Jangan menyentuh apalagi sampai menyakitinya.
Ishana mengulang kalimat tersebut di dalam kepala, sementara netranya menatap bingung ke arah pria yang baru bergabung bersama mereka. Totalnya sekarang ada empat orang di area basement, termasuk Ishana sendiri. Antara was-was dan curiga, perlahan Ishana mundur selangkah dari posisinya. Dikelilingi para pria jelas membuat Ishana merasa situasinya makin berbahaya.
“Bapak kenal adik ini?” tanya salah seorang satpam, dari nadanya terdengar ramah sekaligus bersahabat. Pertanda kalau mereka mengenal baik pria yang baru datang.
“Tidak, tapi kebetulan mobil yang dia rusak punya saya.” Jawaban yang begitu singkat, tenang, dan stabil. Beralih menatap Ishana, seulas senyum tipis muncul menghiasi bibirnya yang tebal. Masih dengan suasana yang sama, pria itu lanjut bicara, “Karena ini pertemuan pertama kita, saya jadi penasaran apa motif yang mendasarimu berbuat anarkis terhadap kendaraan saya?”
Refleks Ishana memelototkan mata. Apa tadi katanya? Kendaraan saya? Pembual sekali! “Nggak, ini punya Mario, kenalan saya. Dari bentuk, warna, dan mereknya sudah saya hafal di luar kepala. Apalagi dia penghuni apartemen ini, jadi mana mungkin saya salah dalam mengenali. Seperti yang Anda katakan, ini pertemuan pertama kita. Buat apa juga saya cari gara-gara sama orang yang nggak saya kenal?”
“Sebentar, saya punya bukti. Pasti kamu langsung percaya setelah melihat ini.” Dia mengambil dompet di dalam saku jas, mengeluarkan sesuatu yang kemudian diperlihatkan ke arah Ishana. “Silakan mencocokkan nomor plat yang tertera di STNK dengan nomor plat mobil yang kamu rusak. Tentang Mario, saya tahu dia karena kami bertetangga, terlebih mobil yang kami punya jenisnya sama. Sayang sekali 15 menit lalu dia pergi bersama teman perempuannya, jadi sekarang sudah dipastikan kamu salah sasaran.”
Tenggorokan Ishana mendadak terasa kering, telapak tangan dan pelipisnya ikut berkeringat dingin. Pasca memastikan kesamaan nomor plat, napas Ishana jadi tidak teratur. Tercekat, juga terputus-putus. Astaga, ini mimpi buruk! Bahkan seumur hidup sekalipun Ishana tidak pernah membayangkan kalau dia bisa seceroboh ini.
Kepercayaan diri dan kesombongan yang ada di awal tadi langsung menguap entah ke mana. Yang tersisa sekarang hanya campuran rasa syok, kaget, tidak menyangka, sulit menerima. Bagaimana mungkin Ishana yang dengan nafsu membabi-buta merusak mobil Mario–yang diyakininya—sekarang dibuat ketar-ketir tidak berdaya ketika dihadapkan pada fakta kalau perbuatannya teramat merugikan dan berujung sia-sia.
“Kita laporkan ke polisi saja, Pak. Mau bagaimana pun dia sudah mengganggu ketenangan, berbuat keonaran, dan merugikan Bapak. Harus diberi hukuman sesuai dengan yang dia perbuat.”
“Terima kasih atas usul sekaligus aksi cepat tanggap Pak Arif dan Pak Rahmat dalam kejadian ini. Saya merasa terbantu sekaligus salut dengan keamanan apartemen ini. Tapi untuk meneruskan perkara ke pihak polisi, sepertinya saya punya pendapat berbeda. Masalah yang terjadi di antara kami akan diselesaikan secara baik-baik. Mempertimbangkan dari berbagai situasi, salah satunya adalah usia adik ini yang sepertinya masih muda, catatan kriminal hanya akan mempersulit pendidikan dan masa depannya.”
Ishana menelan ludah mendengar kalimat tersebut. Alih-alih merasa lega, justru dia berpikir di sanalah letak konflik utama dimulai. Orang yang pembawaannya tenang belum tentu bisa dipercaya, sebab psikopat pun pada awalnya tidak terlihat seperti penjahat. Tampang bisa menipu, nada lembut bisa dimanipulasi. Dalam situasi seperti ini, wajar Ishana semakin berjaga-jaga dan berhati-hati.
“Bapak terlalu murah hati, tapi alasannya terdengar masuk akal juga. Bijak sekali memikirkan hal yang berhubungan dengan keberlangsungan masa depan.” Kedua satpam, Pak Arif dan Pak Rahmat, tersenyum mengangguk seakan paham. Atmosfer di antara mereka pun mencair, tidak seserius tadi. “Baiklah, kalau begitu kami undur diri karena merasa tidak punya hak untuk ikut campur lagi. Semoga Bapak dan adik ini segera bertemu jalan damai.”
“Amin. Sekali lagi terima kasih banyak atas usaha dan kerja kerasnya. Saya sangat-sangat merasa terbantu berkat Anda berdua.”
“Sama-sama, Pak. Mari.”
Seperginya kedua satpam, yang tersisa sekarang hanya Ishana dan pria itu. Keadaan basement mendadak sepi, membuat ketegangan jadi naik satu tingkat. Ishana mulai ketar-ketir membayangkan kalau dia akan dipukul, dibentak, dan di-di lainnya yang berhubungan dengan kekerasan. Topeng malaikat yang pria itu pakai mungkin segera tanggal. Wajah aslinya akan keluar, sebentar lagi Ishana melihat kekeja—
“Setiap pertemuan memiliki makna tersendiri. Entah dimulai dengan cara yang baik atau pun tidak, saya tetap menghargainya,” ucap pria itu berbarengan dengan mengulurkan tangan. Namun, Ishana terlalu kaget untuk menyambut. Dia terperangah dengan mulut sedikit membuka. Ternyata ... yang Ishana khawatirkan tidak terjadi. Malah kenyataannya sungguh di luar ekspektasi. TIDAK! Di luar nalar Ishana sekali!
“Tidak apa, saya mengerti reaksimu.” Tawa kecil lepas berbarengan dia yang menarik tangan, menggantinya dengan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet, diserahkan pada Ishana. “Kalau sudah berhasil menguasai keadaan, tolong hubungi saya di nomor yang tertera di sini. Nanti kita akan membicarakan perihal biaya perbaikan mobil yang kamu rusak. Untuk sekarang maaf belum bisa, saya punya janji temu—” Mengecek jam tangan di pergelangan kirinya, lalu mendongak menatap Ishana. “Setengah jam lagi.”
Mulut Ishana mulai mengatup, tapi matanya masih berkedip bingung. Kini bergantian dia memandangi wajah pria itu juga kertas kecil di tangannya. Danapati Kaivan Naradipta, General Manager PT. Lentera Aksara. Begitu secuil informasinya.
“Saya harap kamu bisa mencerna kata-kata saya. Memang agak mengejutkan, tapi jangan takut karena saya tidak punya niat buruk. Murni hanya memberi keringanan sekaligus menawarkan jalan damai. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan, pun dalam hal ini. Kamu sedang mengalami kesialan, tidak mungkin saya turut menekan dengan mengancam melaporkan ke polisi.”
Kalimatnya terdengar begitu bijak, Ishana mengakui sekaligus merasa berterimakasih sekali. Namun, ada hal yang membuatnya terus bergeming, yaitu rasa enggan menanggapi. Menurut Ishana situasi ini terlalu aneh. Aneh mendapati fakta ada orang yang benda mahalnya dirusak habis-habisan, tapi tidak marah sama sekali. Malah dengan lapang dadaa memaafkan, seolah itu bukan perkara yang besar.
“Maaf, saya menyesal mengatakan kalau sekarang saya benar-benar harus pergi. Pastikan untuk menghubungi nomor itu nanti.”
“Anu—” Kata-kata Ishana tertelan kembali, karena Danapati Kaivan Naradipta sudah beranjak dari tempatnya berdiri. Kakinya yang panjang melangkah terburu-buru, tas ransel khas pekerja kantoran menggantung di pundak, ditambah sekarang terlihat sedang menerima panggilan—ponsel di dekatkan ke kuping. Sepertinya bukan sekadar kata-kata, pria itu memang dikejar waktu. Makanya mendadak pamit tanpa menunggu pembicaraan berubah jadi dua belah pihak.
Ishana antara merasa ragu dan berat hati, tapi yang paling pasti dia benar-benar tak bertenaga lagi. Pasalnya dituntut ganti rugi. Mobil sebesar ini, dari mana dia mendapat biaya untuk perbaikan? Sedangkan uang jajan bulanan saja tidak sebanyak yang lain. Argh! Ishana sungguh sial sekali! Hari ini benar-benar hari petaka, hari paling malang sepanjang hidupnya!
***
Keesokan harinya Ishana menemui Eleena dan memarahinya, “Lo tega banget, Len! Bisa-bisanya kabur sendiri tanpa nungguin gue. Nggak setia kawan. Gara-gara lo kemarin gue dibentak-bentak dua orang satpam. Hampir diseret ke pos mereka buat diinterogasi, diancam langsung dibawa ke kantor polisi kalo gue melakukan perlawanan.”
Eleena nyengir lebar, dengan wajah tanpa dosa dia maju selangkah untuk memeluk Ishana. Erat tapi tidak menyakiti. “Maaf, Na, gue mau selamat.”
“Gue juga mau selamat! Astaga, emosi banget denger jawaban lo. Enteng banget ngomong; miif, ni, gii mii silimit.”
Tawa Eleena makin keras. Setelah menguraikan pelukan, kini Eleena menyeka sudut matanya yang berair. “Lagian lo udah bilang siap dengan segala risiko. Nah, gue termasuk salah satu risiko tersebut.”
Ishana mendengkus, juga memberengut. Pada akhirnya dia tidak bicara lagi, hanya menatap ketus Eleena sekaligus bertolak pinggang, menunjukkan kalau dia masih kesal dengan apa yang terjadi. Meskipun hari sudah berlalu dan Ishana tidak mendapat luka fisik satu pun, tetap saja dia harus menanggung beban besar karena dituntut untuk membayar. Kepala Ishana auto pusing tujuh keliling memikirkan jalan keluar.
Agnia yang menonton perdebatan jelas merasa kebingungan. Keningnya berkerut dalam, kepalanya memunculkan banyak pertanyaan. Apa yang terjadi? Apa yang sudah mereka lalui? Kenapa Ishana bisa seemosi ini?
Langsung Agnia menyuarakan rasa penasarannya, daripada terus menahan-nahan dan berujung pusing sendiri, “Memang ada apa? Eleena kabur, dua orang satpam, kamu yang dibentak-bentak, semuanya gara-gara apa? Sepertinya aku ketinggalan informasi penting.”
“Nggak ada, kok. Gue sama Eleena cuma bercanda. Iya ‘kan, Len?”
“Eh, iya, Nia. Ishana ngomongin soal n****+ yang baru dia baca, kebetulan gue juga penasaran sama, tuh novel.”
Jelas saja Agnia tidak percaya. Kentara sekali kedua sahabatnya membohongi. “Biasanya kita saling terbuka. Kalau memang soal buku bacaan, harusnya nggak perlu disembunyikan, kan? Hobi kita sama, bisa jadi aku juga pengin baca apa yang kalian baca setelah mendengar penjelasan mendetail dari Ishana. Apalagi tadi sepertinya terdengar menegangkan dan menguras emosi sekali. Ishana saja sampai marah-marah ke kamu, Len.”
Mendadak Ishana jadi salah tingkah. Saat ingin meminta bantuan pada Eleena, Eleena malah menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan kalau dia tidak bisa berbohong lagi. Dasar Eleena kampret! Berarti jalan satu-satunya, yaitu menceritakan semuanya pada Agnia, tanpa ada hal yang mesti ditutup-tutupi. “Ya udah. Maaf tadi sempat berkilah, Nia. Niatnya gue nggak mau bikin lo sampai tau, salahnya malah adu mulut sama Eleena di depan lo.”
Lantas Ishana menceritakan semua yang terjadi. Dari merencanakan balas dendam kepada Mario, sampai ke tahap eksekusi, lalu berujung salah sasaran karena Ishana tidak hafal nomor plat. Malang tak dapat dihindari, dia harus menanggung derita ganti rugi yang nominalnya belum diketahui. Sudah pasti banyak sekali, mengingat mobil rusak di sana-sini.
Agnia menutup mulut tidak percaya, kelopak matanya melebar pertanda kaget luar biasa. Sungguh, bisa-bisanya mereka bertindak gegabah tanpa sepengetahuannya. Padahal Agnia tidak menginginkan balas dendam, sungguh. Justru dia bersyukur karena bisa lepas dari cowok berengsek seperti Mario. Lebih baik sakit hati sekarang, daripada menyesal pasca pernikahan.
Namun, tidak dipungkiri Agnia merasa terharu luar biasa. Mau bagaimana pun ini bentuk perhatian dari sahabat-sahabatnya. “Aku nggak nyangka kalian berbuat sampai sejauh itu. Rela membahayakan diri demi membayar rasa sakit hati atas pengkhianatan yang kuterima. Makasih banyak. Makasih banyak. Aku ... aku nggak tau mau ngomong apa lagi, intinya aku sayang kalian. Banget.”
Dengan mata berkaca-kaca Agnia berdiri memeluk Ishana, lalu tidak lama kemudian Eleena bergabung bersama keduanya. Mereka seperti melakukan reuni, padahal bertemu hampir tiap hari. Beberapa orang yang seliweran di koridor kampus terlihat bingung memperhatikan, tetapi mereka terlalu larut untuk memedulikan hal itu.
“Jadi, gimana urusan lo sama pemilik mobil aslinya?” tanya Eleena saat mereka sudah kembali duduk, mengapit Ishana di tengah-tengah.
“Orangnya rada aneh, tapi ramah. Setelah menghubungi via kontak yang dia kasih, diputuskan kalo hari ini kami ketemuan. Di tempat yang sudah dia tetapkan.”
Agnia meremas lembut tangan Ishana. “Aku sama Eleena bakal temenin kamu. Kami juga bantu lunasin biaya perbaikan, karena mau bagaimana pun nggak adil rasanya melimpahkan semua kesalahan ke kamu. Eleena udah terlibat, sementara aku secara nggak langsung ikut terseret mengingat aku yang jadi sumber dari semua kekacauan. Jangan pernah merasa bersalah, Na. Yang kamu lakuin memang nggak bisa dibenarkan, tapi itu bermakna banget buat aku.”
“Makasih, Nia. Gue bener-bener butuh kalimat itu. Maaf udah ngerepotin, maaf juga udah jadi orang nggak tau malu.” Ishana menunduk sendu, tidak sanggup menatap wajah kedua sahabatnya. “Boleh bantu soal pelunasan, tapi ... urusan pemilik mobil biar jadi tanggung jawab gue. Gue yang bakal hadapi dia. Kalian bisa semangati dan doain semoga pertemuan hari ini berjalan lancar tanpa ada satu pun kendala.”
“Tapi, Na—”
“Serius, gue nggak pa-pa pergi sendiri. Jadi jangan khawatir, Leena, Nia.”
Pada akhirnya mereka tidak bisa mengubah keputusan akhir Ishana. Untuk itu mengangguk pasrah, seraya berkata, “Kalo udah selesai, langsung telepon kami. Biar kami yang jemput kamu di sana. Sama janji satu hal lagi, jangan ada yang ditutup-tutupi. Ngerti, Na?”
“Iya, Nia. Gue ngerti.”
“Bagus!” Kali ini Eleena yang menyahut, dia juga menepuk bahu Ishana sebagai tanda sepakat pada apa yang baru saja mereka bicarakan.
***