BAB 2

1737 Kata
“Kamu tahu dia?” tanya Mbak Zha. Saat ini kami bertiga berada di ruang tamu, dengan aku duduk di sofa tunggal sedangkan Mbak Zha dan Tanaka di sofa panjang. “Seharusnya tidak usah ditanya lagi ‘kan, ya.” “Tau, Mbak.” “Bagaimana perasaanmu saat tahu bekerja di rumah Naka?” “Seneng, gajinya banyak.” “Hanya itu?” Mbak Zha mengerutkan alis seolah nggak percaya dengan ucapanku, begitu juga dengan Tanaka, yang tadinya hanya senderan sambil mejamin mata kini duduk menegak, menatapku aneh. “Tidak yang ingin disampaikan? Atau kalau nggak bisa ngomong apa-apa, histeris aja.” “Enggak, Mbak. Terima kasih tawarannya.” “Kimi, kam–” “Sebentar, Mbak,” sela Tanaka, lalu bangkit mendekatiku. “Namamu siapa tadi? Kimia? Oke, Mia, kamu ada kelainan?” Maksud situ apa? “Enggak, kok, Om.” Mata Tanaka melotot. “Tidak salah lagi! Kamu memang kelainan!” Aku garuk-garuk pipi memandangi Mbak Zha dan Tanaka bergantian. Bingung juga dibilang kelainan padahal aku merasa diriku normal-normal aja. “Umurmu berapa, Mia?” Seolah nggak puas, Naka mengajukan pertanyaan lagi, “Hidup di sini sudah berapa lama? Punya televisi di rumah? Pernah lihat banner? Spanduk? Bungkus makanan? Botol sampo? Poster? Pakaian?” Wah bener-bener nih orang. Dia kira aku suku primitif apa! “Tau, lah. Nih buktinya aku berpakaian, malah ada dua tas lagi. Cium aja dari atas kepala sampai ujung kaki, pasti aku wangi.” Tanaka menggeleng-geleng, berpikir sejenak kemudian mondar mandir. “Mbak Zha, ini sudah tidak benar. Di mana Mbak nemuin gadis aneh ini?” “Dari temannya sepupu saya, Ka. Tapi, kita bertemu orang yang tepat. Coba bayangkan seandainya itu orang lain dan parahnya fans fanatikmu? Apa bisa jamin jaga rahasia?” “Oke, masuk akal.” Langkah Tanaka terhenti. Setelah menyugar rambut, Tanaka menatapku sekilas kemudian beralih pada Mbak Zha. “Aku masih syok, Mbak. Ternyata di negara ini masih ada orang yang biasa saja saat bertemu denganku. Silahkan bahas ini berdua saja. Aku ... aku mau istirahat.” “Ya sudah. Ke kamar dan jangan membuka sosial media tanpa sepengetahuan saya.” Tanaka mengangguk kemudian pergi setelahnya, yang tersisa di ruangan ini hanya aku dan Mbak Zha. Lalu, selanjutnya mengalirlah pembahasan mengenai apa-apa saja yang kukerjakan selama di sini dan juga aku mendapat berita mengejutkan tentang Tanaka yang sukses membuatku ternganga-nganga selama Mbak Zha menjelaskannya. Sumpah, nggak nyangka! Tanaka Kawindra, aktor dengan puncak popularitas tertinggi yang bahkan mempunyai fans bejibun itu ternyata ada kemungkinan terkena kanker p******a. TENTU SAJA AKU KAGET SETENGAH MATI! *** Setelah memulai tugas pertama dengan bersih-bersih pethouse Tanaka, aku di suruh membuat makanan yang daftarnya sudah disediakan oleh Mbak Zha. Di hari keduanya, pekerjaanku mulai serius, yaitu menemani Tanaka ke rumah sakit untuk melakukan tes, sedangkan Mbak Zha tidak bisa ikut karena sibuk bekerja. Oh iya aku sampai lupa, Mbak Zha itu adalah manajer Tanaka. Karena sekarang Tanaka istirahat selama satu tahun, maka tugas Mbak Zha beralih menjadi manajer artis lain. Pantas saja sebelumnya aku merasa wajah Mbak Zha nggak asing. Kami diantar oleh sopir yang sudah disiapkan oleh agensi Tanaka. Bahkan, saat tiba di rumah sakit pun mobil harus diparkir di basement agar tidak mengundang perhatian orang-orang atau yang lebih parahnya paparazi. Pakaian Tanaka serba tertutup. Mulai dari jeans hitam, sepatu hitam, hoodie biru dan jangan lupakan topinya. Nggak ketinggalan juga di dalam tasku sudah ada masker untuk menutupi sebagian muka Tanaka. Jadi orang terkenal ribetnya ya gini. Nggak bisa jalan-jalan di tempat ramai, bahkan sakit seperti ini pun harus disembunyikan. Kasihan sekali. “Om, pasang maskernya!” Bukan bermaksud lancang, tapi aku benar-benar menarik lengan hody Tanaka. “Dokternya sudah kuhubungi.” “Mia.” Tanaka mendesis. “Tolong jangan panggil aku Om. Seumur hidup, baru kamu yang memperlakukanku seperti ini.” “Ya nggak apa-apa, biar beda.” Karena tak kunjung menyambut, maka aku lancang untuk kedua kalinya dengan memasangkan masker pada Tanaka. “Oke sip. Kita sudah bisa keluar.” Hanya suara dengkusan terdengar. Tanaka lebih dulu keluar dan aku buru-buru menyusul. Sedangkan Bang Irfan, sopir kami, dengan senang hati menunggu di basement. Karena sudah melalu pemeriksaan p******a klinis beberapa hari yang lalu, maka hari ini Tanaka hanya melakukan tes saja. Asisten dokter langsung menyambut kedatangan kami dan lebih beramah-tamah pada Tanaka. Setelah berbasa-basi dengan mengajak aku kenalan, Mbak Yuli–asisten dokter–langsung menuntun kami memasuki sebuah ruangan, yang di mana Dokter Sintia sudah menunggu. “Dok, langsung lakukan pemeriksaan saja. Saya sedang dalam suasana buruk hari ini,” ujar Tanaka, sedangkan tangannya sibuk melepas hoodie tanpa malu, seolah sengaja untuk memamerkan tubuhnya yang nggak dipungkiri memang bagus. “Ralat, bukan hanya hari ini, tapi dimulai semenjak saya melewati pemeriksaan pertama. Ini sungguh aneh dan memalukan sekali. Tidak ada laki-laki yang terkena kanker p******a kecuali saya.” “Pria juga punya p******a, jadi, tidak ada yang salah dengan hal itu.” Dokter Sintia tersenyum. “Berbaring, Naka.” Aku di sini bertugas sebagai pendengar dan penonton saja. Saat Dokter Sintia mengoleskan gel di d**a kiri Tanaka dan mulai menggerakkan transduser, aku melongo melihat itu. Ini pertama kalinya menyaksikan pasien kanker p******a diperiksa, parahnya pasien itu laki-laki. “Ultrasoniknya menunjukkan bagian putih di sana,” jelas Dokter Sintia serius. “Akan ada pemeriksaan lanjutan setelah ini.” Helaan napas berat Tanaka terdengar. “Apa memang separah itu?” Dokter Sintia menggeleng, wajah keibuannya terpancar lembut. “Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Jadi, sekali tes lagi untuk memastikan.” Kalau dalam keadaan begini Tanaka jadi terlihat kasian. Benar kata orang, hidup itu nggak ada yang sempurna. Contohnya Tanaka, uang banyak, wajah tampan, popularitas tinggi dan diidolakan banyak orang, tapi penyakitan. Mending kayak aku, walau pun ada hutang, tapi punya badan sehat wal’afiat dan itu merupakan hal berharga yang nggak bisa ditukar dengan apa pun. *** Wajahku pias dan pucat sampai sekarang. Suara teriakan Tanaka masih terngiang-ngiang di kepala, bahkan ingatanku masih mengulang-ngulang bagian saat d**a Tanaka dites mammografi. “Mia, aku butuh air.” Ngeri sekaligus ngilu dan nggak akan bisa membayangkan gimana rasanya. Bahkan, aku melihat sendiri wajah Tanaka yang putih langsung memerah saat tes berlangsung. “Mia.” Amit-amit jangan sampai ini terjadi sama orang-orang kesayanganku. Cukup Tanaka aja yang ngalamin. “MIA!” “Hah? Apa?” Aku cepat menoleh. “Ngomong apa, Om?” “Apa yang kamu pikirkan? Aku butuh air sekarang!” “Oh, sebentar.” Aku langsung menuju dapur dan kembali dengan segelas air dingin. “Mau makan siang atau istirahat, Om?” tanyaku saat menyodorkan air. “Sekarang jam berapa?” “12.15.” “Istirahat. Kondisiku makin memburuk sepulang dari rumah sakit. Oh iya, buang semua masakan yang tadi pagi kamu masak. Rasanya seperti neraka, orang sehat saja langsung sakit setelah mencicipinya. Apalagi orang yang sakit sepertiku, bisa saja langsung meninggal.” Bagus, hinaanmu memang nggak pakai bismillah, ya. “Oke. Ada lagi, Om?” “Tentu saja ada. Sudah kuingatkan jangan memanggilku om. Umurku baru 27, Mia.” “Prinsipku, siapa pun yang lebih tua maka pantas kupanggil om.” Tanaka mengibas-ngibas tangannya mengusir. “Kamu cari kesibukan sana. Kepalaku semakin pusing kalau kamu tetap di sini. Jangan lupa menghubungi Mbak Zha, bilang aku butuh permen besok malam.” Bukan sok rajin, tapi aku memang digaji untuk ini. “Apa aku saja yang membelinya, Om? Di bawah ‘kan ada minimarket.” “Permen versiku berbeda dengan versimu. Sudah, katakan saja pada Mbak Zha, dia akan mengerti.” “Oh, yaudah.” *** “Tugasnya di kumpul minggu depan. Untuk presentasi diambil secara acak, jadi semua kelompok harus mempersiapkan diri. Itu saja, terima kasih. Selamat siang.” Setelah dosen keluar, aku memasukkan binder ke dalam tas dan langsung menghampiri Alka untuk mengajaknya ke kantin. “Mie ayam, bakso, batagor atau nasi goreng?” “Bakso,” jawab Alka. “Bagus, gue mie ayam dan lo yang bayarin.” “Cewek matre!” Alka menjepit kepalaku di ketiaknya. “Yang kerja siapa yang minta bayari siapa.” “Gue, lah!” Kami keluar kelas masih dalam keadaan berangkulan. Banyak yang salah paham hubungan kami ini, tapi memang nggak lebih dari teman, kok. Serius. Alka nggak cinta aku dan aku nggak cinta Alka. Kami cuma saling sayang, sebagai sahabat tentunya. “Met, lo pernah dengar cowok kena kanker?” “Ngaco lo!” Jitakan Alka mendarat di pelipis dan aku mengaduh kesakitan. “Gue serius!” “Ada yang lebih serius, Kim, yaitu nemuin tempat duduk. Cacing gue udah lapar.” Kepala Alka celingak-celingung saat kami tiba di kantin. “Nah, di sana!” Dan, Alka langsung menyeretku. Alka memesan bakso dan aku mie ayam. Setelah pesanan diantar, aku memfotonya lebih dulu dan mempostingnya di story w******p, caption-nya berupa emoticon ileran. Aku emang sealay itu, jadi jangan kaget. “Bener, ya, Ka, bayarin.” “Iya-iya. Makan dulu yang kenyang baru mikirin bayaran.” Dua biji bakso dilahap Alka sekaligus, begitu juga aku menyusul memakan lahap mie ayamku. Ponsel yang tadi kuletakkan di samping bergetar. Layarnya menampilkan pesan dari Tanaka, bunyinya seperti ini. Manusia sombong : [Mia aku belum pernah makan mie ayam di situ. Bungkus dua untuk dibawa pulang. Sambalnya dipisah.] Kan? Emang nggak salah aku membenci Tanaka. Hanya butuh beberapa hari mengenal saja untuk memunculkan sifat aslinya ke permukaan. Tapi gimana lagi, aku ‘kan butuh uangnya untuk bayar hutang sama Mbak Lena, jadi harus tahan-tahan aja sama dia. *** Rasanya aku mau nangis keras-keras tapi nggak bisa. Bayangkan, aku nggak punya earphone, headphone dan sejenisnya untuk menutup telinga sedangkan di ruang tamu sana, dua orang nggak tau malu itu mendesah kencang sekali. Pantas saja Tanaka bilang permen versinya berbeda dengan versiku. Ternyata permen berbeda itu bentuknya manusia. Bisa bergerak, bisa bersuara, bahkan bisa semuanya. Pengen keluar dari sini, tapi nggak bisa karena Tanaka memberi titah untuk mengunci diri di kamar. Ternyata seperti ini kelakuannya? Pantas saja dikasih azab oleh Tuhan. Tanaka memang luar biasa penuh kejutan sekali. Aku jadi menyesal menyetujui kontrak kerja dengannya dan batal menyesal saat mengingat nominal gajinya. Ah, drama buah simalakama banget. Layar ponsel menyala dan nama Mbak Zha muncul. Aku segera menggeser ke tombol hijau kemudian menempelkannya ke kuping. “Halo, Mbak?” “Permen Naka udah pulang, Kim?” “Belum, Mbak!” Antara ingin berteriak dan berbisik. “Mereka di luar. Tidak tau main di mana tapi heboh.” Terdengar tawa kecil di seberang sana. “Inilah salah satu pekerjaan saya sebagai manajer Naka. Idola yang dipuja-punya banyak orang itu aslinya tidak sesuai dengan ekspektasi.” “Tapi, kenapa selama ini tidak satu pun skandal tentang Naka diberitakan, Mbak?” “Agensi bekerja keras untuk menutupi semua itu.” Aku mengangguk-angguk. “Tidak heran, sih, Mbak. Tapi, kebiasaan ini dimulai sejak kapan? Apa sering Naka meminta permen?” “Saat orang tuanya meninggal dua tahun yang lalu. Naka butuh permen saat pikirannya kacau dan perlu melampiaskan. Tidak sering, seminggu sekali atau satu bulan sekali. Permennya pun tidak sembarang, Kim, mereka harus benar-benar bersih dari penyakit dan bisa dipercaya. Tentunya juga sesuai dengan keinginan Naka.” “Bayarannya berapa, Mbak?” “Tergantung. Kalau menurut Naka oke, maka akan dibayar banyak.” Ngeri! “Oh iya, kenapa Mbak menceritakan ini sama saya?” “Ya ‘kan posisinya sekarang kamu pengganti saya. Tugas ini selanjutnya kamu yang urus. Nanti saya kasih tau permen-permen yang sering Naka bayar, kalau Naka mau, kamu tinggal hubungi mereka.” Pantes yang dicari asisten multitalenta, soalnya harus bisa ngerjain semuanya. Gaji besar nggak menjamin kenyamanan saat bekerja ternyata. “Iya, Mbak, saya ngerti.” “Dan lagi, Kim, saya percaya kamu itu beda. Bahkan kalau dari kacamata saya, kamu terkesan tidak menyukai Naka.” Aku nyengir sendiri. “Kok tau, Mbak?” “Bicaramu pada saya dan pada Naka berbeda. Terlihat sekali kalau kamu menghormati saya ketimbang Naka yang notabenenya bosmu sendiri. Kim, sudah dulu, ya. Kalau ada apa-apa, telpon saja.” “Siap, Mbak Zha.” Setelah itu panggilan terputus, bersamaan dengan bunyi pintu kamar diketuk dan disusul dengan suara Tanaka, “Mia main petak umpetnya udah berakhir. Kamu bisa keluar sekarang, aku lapar.” Mukul majikan sendiri boleh, nggak?! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN