"Apa arti tulisan yang ada di balik kalungmu?"
Gadis tercengang hingga mulutnya sedikit terbuka, dirinya berada diantara dua rasa, rasa senang karena Nicholas tidak melihat ia memainkan ponselnya dan rasa bingung harus memberi jawaban apa atas pertanyaan Nicholas itu.
"Kenapa mulutmu terbuka seperti itu? Berniat menjawab pertanyaanku atau meminta aku menciummu?" pertanyaan kedua Nicholas menyadarkannya jika mulutnya sedikit melongo kini.
"Eh, tulisan ... tulisan itu ...." Gadis sedikit tergagap tidak mungkin jika Gadis memberitahu Nicholas jika ukiran dalam aksara Jawa di belakang liontin kalung itu menuliskan nama keluarganya Hardjodiningrat.
Bisa-bisa Nicholas mengetahui siapa dirinya, dan langsung mengantarkannya pulang saat itu juga.
"Duduklah di sini, bukankah kamu lebih suka berada di dekatku selama ini?" ucap Nicholas seraya menepuk tempat kosong di sebelahnya melihat Gadis yang masih duduk di lantai.
"Gadis," panggil Nicholas melihat Gadis yang hanya diam seolah memikirkan sesuatu yang berat.
"Iya," jawab Gadis yang lalu duduk di tempat yang Nicholas minta.
"Tulisan itu ... ditulis dengan aksara Jawa, dan aku tidak bisa membacanya," jawab Gadis, dan jelas itu berbohong.
Nicholas mengangkat satu alis dengan bibirnya yang mencibir sesaat mengangkat bahunya, seolah tidak ingin lagi Gadis memikirkannya. Tanpa Gadis ketahui jika Nicholas tahu dirinya berbohong.
"Gadis, aku sedang ingin bersantai. Bisa kamu memijit kakiku dan menemaniku mengobrol." Nicholas langsung menaruh kaki jenjangnya di pangkuan wanita itu awalnya Gadis agak terkejut tetapi langsung melakukan apa yang Nicholas minta, ia mengunakan tangan mulusnya untuk memijit kaki berbulu itu.
"Belakangan ini aku kembali mengingat masa-masa kecilku." Nicholas memulai bercerita, meluahkan isi hatinya pada satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara. Nicholas adalah pribadi yang tertutup, jarang sekali ia menceritakan isi hatinya dengan orang lain, apa yang ia bicarakan dengan orang lain biasanya hanya seputar pekerjaan dan pergaulan saja, bukan tentang kehidupannya.
Tetapi, berbeda saat ini, ia mencoba membuka suara tentang hidupnya entah karena memang merasa nyaman dengan lawan bicaranya atau hanya karena ingin Gadis merasakan hal yang sama dan bisa dengan mudah mengorek informasi darinya.
"Aku merindukan ibuku." Gadis menghentikan kegiatan tangannya, wajahnya yang semula menunduk kini memandang wajah Nicholas karena merasakan getaran di suara itu saat mengucapkan kata kerinduan.
"Iya, Gadis. Tinggal seatap bersamaku membuat aku seperti Dejavu, merasakan kembali hangatnya keluarga. Hangatnya kasih sayang seorang ibu." Nicholas menyambung kata-katanya melihat Gadis yang terdiam menatapnya.
"Apa kamu menganggapku ibumu?" tanya Gadis, seolah tidak terima jika hal itu benar-benar terjadi karena jelas bukan itu yang Gadis inginkan.
Melihat ekspresi Gadis, Nicholas tertawa. "Bukan itu maksudku Gadis. Lagi pula memangnya kamu ingin aku anggap apa?"
"Em ... enggak." Gadis kembali memijit kaki Nicholas dengan kepala yang ia tundukkan lagi.
"Sudah lama sekali sejak kematian ibuku aku tidak merasakan kasih sayang yang tulus seperti yang kamu berikan padaku Gadis." Lagi-lagi ucapan Nicholas membuat Gadis menghentikan pijatannya dan menatap wajah Nicholas tetapi kali ini dengan pipi yang terasa memanas, hanya sekilas lalu kembali tidak berani menatapnya.
"Hei ... Kenapa sekarang kamu jadi pemalu seperti ini? Kemana hilangnya Gadis yang pemberani dan selalu menggodaku?" Nicholas mengangkat wajah Gadis dengan memegang dagunya.
"Apa begitu terlihat?" gumam Gadis, itu yang membuat Gadis merasa malu, terlalu terlihat jika ia mencintai Nicholas yang sepertinya sama sekali tidak tertarik padanya.
"Terlihat apa?" Nicholas melepaskan tangannya dari dagu Gadis dan kembali bersandar pada sandaran samping sofa yang ia duduki, Gadis hanya diam.
"Begitu terlihat kalau kamu menyayangiku?" tebak Nicholas, Gadis yang merasa tebakan Nicholas benar hanya diam dengan mata yang mengerjap-ngerjap menggemaskan.
"Aku menyukainya Gadis. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kasih sayang yang tulus seperti itu, sejak kepergian ibuku. Sudah lama sekali." Pandangan Nicholas menerawang seolah menatap deretan demi deretan kisah masa kecilnya, bahagianya bersama sang ibu.
"Ibumu sudah meninggal? Maaf kalau aku membuatmu sedih, Nich," ucap Gadis pelan, merasa bersalah.
"Iya, sejak aku masih remaja. Usiaku baru tiga belas tahun saat itu." Gadis menelan saliva merasakan kesedihan yang tertancap kuat dalam hati lelaki yang sangat dicintainya itu, kesedihan yang begitu besar hingga rasa itu dapat terlihat hanya dari bagaimana Nicholas mengucapkannya.
"Lalu ayahmu?" tanya Gadis, tetapi ia segera menyadari telah salah bertanya saat melihat wajah Nicholas berubah.
"Maaf, tapi maksudku. Aku tau tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan kasih sayang seorang ibu, tapi ayahmu pasti bisa menyayangimu juga, 'kan?" ucap Gadis cepat, Nicholas hanya tersenyum.
Senyum getir.
"Aku memang merasa nyaman bersamamu Gadis, tapi masih terlalu banyak misteri yang tersembunyi. Belum saatnya kamu tau tentang masa laluku yang begitu menyedihkan. Tentang misteri siapa ibuku, tentang kematiannya juga tentang ayahku." Nicholas hanya menjawab pertanyaan Gadis dalam hati seraya mengelus kepala Gadis.
Gadis tertegun merasakan belaian lembut yang Nicholas berikan, belaian yang mengalirkan sebuah rasa hingga ke palung terdalam hatinya. Rasa dicintai.
"Sekarang giliran kamu, aku ingin mendengar cerita tentang kamu. Sudah beberapa kali aku mendatangi kota kelahiranmu. Itu adalah kota yang sangat indah, membuat siapa saja yang mengunjunginya ingin tinggal. Ceritakan semua tentangmu dan kota itu." Gadis terdiam mendengar permintaan Nicholas, ia bingung harus bercerita apa, tapi tidak mungkin juga ia hanya diam.
"Aku ...."
Gadis berpikir sesaat lalu lebih memilih menceritakan tentang kotanya saja dari pada masalah keluarganya yang harus ia rahasiakan.
"Kotaku memang sangat indah Nich, di sana adalah kota budaya di mana kami warganya selalu diajarkan untuk melestarikan budaya, adat dan tradisi. Kotaku memiliki banyak tempat-tempat bersejarah, memiliki banyak tempat-tempat yang indah ... dan ... hei! kenapa kamu menatapku seperti itu?" Nicholas tergagap saat Gadis menegurnya yang begitu terkesima menatap kecantikan Gadis.
"Kamu cantik, aku seperti pernah melihat seseorang yang mirip denganmu," ucap Nicholas.
Gadis kembali diam, Nicholas pernah bertemu dengan Gendhis dan Lintang Ayu sang ibu, wajar saja jika ia merasa pernah melihat wajah yang mirip dengannya.
"Nich apa kamu ingin makan sesuatu? Kamu tau, 'kan, seharian terkurung di kamar membuatku lapar!" Gadis berusaha mengalihkan perhatian, ia menurunkan kaki Nicholas yang masih berada di pangkuannya.
"Siapa yang mengurungmu? Salah sendiri kamu melakukannya!" ucap Nicholas pada Gadis yang sudah berjalan ke dapur, sepertinya untuk memasak sesuatu.
"Sudahku bilang itu karena aku takut!" jawab Gadis sewot.
"Kalau kamu takut mereka memper.kosamu, apa kamu akan menolak jika aku yang memper.kosamu?" tanya Nicholas seraya memeluk Gadis dari belakang, sengaja untuk menggodanya.
Gadis hanya diam, menikmati debaran kencang dalam dadanya. Terlebih lagi saat Nicholas mengecup bahunya yang terbuka karena atasan bermodel sabrina yang ia kenakan. Wanita itu memejamkan mata tanpa melakukan sedikit pun perlawanan, cinta itu telah membuatnya pasrah jiwa dan raga.
"Masak yang enak, aku mau mandi dulu. Kalau udah mateng, panggil aku, ya!"
Bisikan Nicholas di telinga membuat Gadis membuka mata.
"Yah. Yah ... gosong ... gosong!" Gadis segera mematikan kompor di mana di atasnya sudah ada wajan yang mengepulkan asap karena terlalu lama didiamkan di atas api.
Melihatnya, Nicholas yang sudah berjalan ke arah kamar hanya tertawa kecil.
* Dita Andriyani *
Kini mereka berdua sudah berada di meja makan, seperti biasa duduk berdampingan menikmati makan siang yang kesorean ini, sudah lewat dari jam empat sore sekarang.
"Sepertinya Nicholas memang sedang menyelidiki sesuatu tentang kalungku, tapi aku juga memilik rasa ingin tau yang sama dan perlu melakukan penyelidikan juga. Romo bilang kalung ini adalah milik keluarga kami tapi kenapa di foto itu ada seorang wanita yang memakai kalung sama seperti punyaku? Padahal satu-satunya adik perempuan Romo sudah meninggal sejak lama, dan dari foto yang pernah Romo perlihatkan padaku wajah Bulek Wening dan perempuan di foto itu berbeda. Lalu siapa wanita dalam foto itu?"
Berjuta tanya menari-nari di benak Gadis hingga wanita itu hanya diam di meja makan, menikmati makanan yang ia masak sembari menikmati pikirannya yang mengembara.
"Nich, apa boleh aku tau, ibumu orang Belanda?" tanya Gadis memulai penyelidikannya.
"Bukan, ibuku orang Indonesia." Mata Gadis membelalak mendengar jawaban Nicholas, semakin besar kemungkinan jika wanita dalam foto itu adalah ibu dari Nicholas.
"Berarti kamu memiliki darah Indonesia?" tanya Gadis sebelum menyuap makanannya.
"Iya, makanya aku cinta Indonesia dan ingin menetap di sini," jawab Nicholas.
"Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?" tanya Gadis lagi, ia sudah tidak sependiam tadi, dan Nicholas menyukainya.
"Lima tahun. Aku bahkan sudah di sini sebelum kuliahku selesai. Walaupun belum menetap tapi aku sudah mulai berinvestasi dalam bisnis sahabatku di sini. Baru sejak tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk mendirikan bisnisku sendiri dan tinggal di sini," terang Nicholas.
Gadis menganggukkan kepala, tiga tahun yang lalu adalah pertama kali Gadis menemukan foto Nicholas di bawah meja kerja sang Romo.
"Oh, iya. Ibumu berasal dari daerah mana?" tanya Gadis lagi, ia benar-benar tertarik dengan hal ini.
Tentang masa lalu Nicholas tentang foto itu juga tentang kalung itu.
"Dari Jawa, tapi aku tidak tau Jawa mana tepatnya. Ibuku sudah tidak lagi memiliki keluarga," jawab Nicholas, setelahnya lelaki itu menghela napas berat seolah mengeluarkan kesedihan yang kembali menjalar.
Ini benar-benar menarik, tetapi tidak mungkin Gadis menanyakan hal itu pada sang Romo.
"Gadis, kamu menyadari sesuatu?" tanya Nicholas tiba-tiba, membuat Gadis yang sedang melamun lalu menatapnya.
"Apa?" tanya Gadis lirih.
"Ternyata kita memiliki darah yang sama," jawab Nicholas.
"Hah?" Bukan tidak mendengar tetapi Gadis tidak mengerti, tentu saja Gadis tidak mungkin bisa menerima kalau ternyata mereka bersaudara karena bukan menjadi saudara Nicholas yang ia inginkan.
"Iya, ibuku orang Jawa, berarti dalam diriku juga mengalir darah Jawa. Berarti kita sama," jawab Nicholas sambil tertawa kecil.
"Hah, iya. Kamu bule Jawa," jawab Gadis ringan seraya menatap aneh pada Nicholas yang masih tertawa.
"Sana mandi, kita pergi setelah ini." Secepat kilat tawa Nicholas menghilang, ia meninggalkan meja makan meninggalkan Gadis yang masih menatapnya dengan tatapan aneh.
* Dita Andriyani *
Malam belum begitu larut, saat mereka berdua kembali ke rumah. Nicholas membuka pintu dengan anak kunci yang dibawanya entah kenapa ia kesulitan memasukkan anak kunci itu ke lubangnya sehingga memerlukan beberapa waktu baru bisa membuka daun pintu utama lebar-lebar, Gadis yang berdiri dengan wajah masam di belakangnya langsung masuk sambil tersungut-sungut hingga sempat menabrak bahu Nicholas yang masih berdiri di ambang pintu.
Tidak ada respon yang Nicholas berikan, ia pun sama berwajah masamnya dengan Gadis lalu kembali menutup dan mengunci pintu dari dalam.
Tidak ada aksara yang tereja antara keduanya hanya raut wajah yang sama tegangnya, keduanya berjalan bersamaan ke arah kamar masing-masing dan secara bersamaan pula membanting pintu dari dalam.
Seandainya dinding di rumah itu bisa bicara tentu ia akan mengucapkan tanya.
"Ada apa dengan mereka?"