BAB 3

1901 Kata
“Mbak Lena!” Aku berdiri dan melambai-lambai padanya. “Sini sini.” Mbak Lena tersenyum dan mempercepat langkahnya. “Kimi, Mbak kangen,” ujarnya saat kami sudah berhadapan dan berpeluk-pelukan. Sebagian pengunjung kafe langsung menatap aneh tapi kami nggak peduli. “Di kost nggak ada temen ngobrol lagi. Penghuni lain, kamu taulah kalau mereka menjauhi Mbak gara-gara pekerjaan Mbak apa.” “Duuuh yang sabar, Mbakku. Ayo duduk dulu, biar aku yang pesenin minum. Mbak mau apa?” “Smoothie aja. Makasih, Kimi.” “Sip.” Aku langsung menuju counter dan mencatat pesanan kami berdua, setelahnya kembali lagi dan lanjut ngobrol. “Udah ada penghuni baru, Mbak? Ini udah lewat lima hari setelah kepindahanku.” “Denger-denger, sih, ada. Tapi, nggak tau lagi. Oh iya, gimana pekerjaanmu?” “Gajinya besar, pekerjaannya berat. Jangan lupa majikan yang menyebalkan.” Mengingat Tanaka aku langsung mencebik kesal. “Di rumah itu nggak ada istilah beradaptasi. Dia kaget dengan kelakuanku dan aku juga kaget dengan kelakuannya. Pertemuan pertama asal dia tau namaku, selanjutnya terserah yang penting aku kerja dan menuruti semua perintahnya.” “Cowok atau cewek?” tanya Mbak Lena penasaran. “Udah menikah atau belum?” “Cowok aneh yang menyebalkan. Dia belum nikah tapi kawin sering.” “Jejeran klien, Mbak, dong. Kaya nggak? Kenalin, deh, Kim.” Belum disebut namanya aja Mbak Lena udah menawarkan diri gini. “Entar, deh, aku tanyain sama orangnya. Soalnya dia udah punya stok sendiri, kalau butuh langsung hubungi aja.” “Wow, tipe-tipe eksekutif muda yang punya koleksi slave. Pasti ganteng.” “Untuk yang pertama salah dan yang kedua nilanya sepuluh dari sepuluh.” “Nggak pa-pa yang penting kaya dan ganteng!” seru Mbak Lena antusias. “Jangan sampai lolos. Harus kenalin dia sama Mbak, ya, Kim!” Aku mengangguk malas-malasan. Waitress mengantarkan minuman tepat saat aku sedang membuka pesan yang baru saja masuk. Ibu : [Lagi banyak tugas, Nak? Ibu sama adek-adek kangen.] Dasar aku! Orang tua sendiri nggak dihubungi hampir satu minggu. Untung mereka nggak ngutuk, kalau sampai iya, kelar sudah. Me : [Nanti malam Kimi telpon, ya, Bu.] Setelah meletakkan ponsel di samping, aku menyesap minuman dan mendengarkan Mbak Lena yang sibuk bercerita tentang kliennya tadi malam. *** “Mia, tidak ada tuan rumah yang baik hati sepertiku.” Alisku naik sebelah, sedangkan mulut sibuk mengunyah. “Baik dalam segi apa, Om?” “Untuk ukuran asisten rumah tangga yang pekerjaannya tidak memuaskan, gajimu terlalu banyak kuberikan. Tempat tinggal, bahkan tempat tidur pun bagus. Jangan lupakan keadaan sekarang, kamu makan satu meja denganku.” “Begitu?” “Iya. Seharusnya sekarang kamu berlutut di depanku atau setidaknya mengucapkan terima kasih.” “Terima kasih.” “Bagus.” “Tapi boong.” Setelahnya aku tergelak kencang. Tanaka yang merasa ditipu langsung membanting sendok. “Gadis sialan! Aku mengabaikannya dan masih berusaha menyelesaikan sisa-sisa tawa. Sekarang aku merasa keren sekali karena bisa mengerjai Tanaka. Ada nggak ya asisten sepertiku? Kalau nggak ada, yaudah aku aja yang meng-adakannya. “Malam ini aku mau keluar.” “Terserah, sih, asal jangan pulang pagi. Kamu butuh tidur, Om, dan pukul sebelas besok kita ke rumah sakit untuk mengetahui hasil tes.” “Aku tau dan tidak perlu diingatkan lagi.” Tanaka menggeser kursinya lalu bangkit. “Mia, jangan bilang pada Mbak Zha. Kalau sampai itu terjadi, gajimu kupotong setengah.” “Tenang, Om, aku selalu bisa diandalkan dalam menyimpan rahasia.” Tanaka mengibaskan tangan kemudian meninggalkan ruang makan setelahnya. Pandanganku membuntuti pundaknya yang mulai menghilang setelah melewati dinding pembatas. Dalam hati aku sudah berteriak kesenangan, tuan rumah tidak ada maka pembantu merasa jadi raja sekarang. *** “Eh, gila! Sempak siapa ini?!” Refleks aku membuangnya ke lantai dan menggosok-gosok tanganku ke baju setelahnya. “Parah, sampai benda gini aja disimpan. Tanaka memang the real f**k boy!” Penjelajahanku berlanjut pada laci-laci yang ada di walk in closet Tanaka dan membukanya satu persatu. Ada tempat khusus jam tangan, khusus dasi, khusus boxer dan yang terakhir membuatku ngeri, sekumpulan kondom. “Wah, Tanaka, wah ... sampai aku nggak bisa berkata-kata lagi.” Bahkan, tanganku tanpa sadar mengusap-usap d**a. “Kenyataannya sekarang terlalu banyak minus ketimbang plus. Aku makin-makin nggak suka sama kamu, Om.” Puas melihat-lihat dan berkomentar sendiri, aku merapikan kembali semua barang yang pernah kusentuh kemudian keluar dari sana setelahnya. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh dan rasa kantuk tak kunjung menghampri. Jadi, kuputuskan sekarang untuk duduk di ruang tamu. Sambil menunggu kepulang Tanaka, aku juga menelpon ibu. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalamm, Nak.” “Masih belum tidur, Bu?” “Belum. Tadi habis bikinin bapak kopi. Kimi sendiri kenapa belum tidur?” “Belum ngantuk, Bu. Oh iya, Danis, Kei sama Mei udah tidur?” “Udah. Selesai belajar bareng tadi udah masuk kamar masing-masing. Kimi sehat, kan? Uang masih ada?” “Alhamdulillah sehat. Ibu sama bapak gimana? Adek-adek? Uang Kimi masih ada. Cukup, kok, sampai awal bulan nanti.” Bapak seorang guru SD sedangkan ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Aku punya tiga adek, yang pertama Daniswara, yang kedua Keina dan yang ketiga Meila. Alasanku sebelumnya sering korup uang kost karena uang yang dikirim tidak banyak sedangkan kebutuhan di sini besar. Untuk meminta tambahan aku tidak tega karena di sana pun sulit juga. Memang benar bapak PNS tapi bukan golongan tinggi. Gaji yang diterima satu bulan pas-pasan untuk biaya makan satu bulan juga. Itu pun sering kurang. “Alhamdulillah semua sehat. Mau ngomong sama bapak, Nak?” “Emang bapak lagi ngapain? Kalau sibuk mending nggak usah, takutnya Kimi ganggu.” “Bikin soal UTS. Ibu mau bantu tapi nggak ngerti, jadi, ya, cuma nemenin duduk aja.” Aku tersenyum mendengarnya. “Itu malah lebih membantu, Bu. Nanti aja ngomong sama bapak pas lagi nggak sibuk.” Sesaat aku terdiam dan selanjutnya memberanikan diri untuk jujur. “Bu, kalau Kimi kerja gimana? Ibu sama bapak setuju?” “Kerja apa, Nak? Kimi butuh uang kenapa nggak kasih tau ibu?” “Eee ...” Aku menggigit bibir bawah. “Enggak, biar ngisi waktu aja, kok. Gajinya juga lumayan, malah bapak sama ibu bulan depan nggak perlu lagi ngirim uang dan gantian Kimi yang ngirimin uang buat bapak sama ibu.” “Kimi belum jawab pertanyaan ibu tadi. Kerja apa, Nak?” ulang ibu nggak sabaran. “Apa itu tidak menganggu kuliahmu?” “Asisten rumah tangga, Bu. Kerjaannya nggak berat-berat amat, kok.” “Ibu tidak mengizinkan takutnya kamu tidak bisa membagi waktu dan tidak bisa istirahat. Tapi, tidak bisa juga melarang karena ibu tau kamu melakukan semua ini karena uang yang dikirim selalu kurang. Maaf, ya, Nak.” Hidung dan mataku tiba-tiba memanas. Sebelum tumpah, lebih baik aku mengakhirnya sekarang. “Pasti bisa. Gini-gini Kimi sama seperti samson, lho. Badan kurus tulang besi, yang artinya kuat.” Tawa ibu pecah dan aku lega mendengarnya. “Ya sudah, kalau begitu lanjut nanti lagi, ya, Bu. Kimi ngantuk. Salam buat bapak sama adek-adek.” “Iya, Nak. Jaga diri baik-baik di sana, jangan sampai sakit. Kalau ada apa-apa langsung cerita sama ibu, jangan simpan sendiri.” “Oke, Kapten.” Aku tersenyum lagi seolah ibu di depanku. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Panggilan terputus dan untuk sesaat ponselku error karena banyaknya pesan masuk. Hampir tiga puluh dan itu semua dari Mbak Zha. Yang terakhir masuk isinya menyita perhatianku. Mbak Zha : [Kimi siapa yang kamu telepon?! Foto Naka minum di nigth club tersebar. Kalau kamu baca pesan ini segera susul saya sebelum wartawan datang!] Astaga! Sudah tau di tubuh ada penyakit dan sekarang malah minum-minum? Wah, Tanaka benar-benar nggak waras! *** Mobil benar-benar dalam keadaan senyap. Tidak ada satu pun yang berani membuka suara, termasuk aku. Tanaka sendiri terlihat nggak peduli dan lebih memilih memejamkan. Heran, sih, Tanaka yang berbuat salah dan aku yang merasa nggak enak sampai sekarang sama Mbak Zha. “Kim, lain kali jangan membiarkan Naka keluar atau paling tidak jangan membiarkan dia berkeliaran sendiri.” Mbak Zha memecah keheningan. “Memunculkan diri di keramaian bukan waktu yang tepat sekarang. Berita istirahatnya Naka saja masih mengundang protes, jangan tambah lagi dengan scandalnya yang mencuat.” “Iya, Mbak,” jawabku pelan. Parah, aku yang dimarahi sedangkan si pembuat onar tidur dalam keadaan santai. “Kamu nggak tau kalau setiap hari di depan perusahaan, kami kewalahan menangani kumpulan fans Tanaka yang nggak ada bosan-bosannya bertanya tentang pertanyaan yang sama ‘kenapa istirahat?’ ‘beritahu kami alasannya?’ ‘apa yang terjadi dengan Tanaka kami?’.” Terlihat Mbak Zha memijit pelipisnya. “Bersyukur saja mereka tidak tahu penthouse Naka, kalau nggak maka jangan harap ada hari tenang untuk istirahat.” “Memang separah itu?” “Lebih parah. Dua kaca van pecah akibat lemparan batu. Mereka menolak keputusan Naka dan ingin tahu apa alasannya untuk istirahat.” “Kenapa tidak dikasih tahu saja kebenarannya, Mbak,” kataku menyuarakan solusi. “Dan membiarkan satu negara tahu penyakitku? Tidak!” bentak Tanaka tiba-tiba. “Apa kamu pernah mendengar laki-laki terkena kanker p******a, Mia? Tidak, kan? Untuk orang sepertiku, penyakit ini adalah aib. Sama seperti mencoreng arang di wajah!” Mulutku terbungkam, begitu juga Mbak Zha. Suasana mobil kembali hening, kali ini lebih canggung dari sebelumnya. Sisa perjalanan menuju rumah sakit dihabiskan tanpa ada percakapan atau perdebatan lagi. *** “Ini ...” Dokter Sintia menarik napas sesaat dan mengembuskannya. “Kanker payudara.” Suara pekikanku kelepasan dan aku buru-buru menutup mulut sambil meminta maaf. Hanya terdengar detak jarum jam menggema di telinga, sisanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Terdapat sekitar satu persen kasus kanker p******a pada pria yang terdiagnosis per tahun, jadi, ini bukan kasus pertama kalinya.” Dari sisi sebelah kiri kulihat tangan Tanaka mengepal. Entahlah, mungkin untuk melampiaskan kekagetannya atau ... ketakutannya? “Tapi, kamu patut bersyukur, Naka, karena ini masih stadium satu jadi tidak terlalu buruk untukmu.” “Tidak terlalu buruk?” ulang Tanaka, tawanya terdengar hambar. “Hanya berupa dugaan terkena kanker p******a saja sudah membuat saya buruk, apalagi setelah hasilnya dinyatakan positif. Dokter, saya ini laki-laki dan apa yang Dokter katakan tadi tidak benar, kan? Tanaka dan Dokter Sintia saling bertatapan. Melihat tidak ada tanda-tanda respon dari Dokter Sintia, Tanaka mengejutkan kami dengan menghantamkan kepalan tangannya ke atas meja. “Sebagai seorang dokter Anda seharusnya tidak boleh berbohong pada pasien!” Decitan kursi terdengar keras dan Tanaka keluar dengan membanting pintu. Mbak Zha mengkode lewat tatapan, mengisyaratkanku untuk mengikuti Tanaka sedangkan dia perlu membahas kondisi Tanaka lebih lanjut dengan Dokter Sintia. *** Rasanya hampir sepuluh menit aku muter-muter tapi nggak ketemu Tanaka. Pakaiannya yang serba tertutup seharusnya, sih, nggak sulit untuk ditemukan. Nggak mungkin Tanaka pergi ke tempat ramai, dia bakalan kesulitan kalau wajahnya dikenali orang-orang. Ah, daripada pusing sendiri, mending aku beli air mineral dulu. Haus juga lari-larian mengejar orang lari. Balik dari kantin rumah sakit, iseng aku melangkah menuju taman bermain anak-anak dan nggak nyangka menemukan Tanaka di sana. Badannya yang tinggi dengan pakaian yang serba gelap membuatku langsung mengenalinya, apalagi anak-anak bergerombol duduk mengelilingi Tanaka. “Om giginya ompong, ya, jadi ditutup.” Seorang anak bertanya saat aku mendekati mereka. “Pasti malas sikat gigi dan monstelnya belsalang di sana.” “Om botak, ya?” “Nggak gelah pakai jaket, Om?” Masih banyak ocehan-ocehan polos lainnya dan aku diam-diam tertawa geli. Dasar Tanaka, ngapain coba kabur ke sini? “Halo, ada apa ini?” Aku menyapa dan pura-pura bertanya. “Omnya aneh, ya? Bau? Atau gangguin kalian?” “Kakak siapa?” “Iya, Kakak siapa? Om ini anaknya Kakak, ya?” Eh, bocah, pertanyaan macam apa itu? “Enggak. Om ini eeem ... bos Kakak dan Kakak ada perlu sama dia.” “Beli kami pelmen dulu balu bisa bawa pelgi Omnya.” Yaampun anak siapa kamu? Kecil-kecil udah bisa malak. “Sana minta langsung sama Omnya aja. Dia banyak uang.” Tanaka yang dari tadi hanya diam langsung melirik padaku, aku balas dengan cengiran lebar. “Benal itu, Om?” Tidak ada jawaban dari Tanaka dan anak itu menatapku lagi. “Kakak Omnya nggak bisa bicala.” Aku menggeleng-geleng kepala dan membelah lingkarang untuk mendekat. Dengan berani aku meraba-raba saku belakang Tanaka dan mengambil dompet yang untungnya ada di sana. Waw, dompet artis memang beda, ya. Isinya banyak kartu ketimbang uang. Kalau ada uang pun paling cuma dikit dan nominalnya besar. Tatapanku lekat pada satu lembar seratus ribu. Lama aku terdiam dan dengan tidak ikhlas menyerahkannya pada si anak. “Nih ambil.” “Ini bukan pelmen, Kakak. Nggak mau!” Dia nggak tau aja kalau dengan satu lembar ini bisa membeli banyak permen dan memakannya sampai diabetes. “Coba ambil ini, terus bawa uangnya toko yang menjual permen. Mereka mau menukarnya, kok.” “Selius?” “Iya, malah bisa dapat banyak, lho.” “Wuah! Makasih Kakak cantik.” Setelahnya, si anak langsung berlari dengan uang di tangan kanannya. Yang ikut-ikutan menyusul di belakang. “Begitu caramu mengusir anak-anak, Mia?” “Om sudah tahu jawabannya.” Tanaka mendengkus kemudian bangkit. “Sudah menyentuh tanpa izin, mengambil pun tanpa permisi. Benar-benar gadis sialan!” “Aku sudah mendengar ini sebelumnya, Om.” Terdengar dengkusan lagi, kali ini lebih keras. “Kamu menyebalkan! Sekarang, antar aku pulang dan jangan lupa belikan rokok sebelum sampai penthouse.” “Monmaap, apa nggak mau pesan sekalian sama malaikat mautnya? Biar cepat mati dan nggak ngerepotin orang lain.” “Gadis sialan!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN