Deadline-4

2174 Kata
Setelah pembahasan semalam, mereka semua sepakat bahwa pesta pernikahan akan diadakan setelah Alya menyelesaikan skripsinya. Itu juga hal terbaik yang bisa dilakukan. Keduanya pindah ke rumah yang dibeli oleh Daren—Ayah Deva sebagai tempat tinggal mereka. Rumah itu memang sengaja dibeli untuk anaknya ketika sudah berkeluarga. Siapa tahu ternyata waktu itu adalah hari ini. Alya berpamitan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Deva mengangkut beberapa barang Alya ke dalam mobil. "Mama," rengek Alya sambil memeluk Mamanya. "Nanti gak ada yang bangunin Alya lagi tiap pagi." Nayla tertawa pelan. "Makanya, mulai sekarang belajar bangun pagi." "Nah, kamu udah jadi istri, gak boleh manja, gak boleh males. Harus rajin. Turutin kata suami," kata Anggara sambil mengusap rambut putri bungsunya itu. Alya kini menatap Aldo dengan wajah sembap. "Sumpah, gue gedeg banget sama lo, Kak. Meskipun lo adalah makhluk bumi paling menyebalkan yang hinggap di rumah, gue tetep sedih bakalan ninggalin lo." Aldo menoyor dahi Alya, namun kemudian memeluk adiknya. "Lo itu adek gue yang paling pelit seperadaban. Tapi gue sedih juga karena gak bakal ada lagi yang berantem sama gue di rumah. Baik-baik sama Deva, ya." Setelah berpamitan, keduanya masuk ke dalam mobil lalu pergi meninggalkan rumah Alya. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Hanya ada suara radio dengan volume kecil. Alya sibuk menatap ke luar jendela. Deva sesekali mencuri pandang ke arah mahasiswi yang sekarang sudah menjadi istrinya itu. "Kita ke supermarket dulu, ya. Di rumah gak ada apa-apa. Gak ada bahan makanan juga. Nanti kamu gak bisa masak," kata Deva membuka suara. Alya menoleh menatap pria di sebelahnya. "Saya emang gak bisa masak, Pak. Saya bisanya rebus mie sama telur doang," kata Alya agak ketus. "Belajar!" "Enggak, makasih." "Terus, mau kamu kasih makan apa suami sama anak-anak kamu?" Anak-anak? Alya merinding mendengarnya. Apa harus anaknya lahir sebagai darah daging Deva? Rasanya Alya ingin tenggelam saja. "Ck. Pak Deva bawel banget, sih. Yaudah, gak usah makan." Deva memutar bola mata malas. Ia harus ekstra sabar menghadapi Alya jika tidak ingin kena serangan jantung. Namun akhirnya Alya menurut juga. Setelah berbelanja kebutuhan dapur, mereka sampai di rumah baru mereka. Alya begitu terkesima melihat rumah yang cantik itu. Memang tidak besar, tapi suasananya asri dan juga ada kolam renang di belakang rumah dengan pemandangan kota yang cantik. Benar-benar rumah impian Alya. Di rumah ini juga ada Bi Ina—pekerja yang akan membantu mengurus rumah, serta Pak Bima—suami Bi Ina. Alya melangkah menaiki tangga. Ia melihat hanya ada sebuah pintu di sana. Alya menoleh ke arah Deva yang sibuk membawa koper. "Kamar saya mana, Pak?" "Kamar di sini cuma dua. Satu lagi dipakai Bi Ina dan Pak Bima. Kamu sama saya." "Ah, enggak mau!" "Yaudah, kamu tidur di luar." Alya mengepalkan tangannya. "Saya menikah sama Pak Deva itu terpaksa. Jadi ... Jangan kira Pak Deva bisa apa-apain saya." Deva berjalan mendahului Alya dan masuk ke dalam kamar tanpa menghiraukan Alya. "Saya serius, loh, Pak!" Deva akhirnya menoleh, menatap Alya.. "Saya juga gak ada niatan buat apa-apain kamu. Udah sana tidur! Kamu berisik!" "Dasar dosen nyebelin, galak, judes," umpat Alya. "Saya dengar, Alya." Alya mengerucutkan bibirnya. Ia menghentakkan kakinya lalu masuk ke dalam kamar. Kamar itu memang sangat luas. Kasur king size dengan spei berwarna putih langsung menyapa matanya. Semua barang-barang Deva sudah ada di sana. Alya melirik ke arah meja rias di dekat tempat tidur. Meja rias yang sangat mewah. Keluarga Deva benar-benar kaya. Meskipun keluarganya juga bisa dibilang kaya, tapi siapa yang tidak tahu keluarga Lemuel? Keluarga yang hampir menguasai seperempat perusahaan di dunia. Alya tidak heran. "Rumahnya memang kecil. Tapi nanti setelah kita punya anak, saya akan beli rumah baru." Anak lagi ... Anak lagi. Ini Pak Deva ngebet punya anak apa gimana, sih? "Pak, please, jangan ngomongin anak. Saya pusing." Deva tidak menjawab. Ia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan sebuah mukena berwarna merah muda. Ia berjalan menghampiri Alya, lalu memberikan mukena itu. "Saya beli mukena itu buat kamu. Anggap aja, hadiah karena kamu udah temenin saya ke desa itu." "Iya … dan akhirnya saya nikah sama Bapak. Hidup ini kejam," gerutu Alya. "Ayo salat berjamaah. Mulai sekarang, saya yang jadi imam kamu." Mendengar Deva mengucapkan itu membuat Alya merinding. Mungkin beda hal nya jika bukan Alya. Jika orang lain, sudah dipastikan orang itu akan berbunga-bunga. Alya melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelahnya, mereka salat berjamaah. Sejujurnya, Alya mengagumi bacaan salat Deva yang merdu. Tapi itu tidak menghilangkan rasa kesalnya terhadap pria itu. Setelah berdoa, Deva berbalik lalu mengulurkan tangannya. Alya sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Ya … Ia mencium tangan suaminya itu. Deva menggeser tubuhnya mendekati Alya. Jarak mereka sangat dekat. Alya menengang. Sumpah ... Sumpah ... Ini gak akan ada adegan yang suka di sensor di film-film, kan? Mati aja gue. Deva menangkup kedua pipi Alya. Pria itu mensejajarkan bibirnya di dahi Alya, kemudian berdoa. Alya tidak tahu doa apa yang sedang diucapkan Deva. Setelah berdoa, Deva mencium kening Alya lama. Gadis itu memejamkan matanya. Ia meremas rok mukenanya. Deva melepaskan ciumannya dari dahi Alya. "Yaudah sana tidur. Besok kuliah. Jangan telat!" "Pak Deva jadi pergi hari senin?" "Iya." "Terus saya mesti ngejelasin apa? Kita penelitiannya gak tuntas, dan saya masih enggak ngerti." Deva melipat sajadahnya, lalu melepas pecinya. "Saya perginya hari senin. Masih ada dua hari lagi. Saya akan ajari kamu di rumah." "Pak, kenapa enggak kuliah online aja? Sekarang teknologi udah canggih. Mata kuliah lain aja pake hologram, masa mata kaliah bapak masih tatap muka," kata Alya sambil melipat mukenanya. "Justru itu. Saya ingin menerapkan sistem lama. Menurut saya sistem lama lebih bagus daripada menggunakan teknologi di jaman ini." "Ck, itu namanya kolot," gumam Alya. "Saya dengar, Alya." "Sengaja!" Alya menaruh mukenanya. Ia melangkah menaiki tempat tidur, merebahkan tubuhnya lalu menarik selimut. Deva berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Sejujurnya, Alya takut sekali. Apa ini akan jadi malam pertamanya? Ah, tidak ... tidak. Alya tidak merasakan seseorang tidur di belakangnya. Gadis itu menoleh. Ia mendapati Deva yang sedang mengambil bantal serta selimut di dalam lemari. "Saya tidur di sofa. Kamu bisa tidur di sana." Deva berjalan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan lalu mulai membaringkan tubuhnya. Oke ... selamat. *** Alya mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia melirik ke arah jam dinding. Matanya terbelalak. Gadis itu langsung bengkit dari tidurnya. "Mampus, gue telat." Alya langsung berlari ke kamar mandi. Ia hanya mandi asal-asalan. Rambutnya bahkan belum disisir. Gadis itu langsung pergi menggunakan taksi online yang sebelumnya sudah ia pesan. Tentu saja, Alya menyempatkan diri berdandan di dalam taksi. Apapun yang terjadi, penampilan adalah nomor satu. Alya berlari menuju kelasnya. Sudah 10 menit berlalu. Untung saja bukan mata kuliah Deva. Alya merapikan rambutnya sebelum membuka pintu kelas. "Permisi, Pak," sapa Alya dengan napas ngos-ngosan. "Kenapa telat, Alya?" Eh ... Tunggu. Suara itu? Alya mendongakkan kepalanya. Tentu ia terkejut mendapati Deva yang sedang berdiri di depan kelas. Bukankah harusnya hari ini tidak ada mata kuliah pria itu? "Kesiangan, Pak. Orang rumah pada gak tahu diri, makanya saya gak dibangunin," kata Alya dengan nada menyindir. Deva tahu Alya sedang menyindirnya. "Karena kamu telat, setelah ini ke ruangan saya." "Iya, Pak," jawab Alya malas. "Kamu boleh duduk." Alya melangkahkan kakinya menghampiri Silvy dan Raka yang sudah menunggu di belakang. Gadis itu mengeluarkan bukunya dengan kasar. "Masih pagi, Mba. Jangan emosi." "Lagian itu dosen nyebelin kenapa bisa ada di kelasnya Pak Roy?" "Pak Roy ada bimbingan skripsi pagi ini, makanya dia minta Pak Deva gantiin." Alya mendengkus. "Pantesan aja dia gak bangunin gue. Sengaja banget. Awas aja," gerutu Alya sambil menatap Deva dari tempat duduknya dengan tajam. Alya menguap karena masih mengantuk. Semalaman ia tidak bisa tidur. Sudah menjadi kebiasaannya akan sulit tidur di tempat baru. Ia sulit beradaptasi. Alya mulai menaruh kepalanya di atas meja. Matanya mulai terpejam. "Oke. Cukup sekian untuk hari ini," kata Deva sambil mematikan hologram yang ada di sebelahnya. Ya ... Mereka memakai hologram sebagai pengganti proyektor yang sudah tidak digunakan lagi sejak beberapa tahun lalu. "Untuk tugasnya paling lambat lusa. Dan kamu ... Alya!" Silvy menepuk bahu Alya, membuat gadis itu terbangun. "Lo dipanggil Pak Deva," bisik Silvy. "Iya, Pak?" "Sebagai hukuman karena kamu terlambat dan tidur di jam kuliah saya, maka deadline kamu saya majukan jadi besok siang." Alya melebarkan matanya. "Gak bisa gitu, Pak. Saya keberatan!" Biasanya Deva tidak akan menanggapi perkataan Alya. Tapi kali ini, pria itu mengarahkan pandangannya pada Alya sambil menyilangkan tangan. "Untuk alasan apa kamu keberatan dengan deadline yang saya berikan? Memang kamu tahu apa tugas yang saya kasih?" Lidah Alya kelu. Ia memang tidak tahu tugas apa yang diberikan Deva. Tapi tetap saja deadline miliknya lebih cepat dari temannya. Ia tidak terima. "Kamu aja gak tahu saya kasih tugas apa. Jadi saya juga gak mau tahu kalo kamu gak terima dengan deadline yang saya kasih. Kalau begitu, saya permisi." Alya menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Rasanya ia ingin masuk ke lubang hitam dan menghilang. Ia mengusap wajahnya kasar. "Emang tugasnya apa, sih?" "Eng, kita disuruh baca artikel yang udah dikasih, terus kasih pendapat. Artikelnya juga gak banyak. Paling nanti malam bisa selesai." "Kenapa lo gak bilang?" tanya Alya frustrasi. "Lo gak nanya." Alya mengacak-acak rambutnya. Fix ... Gue pengin menghilang aja dari bumi. *** Alya tidak datang ke ruangan Deva seperti yang pria itu suruh. Ia malah melanjutkan tidurnya yang tertunda. Silvy dan Raka juga ada di kelas. "Jadi ... Hasil dari jalan-jalan lo kemarin, lo masih jadi musuh dia, Al?" tanya Raka sambil memakan burrito kesukannya. "Jangan nanya. Gue ngantuk." "Lagian tumbenan banget lo sengantuk ini. Semalem lo ngapain? Dugem sama nyamuk?" "Gue gak bisa tidur. Udah ah, jangan bangunin gue." Silvy hanya bisa geleng-geleng kepala. Alya benar-benar tidur dengan nyenyak. AC di ruangan kelasnya ada 3, dan tentunya hawa dingin membuat tidurnya semakin pulas. Silvy dan Raka sibuk bermain games di ponsel mereka. Hari sudah sore. Alya sudah menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini. Ia menyesipkan rambutnya yang menghalangi pandangan ke belakang telinga. "Malam nanti, gue sama Raka mau main ke Herva. Lo mau ikut?" Herva adalah mall besar yang ada di Jakarta. Mall yang selalu dianggap surga para remaja. Banyak hal yang bisa dilakukan di sana. Tempat tongkrongan sempurna untuk mereka. "Ikut, dong! Ya kali, gue gak ikut. Gue pengin makan Lasagna yang ada di Roma Cafe. Sumpah, gue ngidam banget." "Ah, sumpah. Gue juga pengin. Pokoknya, kita on the way habis magrib, ya. Jangan ngaret. Kita ketemu di sana." "Oke," jawab Alya dan Silvy bersamaan. "Telepon gue aja, ya. Gue duluan, guys!" Alya melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam taksi dan pulang menuju rumahnya. Ah ralat ... rumah Deva. Setelah membayar taksi, Alya berjalan menuju pintu. Ia memasukkan pin lalu terdengar bunyi 'bip'. Betapa terkejutnya ia mendapati Deva yang tengah berdiri di depannya. "Yaish! Saya kaget tahu!" omel Alya, mengusap dadanya. "Kenapa tadi gak ke ruangan saya?" "Lupa," jawab Alya malas. Ia melepas sepatunya lalu menaruhnya di rak. "Kamu udah makan?" Alya berhenti melangkah. Ia baru ingat ia belum menyentuh apapun sejak tadi pagi. Kenapa ia bisa lupa jika belum makan? Saking mengantuknya ia sampai mengabaikan rasa laparnya. "Lupa juga." Deva menarik tangan Alya, membuat gadis itu berbalik menghadapnya. "Apasih, Pak?" tanya Alya dengan nada yang agak tinggi. Ia masih begitu risi dengan kehadiran Deva di kehidupannya saat ini. "Ayo makan!" ajak Deva. "Enggak. Saya mau pergi sama temen-temen saya. Saya nanti beli makan, kok. Saya masih mau hidup meskipun hidup saya gak menarik-menarik amat." Deva mengerutkan dahinya. "Teman-teman? Siapa?" "Silvy sama Raka. Emangnya siapa lagi?" "Mau pergi ke mana?" Alya melepaskan pegangan Deva dari lengannya. "Kok Pak Deva jadi kepo, sih?" "Saya cuma nanya," kata Deva mulai kesal juga berbicara dengan Alya. "Tapi saya gak mau ngasih tahu." "Oke. Kalau gitu pergi aja. Tapi besok jangan salahin saya kalo dua teman kamu itu tahu tentang kita." "Idih, kok, ngancam?" Deva tak menjawab. Pria itu kembali duduk di sofa lalu memainkan ponselnya. "Pak Deva ada masalah hidup apa, sih? Kok kayaknya dendam banget sama saya? Lagian, ya, Pak. Saya gak mesti bilang ke mana saya pergi setiap saat, kan? Mama saya aja jarang nanya." "Saya nanya karena yang kasih kamu uang itu saya, Alya. Kalau saya gak tahu kamu pergi ke mana, gimana saya tahu berapa yang harus saya kasih? Kamu lupa? Kamu udah bukan anak yang minta uang ke orang tua, tapi ke suami." Alya terdiam. Benar juga. Ia sampai lupa jika sekarang lahan uangnya adalah Deva. Orang tuanya mengambil semua saldo di ATM nya. Gadis itu menghela napas. Ia langsung duduk di sebelah Deva dengan wajah penuh senyum. "Saya mau ke Herva, Pak. Kebetulan saya lagi pengin makan Lasagna di sana. Terus juga saya mau beli beberapa n****+," jelas Alya begitu sopan. Beda sekali dengan beberapa detik lalu. Deva menoleh menatap Alya. "Lain kali, ke manapun kamu mau pergi, bilang dulu ke saya. Saya itu bertanggung jawab atas kamu, Alya.. Kalo saya gagal, bukan cuma saya yang kena imbasnya tapi keluarga saya. Paham?" "Iya, Pak," jawab Alya dengan malas. "Satu lagi." Alya memutar bola matanya. Kenapa banyak sekali maunya pria ini? "Jangan lupa kerjakan tugas kamu. Deadlinenya besok siang." Tolong ... musnahkan orang-orang menyebalkan di bumi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN