Di jam dan tempat yang sudah ditentukan, Danapati Kaivan Naradipta datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Ishana malu karena sudah membuat pria itu menunggu. Dia juga merasa awkward, tetapi sebisa mungkin tidak ditunjukkan dan memilih membahas inti permasalahan karena ingin segera mengakhiri pertemuan.
“Maaf saya telat, Mas,” ucap Ishana penuh sesal, setelah menempati kursi tepat di seberang pria itu. “Jadi, berapa total biaya keseluruhan perbaikan mobilnya?”
“Tidak apa-apa. Kita makan siang dulu. Saya kelaparan.” Kaivan tersenyum ramah, sedetik kemudian dia melambaikan tangan pada seorang pelayan. Memintanya mendatangi meja mereka karena ingin membuat pesanan. Untuk ukuran orang yang baru dua kali bertemu, Kaivan terlalu luwes terhadap Ishana. Malah cenderung bersikap seolah mereka kenal secara normal, bukan karena sebuah insiden. “Jadi, saya boleh memanggilmu ... Shana?”
“Ishana saja, Mas.”
“Baik, Shana, silakan pilih menu yang kamu inginkan.” Daftarnya lebih dulu Kaivan serahkan pada gadis itu, sementara dia menunggu giliran selanjutnya. Suasana restoran terlalu ramai, mungkin karena akhir pekan, pelanggann jadi meningkat dua kali lipat daripada biasanya. Sekadar informasi, ini salah satu restoran favorit Kaivan.
Antara bingung dan merasa tidak nyaman, Ishana hanya berani melirik singkat saat menerima daftar menu yang disodorkan Kaivan. Benaknya dipenuhi banyak pertanyaan, seputar apakah situasi ini normal untuk ukuran pertemuan tersangka dan korban? Serius, Ishana merasa ada yang salah, padahal seharusnya dia senang karena Kaivan orang yang sangat-sangat ramah.
Dalam bayangan Ishana, pembahasan soal perbaikan dan ganti rugi biaya pasti terasa berat. Terutama saat mendengar sejumlah nominal mulai disebutkan. Mungkin saja Ishana langsung tertekan, nyaris frustrasi karena harus menanggung beban yang besar, sedangkan dia tidak punya uang sepeser pun. Pulangnya Ishana pasti menangis, meratapi nasibnya yang tidak beruntung.
Namun, kenyataannya justru jauh dari hal itu. Dia bahkan ragu akan bersedih nantinya, sebab sejak belasan menit duduk berhadap-hadapan, Ishana belum mendengar hal yang dia takutkan. Atmosfer tidak mencekam, tetapi suasana bersahabat sekalipun tak menyurutkan Ishana untuk tidak mencurigai Kaivan.
Usai menyebutkan pesanan masing-masing, lima belas menit kemudian pelayan kembali dengan sebuah nampan besar di kedua tangan. Meletakkan satu per satu piring dan minuman di atas meja, wangi serta tampilannya sungguh menggugah selera. Ishana yang tadi berpikir tidak bisa mengunyah sebutir nasi, mendadak menelan ludah karena tertarik ingin mencicipi.
“Cumi asam manis salah satu menu kesukaan saya di sini. Kamu harus mencobanya.”
Errr ... apakah informasi tersebut penting? Ishana menggigit lidah menahan diri untuk tidak menyuarakan secara langsung. Cukup di kepala saja dia berani lancang. “Iya, Mas.”
“Apa kesibukanmu sekarang?” tanya Kaivan saat mulai makan. Menatap Ishana dan piringnya bergantian.
“Kuliah, Mas.”
“Ambil jurusan apa? Sebentar saya coba tebak dulu, pasti ... Sastra Indonesia atau Kebidanan?”
“Bukan.” Ishana meringis pelan. Mengunyah dan menjawab adalah dua korelasi yang berbeda. Harusnya hanya boleh melakukan salah satu di antara keduanya, tetapi Kaivan seperti punya pendapat yang berbeda. “Saya Administrasi Publik.”
“Oh, ilmu sosial. Bagus-bagus. Sekarang semester berapa?”
“Delapan, Mas.”
“Berarti lagi skripsian, atau baru mulai skripsian?”
“Baru mulai, Mas.”
“Sudah ada judul yang disetorkan? Menurut saya metode paling mudah yang dipakai, yaitu kuantitatif. Tapi kalau public speakingmu bagus, senang bicara panjang lebar, suka berdiskusi dalam tanya dan jawab, boleh pilih kualitatif.” Lucunya Kaivan seperti sedang promosi, sebutan cocok lainnya adalah pewawancara dan narasumber.
“Sudah ada dan saya kurang menguasai kuantitatif, Mas.”
“Memang butuh kesabaran saat mempelajari metode kuantitatif.”
Melirik Kaivan yang lahap, Ishana menghela napas diam-diam saat menatap piringnya sendiri. Lebih dari separo nasi yang belum tersentuh, seleranya menguap entah ke mana akibat kebanyakan ditanya. Pria di depannya ini jenis manusia yang seperti apa? Kenapa malah mengorek seputar kesibukan Ishana daripada masalah mereka sendiri?
“Bawa santai saja. Skripsi tidak sesulit yang kamu bayangkan, malah menurut saya tidak jauh berbeda dari makalah dan laporan. Bagian paling menyebalkan hanya terletak pada penelitian di lapangan dan pembuatan kesimpulan,” tutur Kaivan. Saat dia mengambil gelas untuk minum, tidak sengaja netra mereka bertemu, tetapi Ishana secepat kilat melarikan pandangan. Hal tersebut buat senyum Kaivan mengembang, antara merasa geli sekaligus reaksi alami.
Gadis di depannya ini ... bagaimana cara Kaivan menjelaskannya? Dia punya sudut mata runcing yang menarik, dengan hidung mancung sempurna, dipermanis oleh keberadaan tahi lalat di beberapa titik. Kulit Ishana putih bersih, hanya saja tubuhnya terlalu kurus. Namun, itu tidak mengurangi daya tarik, buktinya Kaivan tidak bisa memalingkan muka sejak pandangan pertama. Ishana punya pesona yang tidak bisa ditolak oleh lawan jenis.
Ditambah kemiripannya dengan seseorang adalah faktor lain kenapa Kaivan berada di situasi sekarang. Buatnya rela jadi yang paling banyak bicara, demi bisa mengobrol lebih lama. Ishana terlalu pasif, makanya Kaivan harus lebih aktif. Namun, dia tidak bermaksud menemukan orang lain dalam diri Ishana. Secara garis besar mereka punya kepribadian yang berbeda, jika kenalan Kaivan orang yang lembut, maka Ishana adalah gadis yang tangguh—dinilai dari sudut pandangnya.
“Shana, ada apa? Makanannya tidak cocok di lidahmu?” tanya Kaivan heran, pasalnya dia telah menandaskan dua piring nasi sementara Ishana belum bergerak sama sekali. “Atau ingin yang lain saja? Sebentar, saya panggilkan pelayan.”
“Jangan, Mas! Saya ... maaf banget, bukan menyia-nyiakan rezeki tapi sepertinya ini nggak akan habis. Saya ... kenyang.”
“Oh? Apa memang hanya segitu porsi yang bisa diterima perutmu?”
“Kadang-kadang ...” Ishana menggigit bibir bawah, ingin sekali mengatakan; Bukan! Makan sama orang asing yang banyak bicara bikin lebih kenyang kata daripada hidangannya.
“Kalau tidak keberatan, boleh saya ambil alih? Sayang misalkan dibuang.”
“Mas serius? Itu ‘kan ... bekas saya?”
“Serius. Lagi pula kamu tidak mengidap penyakit menular, kan?”
“Nggak, tapi tetap saja—”
“It’s okay, Shana. Semoga setelah ini kamu tidak ilfeel sama saya.” Kaivan terkekeh ringan bersamaan dengan mengakuisisi isi piring Ishana. Detik selanjutnya dia kembali makan, bahkan terlihat menikmati dan cenderung biasa saja. Sedangkan Ishana yang melihat malah mengernyitkan kening dalam, antara tidak percaya, sekaligus rada geli. Nih orang waras nggak, sih?
Namun, membatinnya tidak hanya sampai sana. Ishana dibuat melongo ketika Kaivan membayar semua makanan mereka dan menolak saat Ishana berniat melunasi setengah harga. Dengan enteng dia berbicara, “Saya yang mengajak bertemu, saya juga yang mengajak makan. Akan jadi memalukan kalau sampai kamu membayar sendiri.”
“Tapi, Mas, dari awal ‘kan tujuan saya ke sini buat—”
“Ya Tuhan, saya sempat lupa, Shana.” Nada penuh sesal tergambar jelas dalam kalimat Kaivan. “Bagaimana kalau Sabtu depan kita kembali bertemu untuk membahas biaya perbaikan?”
“Apa nggak bisa sekarang, Mas?”
“Tidak bisa, setelah ini saya ... ada urusan. Maaf, Shana.”
Lagi? Ah, Ishana ingin menangis rasanya. Kenapa jadi berbelit-belit begini? Padahal ‘kan tinggal ngomong saja. Tapi ... a*u-dahlah, Ishana bisa apa? Karena dia pihak yang merugikan, mau tak mau harus menuruti kehendak pihak yang dirugikan “Nanti beritahu tempat janji temunya via chat, Mas.”
“Pasti, Shana. Pasti akan saya beritahu. Tunggu saja kabar selanjutnya dari saya.”
***
Dengan lemas Ishana memasuki mobil Eleena, langsung menyandarkan kepala di sandaran jok penumpang, juga memejamkan mata untuk beristirahat barang sejenak. Capek melek terus dari tadi. Tenaganya pun banyak terkuras, padahal demi Dewa Neptunus, Zeus, dan kawan-kawan, sepanjang pertemuan Ishana hanya duduk dan perutnya sudah terjamin kenyang.
“Gimana, Na? Berapa total biaya perbaikannya?” tanya Agnia cemas.
“Zonk, kami nggak bahas apa-apa.”
“Maksudnya?”
“Gue cuma diajak makan sama bicara seputar perkuliahan. Sisanya berakhir gitu aja.”
“Hah, serius? Kok, aneh?”
“Iya, aneh banget,” gumamnya. “Terserah, deh. Gue lagi malas ngomong panjang lebar. Mau langsung diantar pulang, mau istirahat.”
Baik Agnia dan Eleena saling tatap, tapi akhirnya mereka mengangguk paham, kalau Ishana tidak mau diganggu sekarang.
***