadap masalah yang sedang terjadi di perusahaan mereka saat ini.             Arash dan kedua Daddy mereka turut mengangguk paham. “Aku pikir, ini bukan masalah berat untuk ditangani. Kecuali jika memang ada penyusup pada bagian keuangan dan berangkas dokumen.” Dyrga menambah beberapa hal yang harus menjadi bahan kewaspadaan Arash dan Gaza.             Dyrta membenarkan posisi duduknya. “Aah … begini. Kalian bisa menjaga ketat dengan penandatanganan dokumen resmi. Mungkin akan sangat sulit. Sebab kalian harus memeriksanya satu persatu. Jadi, saranku … jadwal kalian harus tersusun sejak 2 minggu sebelum membuat perjanjian. Apalagi jika ada hadiah khusus dari klien. Untuk beberapa waktu ke depan, penolakan adalah jalan terbaik.” Dyrta memberi saran untuk mereka berdua. Sebab Dyrta sangat paham permainan bisnis dengan berbagai hadiah fantastis untuk menarik para pengusaha. Hadiah berupa liburan mewah ataupun beberapa wanita untuk bisa ditiduri saat sedang berlibur.             Arash dan Gaza menimbang semua pembicaraan yang tengah mereka lakukan saat ini. Entah bagaimana mereka harus memikul beban seberat ini.             Tapi bagi Arash, setidaknya Gaza bisa membantunya sedikit lebih ringan dari pada sebelum Aiyaz yang menjadi Presiden Direktur Althafiance. Pasalnya, Aiyaz lebih fokus pada Althafa saat dia menjabat di Althafiance.             Arash dan Gaza juga paham, jika mereka memang memiliki visi yang sama dalam dunia bisnis investasi dan properti. Berbeda dengan Aiyaz dan Gamal yang justru memiliki hobi sama dalam industri otomotif.             Arash dan Gaza mengakui perbedaan kemampuan serta visi dan misi diantara mereka berempat. Itu sebabnya Arash dan Gaza menyetujui pengalihan jabatan, meski belum secara resmi.             Hampir 1 jam mereka membahas masalah ini, hingga Aiyaz pun tak kuasa dan lebih dulu keluar dari rapat. Dyrga dan Dyrta juga sudah lelah berpikir. Bukan mereka tidak mau membantu.             Hanya saja, Dyrga dan Dyrta merasa jika mereka perlu membiarkan penerus Abraham Althaf mencari solusi sendiri. Mereka berdua tidak akan diam saja, justru akan memantau dari jarak jauh. Menurut Dyrga dan Dyrta, ke-4 putra mereka memang harus dibanting lebih keras lagi agar bisa menaklukan dunia bisnis yang tengah dijalani. Sebagai seorang Daddy, mereka akan terus memantau dan memeriksa keadaan perusahaan secara tidak langsung. Mereka berpikir, kapan lagi mereka mempercayakan sepenuhnya perusahaan jika tidak ada bantingan dari segala sisi. Dan masalah ini akan menjadi pengalaman baru bagi ke-4 putra mereka. Dyrga dan Dyrta yakin, mereka bisa melalui dan menjaga perusahaan dengan sifat keras kepala dan arogan dari dalam diri mereka sebagai seorang pebisnis. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN