BAB 1

2360 Kata
Ibu Kost Cetar : [Kimi, kalau sampai besok pagi nggak bayar uang kost, terpaksa kamu Ibu usir!] Ibu Kost Cetar : [Udah dua bulan masih Ibu diemin. Ini masuk bulan ketiga, kamu sehat?] Ibu Kost Cetar : [Ayo ngaku, kamu pasti korup uang kost yang dikirimin orang tuamu tiap bulan, kan?] Mukaku langsung kecut setelah membaca pesan dari Ibu Kost. Kok tebakan beliau bisa bener, sih? Aku ‘kan jadi malu-maluin. “Kimi, udah siap?” Cepat-cepat aku memasukkan ponsel ke dalam tas kemudian menoleh. “Udah, Mbak Lena. Tapi ... emang pakaiannya harus pendek gini, ya?” “Harus, dong! Ini ‘kan Bar, mana ada seragam panjang kayak gamis.” “Ya nggak gitu juga, Mbak. Maksudku, apa nggak ada yang lebih panjang lagi? Yang hampir deket lutut, gitu? Ini kalo aku nunduk celana lapisnya kelihatan, lho.” “Udah nggak usah banyak komplain. Ayo, nanti bos marah!” Mbak Lena langsung menarikku keluar dari ruang ganti. Lorong yang kami lewati ini hanya memiliki lampu redup sebagai penerangan, melewati sepuluh pintu setelahnya pun–yang merupakan dari ujung lorong– lampunya tetap saja redup, bedanya di sana ramai. Karena di sana adalah pusat dari tempat ini. “Bener ‘kan, Mbak, aku cuma anterin minuman aja? Nggak ngelakuin yang aneh-aneh?” tanyaku memastikan. “Iya. Kalau sampai Mbak berbohong, nih potong aja tali BH.” Mbak Lena menarik tali itu kemudian melepaskannya sambil tertawa. “Cuma malam ini aja, kok. Selanjutnya kamu nggak perlu injekin kaki di sini lagi.” “Kalau nggak butuh uang mana mau aku ke tempat ginian, Mbak.” Semakin kami mendekat, semakin suara musik memekak telinga. Aku yang nggak terbiasa merasa sangat risih dan nggak enak sekali. Jantungku seperti diinjek-injek saat musik berdentum-dentum. Mbak Lena tiba-tiba menghentikan langkahnya dan otomatis aku pun ikut. Tatapan Mbak Lena lurus padaku, bahkan, kedua bahuku dipegangnya. “Kimi, walau pun bayarannya nanti nggak cukup buat bayar kostmu, Mbak bisa tambahin. Yang paling penting kamu bantu Mbak malam ini. Oke?” “Oke, Mbak. Aku ngerti.” “Bagus! Kalo gitu, kamu langsung ke Nendra aja. Dia yang bakal ngasih tugas buat kamu, Mbak udah ditunggu klien. Selamat bekerja, Sayang.” Setelah mengedipkan sebelah mata, Mbak Lena berjalan menjauh, menuju deretan sofa panjang yang sudah diisi beberapa orang. Lenggak-lenggok jalan serta p****t berisinya tidak luput dari penglihatanku. Mbak Lena memang body goals idaman. d**a maju, b****g mundur. Kalo kami berdiri bersisian, ibaratkan biola disenderin ke triplek. Dia berlekuk aduhai dan aku datar alias tepos. Nasib banget jadi cewek serba rata! Sebelum lamunan ini kemana-mana, aku mengerjapkan mata sebentar kemudian mengambil arah sebaliknya dari Mbak Lena. Agak sedikit kesulitan menuju meja bartender saat harus melewati kumpulan manusia yang sibuk menggerakkan badan. Bahkan beberapa dari mereka nggak sengaja ketabrak, untungnya, sih, nggak ada yang protes. “Om!” teriakku sambil mengetuk-ngetuk meja, semoga saja dia dengar. “Om, tugas saya apa?!” Kegiatan mengocok-ngocok minuman terhenti, alisnya naik sebelah sambil menatap aneh padaku. “What, Om? Saya tidak setua itu.” “Pokoknya yang brewokan saya panggil Om!” keukeuhku. “Wajah baru, Ya? sepertinya kamu menyebalkan.” “Iya!” Nyolot sambil jujur ceritanya. Yang dia katakan sama sekali bukan tuduhan semata, melainkan kenyataannya. “Cepet kasih tau!” “Sebentar. Oh iya, saya Ganendra, panggil saja Nendra.” “Siap, Om Nendra!” “No, Nendra saja, tidak perlu embel-embel ‘om’.” “Iya, Om!” Dari raut muka, sepertinya Om Nendra mulai kesal, tapi it’s ok karena hobiku memang membuat orang lain kesal. “Antar minuman ini ke meja sana! Jangan sampai membuat kesalahan!” Om Nendra meletakkan satu botol anggur merah bersama gelas berkaki di atas nampan. Setelahnya, langsung disodorkan ke depanku. “Langsung balik ke sini. Banyak pesanan yang perlu diantar.” “Oke!” Menuruti jejak Mbak Lena, aku mengedipkan mata satu kali dan membawa nampan pergi setelahnya. Meja yang dimaksud Om Nendra tadi diisi oleh pria dengan potongan rambut ala-ala tentara. Kuperkirakan usianya sama seperti bapak, tapi, yang ini agak keren karena mainnya di kantor, sedangkan bapak mainnya di sekolah, ngadepin bocil-bocil nakal naudzubillah. Aku meletakkan botol anggur berikut dengan gelasnya di atas meja, dan mulai menuangnya ke dalam gelas disertai senyum yang dimanis-maniskan. “Apakah ada yang lainnya, Pak?” tanyaku setelah selesai. Matanya menelitiku dari atas kepala sampai ujung kaki. Nggak sopan! “Pegawai baru, ya?” “Kok Bapak bisa tau?” Yaampun, jawabannya mirip kayak cewek-cewek yang lagi digombali. “Saya langganan di sini, jadi hapal hampir semua pekerjanya.” Tatapannya semakin intens, sedangkan tangannya sibuk menggulung lengan kemeja. “Kamu tadi tanya, saya perlu apa, kan? “Iya, Pak.” “Sini, mendekat.” Hawa-hawanya nggak enak, tapi, nggak boleh berpikiran buruk dulu. Maju satu langkah dan posisiku sekarang tepat di samping si Bapak. “Silahkan, Pak.” “Saya butuh ...” Tangannya bergerak mengusap lengan kiriku tapi berusaha kutepis sesopan mungkin. “Teman.” “Segera dicarikan, ya, Pak.” “Kenapa harus mencari? Kamu ‘kan bisa.” Tadinya aku sudah mau pergi, tapi si Bapak m***m ini menahan lenganku. “Mau berapa kamu?” Eh sialan, ya! “Saya cuma pelayan di sini, Pak!” Nada bicaraku mulai tidak santai. “Kalau teman yang dimaksud Bapak, mereka tidak akan berpakaian seperti saya.” “Alah, apa bedanya?!” Si Bapak berdiri, kemudian dengan lancangnya meremas bokongku. “Kamu dan mereka sama, pelayan. Melayani semuanya dan setelah itu dibayar.” Kutarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Setelah berulang tiga kali, aku balas menatap mata m***m si Bapak kurang ajar. “Anda pernah ditonjok?” “Maksud kamu?” Tanpa berpikir lagi, kepalan tangan kananku menghantam hidungnya. “Menjijikkan! Udah bau tanah tapi malah makin nggak beres! Gila m***m!” Bahkan, aku menendang selangkangannya! “Mati sana penghuni neraka!” Si Bapak menjerit kesakitan memegangi pangkal hidung dan selangkangannya bergantian. Kami sudah menjadi pusat perhatian dan mengundang tanya orang-orang. Setelah puas memberi pelajaran, aku langsung berbalik pergi. “Kamu beraninya!” teriak si Bapak di sela rintihan. “Berhenti!” Nggak kupedulikan panggilannya. Dengan rasa kesal yang meluap-luap, kulepaskan sepatu hak tinggi dan kulemparkan sembarang. Semoga pulang dari sini Anda diterima di sisi Tuhan, Pak! *** “Pokoknya saya nggak mau tau, teman kamu ini harus minta maaf sama Pak Pratamo!” “Saya yang akan mewakili Kimi untuk meminta maaf, Bos. Pak Pratamo pasti tidak keberatan.” “Terserah kalian! Intinya masalah ini harus beres! Kalau sampai saya kehilangan pelanggan seperti Pak Pratamo, kamu akan melayani klien di sini tanpa menerima bayaran sepeser pun, Lena!” Usai marah-marah, pemilik bar langsung pergi dengan wajah memerah. Jika kuhitung, tadi ada lebih dari sepuluh kali iler muncrat dari mulutnya. Soal mendarat di mana, aku kurang tau karena aku tepat di samping Mbak Lena, tapi, agak mundur untuk mengamankan diri dari omelan. “Kimi,” panggil Mbak Lena. Bergegas aku mendongak dan nyengir lebar. “Jelaskan! Mbak belum mendengar alasan kamu memukul Pak Pratamo.” “Bukan salahku, kok, Mbak. Orang tua itu m***m dan menjijikan!” Lalu, aku menceritakan semuanya sampai selesai. Mbak Lena mendengarkan dengan serius. Tarikan napas Mbak Lena terdengar setelah keseluruhan cerita usai kubeberkan, tangannya bergerak memijit-mijit pundak. “Kamu memang tidak perlu meminta maaf, tapi, orang tua itu tidak akan melepaskanmu begitu saja, Kim.” “Terus gimana, dong?” tanyaku khawatir. “Mbak yang akan mewakilimu.” “Tapi ... Mbak nggak apa-apa?” Tatapanku turun sesaat ke leher Mbak Lena kemudian kembali naik ke manik matanya. Sebenarnya dari tadi aku berusaha untuk mengabaikan jejak merah itu, tapi nyatanya nggak bisa juga. “Gimana kalau Pak Pratamo balas dendam lewat Mbak?” “Biasa, Kim. Ini ‘kan memang pekerjaan, Mbak.” Raut sesal langsung menghiasi wajahku, Mbak Lena yang melihat itu tersenyum kemudian menggeleng. “Udah, dong. Harusnya Mbak yang minta maaf udah seret-seret kamu ke sini.” “Ya ‘kan itu kemauanku sendiri untuk menerima karena memang butuh uang.” Ah, mengingat uang, kepalaku jadi sakit lagi. Setelah insiden tadi, aku yakin tidak akan dapat bayaran sepeser pun dan besok terancam jadi gelandangan. Gini amat nasib! “Udah-udah, jangan murung. Kamu ganti pakaian dan tunggu di ruang ganti, Mbak akan nyusul dan kita pulang bareng kalau urusan dengan Pak Pratamo selesai. Uang kost jangan dipikirkan, Mbak bisa bantu, kok. Kompensasi untuk kejadian malam ini.” “Tapi, Mbak–” “Gih sana.” Mbak Lena mengibaskan tangan isyarat menyuruhku pergi. Ingin menolak, tapi, Mbak Lena keukeuh bilang nggak pa-pa. Terpaksa aku menurutinya, walau pun rasa bersalah dan tidak enak semakin menggebu-gebu di d**a. *** Aku bermimpi buruk Ibu Kost melempar semua pakaianku di halaman, efeknya benar-benar terasa nyata sampai aku bangun dalam keadaan terengah-engah. Butuh waktu lima menit untuk menenangkan, lima menit untuk normal, dan lima menit untuk mencerna situasi. Gila sudah pukul enam pagi ternyata! Aku langsung panik grasak-grusuk nggak jelas. Bersamaan dengan itu, bunyi notif pesan masuk membuatku mematung. Jangan-jangan ... Ibu Kost Cetar : [Kimi, Hani, lain kali jangan telat lagi, ya, Sayang. Kalau lunas gini ‘kan enak.] Ibu Kost Cetar : [Kalau sibuk nugas, bayarnya transfer aja, ya, Hani. Nggak usah dititip sama Lena.] Hah? Mbak Lena? Bergegas aku keluar dari ruang percakapan dengan Ibu Kost dan ternyata tepat di bawahnya sudah ada pesan dari Mbak Lena yang dikirim pukul tiga tadi. Mbak Lena : [Pagi sampai sore Mbak tidur. Jangan diganggu. Kalau merasa nggak enak, anggap aja itu pinjaman dari Mbak. Lunasinnya pas udah ada uang.] Di satu sisi aku lega dan di sisi lain tetap saja rasanya nggak enak karena punya utang. Tanggal muda masih lama, sedangkan di sini uang jajan udah kayak sungai di musim kemarau, kering. Satu-satunya cara adalah mencari pekerjaan lagi, tapi di mana? Ah, pusing! *** Karena hari ini nggak ada kuliah, aku main ke kost Mbak Lena terus heboh bangunin dia tidur. Hasilnya, setelah ngomel-ngomel, Mbak Lena mandi dan kami sarapan dengan aku minta ditraktir bubur ayam depan komplek. Sifatku ini komplit, nggak enakan dan nggak tau maluan. Ya mau gimana, ya, emang udah gitu dari sananya. [Setelah memenangkan penghargaan best artist of the year, Tanaka Kawindra membuat pengumuman mengejutkan untuk beristirahat dari dunia hiburan selama satu tahun. Hal ini tentu saja membuat fans heboh. Benarkah ada kaitannya dengan insiden pingsannya Naka beberapa minggu yang lalu?] Suara host acara gosip membuatku buru-buru mendelik ke arah televisi dan beralih ke Mbak Lena. “Pindah, dong, Mbak. Nggak penting banget berita ini.” Mbak Lena cepat menyembunyikan remot dan fokusnya sama sekali tidak berpindah. “Kamu diam, Kim, ini aktor favorit Mbak. Sedih pagi-pagi udah denger kayak gini, padahal baru tadi malam nonton dia pas lagi jalan di red carpet.” “Yaudah, sih, aku nggak peduli juga, Mbak.” Selanjutnya, Mbak Lena tenggelam dengan berita istirahatnya Tanaka dan aku sibuk menghabiskan bubur. Jika dibuat daftar orang yang paling tidak kusukai di dunia, Tanaka Kawindra adalah salah satunya. Bukan, bukan karena aku iri dengan popularitasnya, ketampanannya, kekayaannya, tapi, ya karena benci aja. Suka sama seseorang nggak ada alasan, begitu juga dengan benci. Pokoknya, bahasa keren untuk posisiku ini adalah anti-fan. Walau pun katanya Tanaka ganteng, tetap aja aku nggak suka. Walau pun katanya film atau drama yang ada Tanakanya selalu bagus, tetap menurutku enggak. Walau pun katanya Tanaka pantas mendapat banyak penghargaan, tapi di mataku malah enggak pantas. Intinya nggak suka semua-muanya. Titik! “Kim, Naka udah seratus persen vakum satu tahun dari dunia hiburan. Gimana ini? Mbak udah cinta mati sama dia.” Mbak Lena memang nggak setengah-setengah menyukai Tanaka. Isi kostnya ini hampir semua tentang Tanaka. Poster di dinding, gelas, baju, sarung bantal sama guling, boneka, dan lain-lainnya masih banyak lagi. “Sebagai fans yang baik, Mbak seharusnya mendukung semua keputusannya,” jawabku acuh, sambil sibuk berbalas pesan dengan Alka sekarang. “Mbak jadi galau, Kim. Mau nangis.” Jariku berhenti mengetik sebentar kemudian beralih menatap Mbak Lena. Eh, buset, beneran matanya berkaca-kaca. “Serius, Mbak?!” “Kim.” Mbak Lena mulai tersedu-sedu. “Astagfirullah.” Kepalaku menggeleng-geleng. “Sumpah aku nggak ngerti dan nggak akan mau mengerti gimana rasanya jadi fans fanatik dari seseorang, apalagi Naka!” *** Mungkin aku adalah salah satu dari anak solehah, sebab baru tadi malam berdoa supaya dapat pekerjaan, eh, siangnya beneran dapat. Jadi, ceritanya teman dari temanku bilang sepupunya butuh asisten rumah tangga yang multitalenta. Gajinya buanyak buanget, tempat tinggal pun udah dijamin sama mereka. Aku yang dikasih info ini langsung berbintang-bintang dan ngangguk tanpa mikir panjang. Selesai kuliah, aku minta anterin Alka untuk ketemu mereka. Tempatnya udah janjian lewat pesan karena temannya dari temanku ngasih info ini bersamaan dengan nomor ponselnya. “Lo nggak takut ditipu, Kim?” tanya Alka memastikan. “Met, denger, ini tawaran dari sepupu temannya teman kita. Lo nggak perlu khawatir.” “Yaudah. Mau ditemenin ke dalam atau gue nunggu di luar aja?” “Di sini aja, pesan minuman jangan lupa. Gue ke dalam dulu, Jamet.” Setelah menyerahkan helm, aku melambai pada Alka dan memasuki kafe dengan langkah ringan ceria. Semoga ini beneran rezeki anak solehah. Bangku paling pojok jadi incaran. Sambil menunggu, aku memesan vanilla latte dan sibuk melihat Alka dari balik kaca. Jamet satu itu duduk adem anyem sambil main ponsel, di sini kacanya satu arah jadi yang di luar nggak bisa lihat ke dalam.  Hampir sepuluh menit terlewat, akhirnya lawan membuat janji temu tiba. Aku langsung berdiri menyambut, kami berjabat tangan lebih dulu dan memperkenalkan diri untuk kedua kalinya. “Kimia Avantika.” “Zhafira.” Setelahnya kami duduk dan Mbak Zha memesan minuman untuknya lebih dulu. Perempuan di depanku ini seperti nggak asing, tapi aku lupa pernah lihat dia di mana. “Di pesan udah deal, pertemuan ini langsung membahas kontrak, ya, Kim.” Wah, apa asisten rumah tangga butuh kontrak juga? Aku nggak tau, tuh. “Iya, Mbak.” Setelah pesanan Mbak Zha sampai, dia minum sebentar kemudian mengeluarkan berkas dari dalam tasnya. “Ini butuh cepat. Setelah dapat tanda tangan, kamu langsung pindah dan mulai kerja besoknya,” ujar Mbak Zha, berikut menyodorkan map ke depanku. “Dibaca baik-baik. Kalau ada poin yang tidak kamu setuju, katakan saja biar kita diskusikan bersama.” Aku langsung membuka dan membaca isinya berurutan. Kontrak kerja : Pihak Pertama : 1.        Menjamin tempat tinggal pihak kedua. 2.        Memberikan gaji sesuai yang tertera di kontrak pada pihak kedua. 3.        Berhak melakukan apa saja seandainya pihak kedua membuat masalah. Pihak Kedua : 1.        Harus bisa menjaga rahasia. 2.        Bisa melakukan apa saja dan mematuhi apa saja yang menjadi perintah pihak pertama. 3.        Tidak boleh berhenti sebelum masa kontrak berakhir. Sebenarnya ada beberapa poin yang ganjil, tapi melihat nominal gaji aku jadi lupa segalanya. Buru-buru kububuhkan tanda tangan dan menyerahkannya pada Mbak Zha. “Karena ini sudah resmi, besok adalah hari pertamamu.” Mbak Zha menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Tugasmu akan  dijelaskan siangnya di pethouse. Semoga cara kerjamu sesuai dengan yang kami butuhkan, Kimi. ” “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Mbak,” sambutku. *** Hanya dua tas jinjing barang bawaanku. Kartu akses penthouse sudah dikirim Mbak Zha tadi malam dan sekarang aku di dalam lift pribadi untuk mencapai lantai paling atas. Sepertinya majikanku ini orang kaya tujuh turunan tujuh tanjakan. Buktinya tempat tinggalnya aja di apartemen elit gini, belum lagi kalau mengingat gaji dua digit yang dia kasih. Biasanya ‘kan dalam pekerjaan itu, kalau nggak gajinya yang bermasalah, pasti lingkungan kerjanya yang bermasalah. Tapi, harus mikir postif dulu. Eh, terakhir aku mikir positif ‘kan bapak m***m itu berdarah hidungnya kutonjok. Semoga nggak ada kejadian ulang lagi. Denting lift menandakan sampai di lantai tujuan, setelah terbuka aku langsung keluar dan fokus menuju pintu satu-satunya yang ada di ruangan ini. Kata Mbak Zha, untuk hari pertama harus bunyikan bel, walau pun kartu aksesnya udah punya. Kupencet dua kali berturut-turut dan menunggu setelahnya. Tidak lama kenop pintu bergerak kemudian ditarik dari dalam. Aku nunggu sambil deg-degan, siapakah orang beruntung yang menjadi majikanku? “Ada perlu apa?” tanyanya serak. “Oh, asisten rumah tangga dari Mbak Zha?” Astaga! Aku langsung nggak bisa berkata-kata. Dunia ini terlalu sempit atau gimana sampai-sampai orang yang kubenci ternyata jadi majikanku sendiri. YA! DIA TANAKA KAWINDRA! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN