Mengurai Rindu Sosok Masa Lalu

284 Kata
Part 12 'Menikah untuk Berpisah' 'Dosa Terindah' Part sebelumnya ? Lisna menghentikan bacaannya ketika bahunya ada menyentuh. Ia mendongak dan matanya terbelalak. "Kamu....?" ****M.B Sosok itu tersenyum menatap Lisna. Mata yang dulu selalu Lisna rindukan. Tatapan penuh kehangatan, masa lalu yang menghilang tanpa kabar. Kini ia tepat di hadapan Lisna, mata itu beradu pandang dengan Lisna begitu dekat. Ada hangat yang menjalar di hati Lisna. Lidahnya kelu, bibirnya terasa kaku. Tak ada yang sanggup ia katakan. Rasanya ingin menghambur ke pelukan d**a bidang yang selama ini ia rindukan. Tapi Kini keadaan berbeda. Lisna sudah milik orang lain. "Apa kabar? Cinta?" Kata-kata itu semakin menusuk jantung Lisna, terasa begitu nyeri. Lisna terpaku menatap sosok itu. Laki-laki itu merebut Al-Quran yang di genggam lisan dan menarik tangan Lisna. Lisna kaget dan mengikutinya. "Yuk" bisik laki-laki itu. Lisna menurut saja seakan terhipnotis oleh tatapan sosok tinggi kekar dengan hidung Bangir dan bibir tipis itu. Membuka pintu mobil dan menyuruh Lisna masuk. Gegas ia ke arah kemudi, dan melaju pelan. Jalanan tampak sunyi, karna cuaca kebetulan sedikit gerimis. Mungkin orang enggan untuk keluar rumah. "Sayang?" Laki-laki itu memanggil Lisna masih dengan sebutan itu. Ah itu membuat Lisna semakin tersakiti. Lisna menoleh, ujung netranya menghangat. "Abang kemana saja?" Ahirnya kata-kata itu keluar dari bibir Lisna di ikuti luapan air mata yang tak berhenti keluar dari netra Lisna. "Iya, Abang salah. Pergi begitu saja tanpa mengabari Ina" masih dengan nama itu ia memanggil. Batin Lisna semakin menjerit. "Apa Abang masih boleh memohon maaf atas kesalahan Abang? Hm" ia berkata lembut. "Ina sudah menikah bang" Lisna tertunduk dan makin terisak. "Abang tahu, semua yang terjadi sama Ina abang tahu" Lisna menatap laki-laki itu. "Lalu paket itu? Apa maksud Abang?" Tanya Lisna. "Paket yang Ina titipin ke Rahmah?" Lisna kaget, "kok Abang tahu juga?" Jawabnya lagi. "Kan tadi Abang sudah katakan sayang, Abang tahu semua yang terjadi sama Ina. Kenapa ahirnya Abang berani bawa Ina seperti sekarang ini. Karena Abang tahu apa yang sedang Ina alami" katanya lagi. "Kenapa Abang tiba-tiba datang. Setelah sekian lama Abang menghilang" tanya Lisna. "Hem, iya. Sebetulnya saat itu Abang hanya ingin kasih Ina kado pernikahan saja. Tapi, saat Abang tahu kondisi pernikahan Ina tidak seperti yang abang inginkan. Hati Abang berubah, Abang tidak mau Ina tersakiti, lagi" menegaskan kata yang terakhir. Flashback on. "Bawa keluar gadis itu, bukankan sudah papa tegaskan berulang kali Dika! Mama papa tidak merestui kalian!" Kata pak Heru orang tua Andika. "Tapi pa, Dika cuma mau sama Ina" kata andika. "Siapa pun nama gadis itu. Papa tidak setuju, silahkan bawa keluar. Kalau kamu mau menikahinya silahkan cari kehidupan sendiri dan biaya sendiri. Jangan berharap sepeserpun dari uang papa!" Katanya tegas. "Pa.." "Diam Andika! Jangan membantah kata-kata papa lagi! Papa hanya mau hidup bersama anak yang menuruti kemauan papa. Yang membangkang silahkan angkat kaki dari rumah ini!" Pak Heru menatap wajah Andika tajam. Lisna yang tersudut hanya diam membisu. Ia meremas tangannya, rasanya ia ingin berlari namun kakinya seperti terikat beban seberat seribu ton. Tak bisa bergerak sama sekali. "Baik jika itu titah dari papa, Andika terima. Ayo Ina kita pergi" Andika menarik lengan Lisna dan membawa keluar dari rumah besar itu. "Kembalikan kunci mobil papa" Andika menghentikan langkahnya. Merogoh kantong celana lalu mengambil kunci mobil dan melemparkan ke meja yang berada di hadapan papa mamanya. Andika terus berjalan menggenggam tangan Lisna erat. "Abang, kita mau kemana?" Tanya Lisna. "Entah" tiba-tiba Andika menghentikan langkahnya, dan memeluk Lisna sangat erat. "Maafkan Abang ya Ina? Abang belum bisa meyakinkan orang tua Abang" Ari mata Andika sudah membasahi pipinya. "Tak apa bang, Ina paham kok. Harusnya Ina yang tahu diri, bercermin. Siapa Ina, siapa Abang. Kita itu ibarat langit dan bumi bang. Kapan bisa menyatunya coba?" Lisna mencoba menenangkan hatinya dan hati kekasihnya. "Abang harus bagaimana sekarang? Apa kita kawin lari saja Ina?" Andika kehabisan akal. "Bang, itu tidak baik. Kita harus lebih bersabar lagi. Atau mungkin kita belum berjodoh bang" jawab Lisna getir. "Ssst! Tidak boleh bicara seperti itu! Abang tidak suka!" Andika melotot. "Maaf bang, sudah ke sekian kali kita mencoba untuk berbicara ke orang tua Abang bukan? Tapi mereka tetap tidak merestui kita. Tidak baik memaksakan kehendak bang?" Jawab Lisna pelan. "Tidak Ina, Abang hanya mau menikah dengan kamu. Tidak dengan yang lainnya" ia mengeratkan genggaman tangannya. "Lalu rencana kita selanjutnya apa bang?" "Abang akan berkerja dengan giat, kalau tabungan Abang sudah cukup Abang akan melamar Ina. Sanggup kan nunggu Abang?" Andika berdiri menghadap Lisna dan memegang pundak Lisna. Ia menatap lurus mata Lisna. "Hehem, tapi jangan lama-lama" Lisna menghambur ke pelukan andika. "Iya, Abang janji. Setelah cukup untuk menikah. Abang segera temui orang tua Ina" Flashback off. Setelah itu Andika menghilang tanpa kabar. Sampai ahirnya Lisna membuka hati untuk Danar. Kala itu Danar masih bersikap manis dan baik. Tapi entah apa yang terjadi, setelah menikah keadaan berubah drastis. Danar jadi pemarah, dan acuh terhadap Lisna. *** "Kenapa Abang tak pernah menghubungi Ina?" "Waktu itu tas Abang di rampas orang Ina. Semua Abang simpan di dalam tas itu. Termasuk nomor telepon kantor Ina. Bersyukurnya Abang bertemu dengan orang baik yang mau menampung Abang kala itu. Sebulan dua bulan Abang hidup menumpang. Lalu Abang menempati mushola, jadi tukang bersih-bersih mushola, jadi muadzin di mushola. Alhamdulillah, satu tahun pertama terlewati. Abang sudah coba mencari tahu kemana-mana tentang Ina. Tapi nihil, dan kala itu Abang baru dapat kerjaan. Ahirnya Abang fokus ke pekerjaan Abang. Dua tahun Abang bertumbuh, sampai ahirnya bisa membuka bisnis di sana" "Sudah banyak uang terus lupa sama janji, gitu?" Lisna menggerutu. "Ina Abang itu kalau cemberut makin cantik. Itu yang selalu membayangi mimpi Abang" ah pujian itu membuat hati Lisna melayang. Tiba-tiba Andika menepikan mobilnya. Lalu mengambil paper bag di kursi belakang. "Nah, ini. Pakailah" menyerahkan ke Lisna. "Apa ini?" Lisna membuka paper bag itu dan mengambil isinya. "Coba pakai Ina? Selama ini Abang hanya bisa berkhayal membayangkan betapa cantiknya Ina Abang pakai itu" sebuah hijab lebar dan niqob. Mata Lisna menyipit, ia terharu. Ah sosok ini sudah banyak berubah, Lisna suka. Tapi sayang, ia kini tak bisa memiliki. Lisna memakainya. "Maa syaaAlloh, tepat seperti dalam hayalan Abang. Cantik banget" Andika tersenyum dan mengelus pipi Lisna yang kini tertutup kain cadar. "Abang" Lisna malu-malu tertunduk. "Kenapa?" Lisna hanya menggeleng. Lalu merogoh isi paper bag itu lagi. Masih ada kantong kecil di dalamnya. "Apa ini bang? Kaos tangan?" Lisna membolak-balik benda itu. Andika mengangguk. "Pakailah Ina" Lisna pun memakainya, dan tersenyum. Tiba-tiba Andika meraih tangan Lisna dan menggenggamnya. Ada yang menghangat di dalam d**a Lisna. Genggaman yang sekian tahun ia rindukan. Lisna pun membalas genggaman itu. Tak terasa menetes juga air mata Andika. Suasana dalam keheningan. Mereka menikmati kerinduan yang mereka pendam selama ini. "Kita mau kemana bang?" Tanya Lisna. Karena mobil itu terus melaju tanpa henti, meski dengan laju yang pelan. "Ke syorga?" Andika terbahak. "Ish Abang?" Lisna cemberut. "Abang mau menghabiskan malam ini sama ina" jawabnya tenang. "Tidak bang, Ina harus pulang. Sua.." kalimat Lisna terpotong oleh kata-kata Andika. "Bahkan Abang tahu, kalau suami Ina jarang pulang ke rumah" sela Andika yang membuat Lisna terperanjat. "Itu alasan Abang tidak kembali dulu" tiba-tiba terdengar suara adzan isya. "Kita sholat dulu yuk bang?" Itu ada masjid. Lisna menunjuk kubah yang nampak dari jauh. "Iya sebentar, kita tunggu masjid yang sepi aja ya?" Jawab Andika. "Kenapa? Bukankah sholat di awal waktu itu lebih baik bang?" Kata Lisna. "Iya sayang, Ina Abang makin pinter ya sekarang. Abang jadi makin sayang. Tapi kok milik orang?" Andika menjawab dengan tersenyum getir. "Bukan salah Ina." Lisna berkata manja. "Semua salah Abang. Kalau saja waktu itu Abang ajak Ina bersama Abang. Pasti sekarang Ina sudah jadi milik Abang" Andika melajukan kendaraanya lebih pelan lagi. "Mungkin memang kita bukan..." Lagi-lagi Andika memotong kata-kata Lisna. "Ina, bicaralah yang baik. Abang yakin kita berjodoh. Hanya waktu yang belum mempertemukan kita saat itu. Nyatanya sekarang abang bisa bersama lagi" jawab andika tegas. "Tapi Ina sudah jadi istri orang Abang?" Jawab Lisna. "Ina bahagia dengan pernikahan Ina?" Andika menatap mata Lisna nanar. "Bahagia kok" Lisna mengalihkan pandangannya lurus ke jalanan. "Lalu apa arti air mata Ina di mushola tadi?" Kini Andika menepikan mobilnya di sebuah mushola kecil. Sebelum turun ia mengambil sesuatu lagi di belakang. Menyerahkan ke Lisna bungkusan kotak. "Buat Ina lagi bang?" Andika tersenyum "Abang selama ini berjuang hanya satu tujuan. Cuma Ina" matanya berair menatap sendu Lisna. Gegas Lisna membuka kotak itu. "Ya Alloh bang, ini bagus banget?" Mata Lisna bersinar. "Turunlah Ina, ganti pakaian Ina di kamar mandi mushola. Biar Abang yang bawa mukena Ina ya" Andika mengambil mukena yang Lisna lipat setelah memakai hijab dari andika. Lisna hanya mengangguk. Lalu mereka turun dan masuk ke toilet masing-masing. Beberapa menit Andika dan Lisna keluar bersamaan. "Kita jamaah ya?" Kata Andika. Lisna ternganga, lelaki itu semakin berwibawa kini. Lisna mengikuti Andika. Dengan batasan tirai mereka sholat berjamaah. Arini terbuai dengan lantunan suara Andika yang kini dengan Tartil yang merdu. Selepas mereka sholat, mereka kembali ke mobil. Andika menggenggam tangan Lisna yang terbalut kain itu. "Abang tidak menyentuh kulit Ina kan?" Dengan langkah tegap dan lurus menatap ke depan. Mereka tersenyum bersama. Andika membukakan pintu mobil untuk Lisna. Setelah itu Andika kembali melajukan kendaraanya dengan santai. "Kita itu mau kemana Abang? Dari tadi jalan terus mobilnya?" Tanya Lisna. "Mau habisin bahan bakar" jawab Andika sambil terkekeh. "Hem, terus kalau habisnya di tengah hutan bagaiman?" "Kan tidak ada hutan di jalan Ina?" Andika tertawa lagi. "Ina sudah makan belum?" Tanya Andika. "Ketemu Abang bikin Ina kenyang" mereka tertawa bersama. "Ina Abang pintar ngegombal ya sekarang. Mau lah Abang di gombalin terus" Andika meledek Lisna yang pipinya sudah merona. Mobil berhenti di sebuah rumah makan masakan Padang. "Ina mau makan pakai apa? Kita beli bungkus saja ya, Abang kangen makan berdua sama Ina" pipi Lisna merona lagi mendengar kata kangen dari Andika. "Terserah Abang saja" "Ya sudah, tunggu sebentar ya" Andika turun dari mobil dan melangkah ke rumah makan itu. Beberapa menit kemudian Andika sudah kembali membawa sebungkus nasi Padang. "Kok cuma satu bang?" Tanya Lisna saat Andika masuk ke mobil. "Kan Abang tadi sudah katakan, Abang ingin makan berdua sama Ina" memasang sabuk pengaman dan melajukan lagi kendaraanya. Entah sudah seberapa jauh Andika membawa Lisna. Karena Lisna sudah sangat asing dengan daerah itu. "Ini di mana ya bang? Ina belum pernah ke sini deh?" "Di syorga Ina. Kan Abang tadi bilang mau ajakin Ina ke syorga" "Abaang.. Ina tanya serius?" "Abang juga jawab serius Ina" Lisna menyisir pandangannya ke segala arah. Hanya terlihat lampu-lampu yang sangat indah berwarna-warni. Tiba-tiba Andika berbelok ke sebuah gerbang besar. Melaju pelan dan berhenti di tepi pantai. "Hah? Ini pantai bang?" Lisna terkejut. Andika turun dari mobilnya dan membuka pintu untuk Lisna. Gegas Lisna turun dan memandangi sekeliling, ia mengembangkan senyuman yang nampak begitu bahagia. Andika membuka pintu belakang mobil dan mengambil sesuatu dari sana. Mendekati Lisna dan memakaikan sebuah jaket yang sama seperti yang kenakan Andika. "Pakai ini, pasti sangat dingin nanti" ia dengan lembut mengancingkan satu demi satu kancing jaket besar yang menutupi hampir semua tubuh Lisna. Lalu Andika menggenggam tangan Lisna menuntun ke tepi pantai. Lisna menatap jauh lampu-lampu yang gemerlapan. Ia merentangkan tangannya dan mendongakkan wajahnya. Lalu tersenyum seolah sedang melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya selama ini. Andika mendekati Lisna dan memeluknya dari belakang. Lisna kaget, namun tak menolak. "Sayang Abang, jangan bersedih lagi ya. Abang sudah kembali. Maafkan Abang selama ini tak pernah memberi kabar. Tapi kini Abang kembali untuk memperjuangkan Ina lagi" Andika berbisik di telinga Arini yang tertutup kerudung dan cadar. Ia memeluk Lisna begitu erat. Lisna ingin membalikkan tubuhnya hendak memeluk andika namun Andika menahan pelukannya. "Biarlah seperti ini Ina. Abang ingin melepas rasa yang sekian lama Abang simpan" ada bulir bening menetes di pipi Andika dan mengenai tangan Lisna yang tertutup rapat oleh sarung tangan. "Abang berharap malam ini jangan berlalu" ia mendekap kian erat. Mengecup pipi Lisna berulang kali. "Ampuni kami Tuhan, kami sadar ini dosa. Tolong satukan kami lagi Tuhan. Agar tak ada lagi dosa yang kami ciptakan lagi" bisik Andika lirih. Membuat Arini bercucuran air mata. "Abang?" Ia terisak, tapi hatinya sangat bahagia. "Kita berdoa ya Ina, agar saat seperti ini benar akan menjadi nyata dalam ikatan halal" Andika masih berbisik. Lisna mengangguk berulang kali. Mereka larut dalam Isak dan pelukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN