01 : Awal Mula

1912 Kata
Duda memang lebih menggoda, apalagi kalau tampan, gagah perkasa, dan banyak duitnya. * Ishana Yudistia pikir agenda hari ini hanya datang ke kampus untuk mengajukan judul proposal skripsi. Setelahnya bertemu dua sahabat yang dekatnya melebihi saudara, Agnia Amara dan Eleena Ailen, mengobrol heboh seperti biasa di kantin Bu Nuri langganann mereka. Namun, poin kedua tidak sesuai rencana, karena setelah dari prodi Administrasi Publik, Ishana justru mendapati pemandangan wajah Agnia yang sembab, juga Eleena di sampingnya meringis pelan tidak tahu harus melakukan apa. Hampir empat tahun menjalin pertemanan, ini kali pertama Agnia terlihat rapuh dan putus asa. Binar matanya yang biasa teduh menenangkan, kini redup seolah kehilangan semangat hidup. Menggambarkan kesedihan yang tidak bisa disepelekan, membuat Ishana jadi berempati, dan bertekad untuk menghibur Agnia sampai kembali ceria lagi. Setelah membawa Agnia ke taman belakang kampus yang sepi, Ishana dan Eleena berbarengan memberi Agnia sebuah pelukan. Mengusap punggungnya pelan, berharap bisa memberi ketenangan dan menyalurkan kehangatan. “Nangis aja, Nia. Nggak pa-pa. Gue sama Ishana bakal di sini sampai lo benar-benar lega,” ucap Eleena pelan, sekalipun belum tahu duduk permasalahan. Ishana turut mengangguk. Mereka sudah terlampau menyayangi, itu sebabnya saling peduli. Meski tidak terikat darah dan punya kepribadian yang bertolak belakang, nyatanya bukan sebuah kemustahilan membangun hubungan erat. Mengulurkan tangan jika salah satu mengalami kesulitan, menjadi pendengar yang baik jika yang lain butuh tempat untuk berkeluh-kesah. Menawarkan bahu untuk bersandar jika sama-sama merasa lelah. “Memang, ya, kita nggak bisa memprediksi suasana hati seseorang. Lo yang gue kira nggak pernah didera masalah apa-apa, ternyata bisa ada di titik ini juga.” “Namanya hidup, Len. Nggak melulu mulus dan bahagia. Agnia cuma manusia biasa sama kayak kita, bukan malaikat, ibu peri, atau semacamnya.” Kekehan Eleena mencairkan suasana. Agnia yang tadi masih terisak, kini perlahan tenang serta-merta menyeka kedua pipi yang bersimbah air mata. Tidak salah memang datang pada sahabat-sahabatnya. Mereka menerima dengan tangan terbuka, menawarkan dekapan hangat secara suka rela, memberi kata-kata yang menenangkan, bahkan menghibur supaya Agnia tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Ishana dan Eleena, Agnia sungguh beruntung memiliki mereka. “Jadi,” ucap Agnia lirih dan serak. “Aku sama Mario ... udah putus. Secara nggak baik-baik.” “Hah? Serius, Nia?” Ishana tidak kalah kaget dari Eleena, tapi dia lebih bijak dengan tidak menyuarakan respons. Menunggu Agnia sendiri yang menjelaskan. “Aku nggak bohong. Kemarin tepatnya udah aku sampaikan ke ayah sama bunda, kata mereka keputusan sepenuhnya ada di tanganku. Hubungan kami nggak bisa diterusin sebagaimana janji awal. Mario mencederainya dan aku nggak bisa maafin dia, nggak akan mau kasih dia kesempatan kedua sekalipun dia memohon-mohon.” “Why? Gue tau sesayang apa lo sama Mario. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, selama ini kalian terlihat baik-baik aja. Kayak nggak pernah ada huru-hara, happy terus dengan gaya pacaran yang sehat.” “Tadinya aku mikir hal yang sama, bahkan kalian juga tau kalau aku dan Mario berencana menikah setelah kita wisuda. Nyatanya takdir Allah nggak ada yang bisa menebaknya.” Agnia menggeleng pelan, matanya kembali berkaca. “Mario yang kukira laki-laki baik setelah ayah dan abang, ternyata ada main sama perempuan lain di belakang. Aku nggak nyangka banget, asli sakitnya benar-benar luar biasa.” “Tunggu, ‘main’ di sini artinya selingkuh? Dia selingkuh, Nia?” tanya Ishana dengan kening berkerut dalam dan binar mata menampakkan ketidakpercayaan. Bagaimana tidak, setahunya Mario terlihat seperti laki-laki baik. Layak disandingkan dengan Agnia yang lembut dan sama baiknya. Ketenangan Mario membuat Ishana menyimpulkan kalau pembawaannya dewasa, jarang meributkan sesuatu apalagi kalau itu bukan perkara yang besar. Intinya Mario terlalu positif dalam pandangan Ishana. Terlihat menyayangi sahabatnya, menghormati Agnia, bisa dinilai dari caranya memperlakukan di setiap pertemuan mereka yang berlangsung singkat. Setiap harinya Mario selalu meluangkan waktu untuk mengantar-jemput Agnia, sekalipun dia sibuk dengan urusan pekerjaan. Sangat idaman dan membuat yang lain berpandangan kalau mereka relationship goals, jauh dari masalah, apalagi pertengkaran. Nyatanya yang didengar hari ini berbeda dari yang Ishana pikirkan. Tidak mungkin Agnia berkata demikian jika memang tidak punya bukti kuat. Terlalu mustahil untuk Agnia berbohong, sahabatnya terlalu suci untuk melakukan perbuatan tercela. “Waktu itu aku lagi antar soto ayam buatan bunda tanpa memberi kabar lebih dulu. Rencananya mau ngasih kejutan, tapi nggak nyangka malah memergoki Mario ciuman tepat di depan pintu apartemen. Memalukan sekali. Mereka melakukan seolah itu hal yang lumrah, padahal menjijikkan. Mengingatnya kembali membuatku mual.” “Wah, gila, sih! Benar-benar gilaa si Mario. Muka alim, tapi kelakuan kayak taik kucing. Selama ini kita udah ketipu sama tampangnya. Memang bener, deh, kover bagus belum tentu isinya juga bagus. Sebaliknya pun begitu.” Eleena tertawa sinis, jelas ditujukan untuk Mario. “Tipe yang kayak dia, tuh munafikk banget. Sok suci, bermuka dua. Gue doain idupnya nggak bakalan tenang karena udah sia-siain cewek secantik, sebaik, selembut, sesopan lo, Nia.” Ishana mengangguk kuat tanda setuju, malah mengata-ngatai saja rasanya masih belum puas. Mario perlu diberi efek jera supaya ke depannya tidak lagi berani berbuat serupa. Sebagai tanda dukungan terhadap sahabat yang telah banyak membantunya, Ishana bersumpah akan membalaskan dendam atas rasa sakit hati yang Agnia terima. Mario ... tunggu saja. Ishana akan memberi pelajaran padanya. *** Mobil yang dikemudikan Eleena mulai meninggalkan area parkir toko peralatan olahraga. Di jok penumpang samping ada Ishana, yang dengan muka datar menatap lurus ke depan. Sedang menggenggam tongkat bisbol seharga tiga ratus ribu. Uang jajannya nyaris sebulan, tapi dihamburkan dalam sehari hanya untuk memuluskan sebuah aksi kejahatan. Namun, tenang saja, Eleena yang membayar. Bukan Ishana. Bagian Ishana nanti terletak pada tujuan inti dari perjalanan hari ini, yaitu merusak mobil Mario tepat di basement parkir apartemennya. Ibarat kata nekat memasuki kandang singa, lalu berbuat kegaduhan tanpa diketahui oleh pemiliknya. Semoga Tuhan merestui balas dendam mereka minus satu pun kendala. Setelah hening melingkupi selama beberapa menit, Eleena menoleh sekilas dengan kening mengernyit. Masih sedikit ragu, sekalipun dirinya merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yang ekstrem. “Lo nggak takut ditangkap? Sekalipun Mario kenal kita, dia bakalan tetap laporin seandainya tuh mobil benar-benar rusak.” “Tenang aja, gue udah siap dengan segala risiko. Soalnya Agnia penting banget buat gue. Dia sama lo udah gue anggap kayak keluarga.” “Karena lo ngomong gitu, gue nggak ada pilihan selain putusin buat percaya dan tetap lanjut pada rencana.” “Bagus. Jangan sampai rasa khawatir buat lo jadi ragu. Gue yakin kita bakalan nggak pa-pa. Berangkat berdua, pulangnya juga pasti berdua, Leena,” ucap Ishana meyakinkan, bahkan kini duduk menyerong memperlihatkan raut keseriusan. “Lo cuma perlu awasi keadaan, gue yang bakal pukul mobil Mario sampai penyok. Anggap aja benda itu kayak mukanya.” “Sialan! Lo nafsu banget, memang. Bertindak sejauh ini demi salah seorang sahabat, nggak diragukan lagi sesayang apa lo sama kita. Gue sama Agnia beruntung punya lo, Na.” “Nggak, gue yang beruntung punya kalian.” Ishana menjawab sambil tersenyum, kali ini dia kembali ke posisi semula. Menyandarkan punggung sekaligus kepala, mengenang banyak hal dalam benaknya. Agnia dan Eleena sering membantu Ishana dari segi keuangan. Kepelitan ibu tirinya memberi uang jajan bulanan membuat Ishana selalu merasa kurang, itu sebabnya kadang dia menolak diajak ke kantin ketika istirahat perkuliahan. Di situasi itulah Eleena menawarkan traktiran. Dengan tegas berkata tidak boleh ada penolakan, alhasil Ishana tidak punya pilihan selain menerima. Agnia versi kebalikan dari Eleena, ajakannya terlalu baik sampai-sampai Ishana tidak enak kalau harus menampik. Ujung-ujungnya jadi berakhir sesuai kemauan mereka, yang tersisa hanya rasa terima kasih tak terhingga dari Ishana sekaligus terharu luar biasa atas kebaikan sahabat-sahabatnya. Makanya Ishana tidak tinggal diam saat tahu salah satu dari keduanya berada dalam situasi kurang menguntungkan. Dikhianati seseorang yang dipercaya, dilukai seseorang yang dicinta, sakitnya luar biasa. Ishana tahu betul seperti apa rasanya, untuk itu dia ingin melakukan sesuatu berharap bisa mengurangi kesedihan Agnia. Sekalipun idenya terbilang nekat, tapi jauh lebih baik ketimbang tidak berbuat apa-apa. Lima belas menit kemudian mereka sudah memasuki kawasan area apartemen Lalaland—tempat Mario tinggal. Mobil berhenti sejenak karena Eleena harus menekan tombol warna hijau di meteran parkir, baru setelah itu mengambil karcis. Berlanjut mengikuti jalur masuk ke basement, di satu titik mereka melihat pos security yang dijaga oleh dua orang. Dengan lihai Eleena tersenyum menyapa, seolah tidak punya maksud apa-apa. Ishana mendengkus pelan di sampingnya, kalau soal akting Eleena memang juara. Itu sebabnya Ishana mengajak Eleena ikut serta, karena dipikir akan jauh lebih mudah jika merusuh berdua. Eleena parkir tidak jauh dari mobil incaran mereka, sementara Ishana lebih dulu turun dengan tongkat bisbol yang dipegang erat oleh tangan kanannya. Kebetulan basement sepi, suasananya sangat mendukung sekali. Ishana jadi bersemangat ingin membalaskan rasa sakit hati Agnia. Dia tidak sabar untuk segera memukul satu-satunya alat transportasi yang Mario punya. Memberi ganjaran setimpal dan Mario boleh menyebutnya sebagai salah satu karma. Kelak Mario akan menyesal, menyia-nyiakan Agnia sama halnya dengan membuang permata langka. Hanya orang tidak waras yang melakukannya, kebetulan Mario adalah orang tidak waras tersebut. “Na, gue pantau dari sini. Lo langsung gerak, usahakan cepat-cepat. Sebelum mulai, tolong perhatikan setiap sudut takutnya ada CCTV yang kelewat.” Ishana mengacungkan jempol, selanjutnya dia menatap beberapa tempat yang dimaksud sembari kian mendekati mobil Mario. Setelah memastikan aman, baru Ishana mulai mengambil ancang-ancang. Tongkat bisbol kini dipegang oleh kedua tangan, erat dan kuat sampai urat-uratnya menonjol. Adrenalin Ishana meningkat, seirama dengan detak jantung yang bertalu. Ayunan pertama benturannya tidak terlalu keras. Belum sampai memecahkan bagian depan, tapi alarm mobil sudah menggaung nyaring. Tentu saja Ishana jadi terdesak hingga memukul secara membabi buta. Anehnya dia merasa gugup bercampur senang saat melihat hasil karya, pecahan mulai ada di mana-mana. Bagian kap penyok, di sisi samping ada pintu dengan kaca yang retak dan bolong sebesar kepala. Mario pasti kaget melihat pemandangan ini. Besar harapan Ishana semoga cowok itu diserang sakit kepala akibat emosi yang melesat tidak terkendali. Supaya Mario tahu seperti apa rasanya marah luar biasa setelah mengetahui sesuatu yang berharga dirusak oleh orang lain. (Dalam kasus ini, Agnia sahabatnya). “Na, cepetan! Feeling gue mulai nggak enak,” desak Eleena, menatap Ishana panik lalu beralih menoleh ke arah di mana tempat pos security berada. “Sebentar, gue mau lakuin fatality, Len.” Ishana mundur beberapa langkah, lantas sedetik kemudian mengayunkan tongkat dengan tenaga penuh. Menghantam kaca spion berulang kali sampai lepas dari tempatnya. Supaya adil Ishana juga berbuat serupa di spion satunya. Melihat serpihan kaca di dekat kaki, Ishana tersenyum puas dan patut berbangga diri. “Astaga, gilaa! Dua orang satpam lari ke arah sini!” Nada panik Eleena membuat Ishana menoleh, tapi belum ada sekedip mata, teriakan susulan kembali menggema di area parkir yang luas, “Maaf, Na. Maaf banget, gue mau selamat!” Eleena berlari cepat ke arah mobilnya, masuk dan tidak lama kemudian mesin menyala. Ishana yang sadar akan bahaya langsung membuang tongkat bisbol tanpa berpikir dua kali, segera menyusul sahabatnya tapi berakhir sia-sia. Eleena pergi tepat di depan mata, sementara itu dua pria tua sudah menghadang Ishana dengan wajah sangar luar biasa. “Jangan coba-coba kabur atau kami terpaksa berbuat kekerasan!” Ancaman salah satu dari mereka membuat Ishana menelan ludah gentar, kakinya mulai terasa lemas akibat panik dan takut. Sialan! Tamatlah riwayat Ishana! “Ikut kami ke kantor untuk melakukan interogasi.” Satu orang maju mendekat, tetapi Ishana berkelit agar tangannya tidak ditarik. Malangnya tindakan tersebut justru makin memancing kemarahan, hingga Ishana mendapat bentakan, “Sudah salah masih ngeyel! Sepertinya kamu memang terlatih melakukan tindakan kriminal.” Baru mau membuka mulut ingin melakukan pembelaan diri, tiba-tiba sebuah suara menyela, membuat semua perhatian tertuju ke arah sana, “Tahan sebentar, Pak. Jangan menyentuh apalagi sampai menyakitinya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN