Deadline - 5

1795 Kata
Alya berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil satu cup besar es krim yang ada di freezer. Ia duduk di ruang tamu, menyetel televisi dan mulai memakan es krimnya. Hari ini ia libur kuliah. Betapa senangnya bisa berleha-leha di rumah setelah semalaman mengerjakan tugas dari dosen menyebalkan itu. Alya tertawa sambil menyuap es krimnya. Sungguh lucu sekali acara yang saat ini ia tonton. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alya meraih benda pipih itu dari atas meja. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. "Halo?" Alya? "Iya. Siapa, ya?" Ini gue, Arvee. Sohib lo di SMA. Lo masih inget, kan? "Astaga, Arvee. Lo ke mana aja? Kok lo ngilang gitu setelah lulus SMA? Nomor lo juga ganti. Wah, parah lo." Sorry. Nyokap gue tiba-tiba aja sakit. Gue harus ke Amerika dan karena buru-buru, hp gue ketinggalan di apartmen. Ya gitu, deh. Gue gak inget nomor lo, jadi gue gak kasih kabar. Kebetulan ada acara peresmian perusahaan punya Kakak gue, jadi gue balik ke Indonesia. "Kakak lo? Kak Bryan? Astaga, gue udah lupa banget mukanya dia." Alya terlalu larut dalam reuni tak terencana itu sampai tidak sadar sejak tadi Deva memerhatikannya dari dapur. Pria itu tengah menuang air mineral di gelasnya. "Hah? Lo mau ngundang gue? Serius? Pasti, kok. Pasti gue datang. Masa acara Kakak lo gue gak datang." "...." "Iya, nanti gue salamin ke nyokap-bokap gue. Lo kan mantan calon menantu kesayangan mereka." "...." "Oke. See you, soon." Alya memutus panggilan lalu melanjutkan memakan es krimnya. Deva membawa ipod nya dan duduk di sofa. Ia melirik Alya yang tengah serius menatap layar persegi di depannya. "Nanti malam, saya ada acara. Kira-kira habis magrib. Kamu mau ikut?" Alya melirik Deva sebentar sebelum akhirnya menggelangkan kepalanya lalu melanjutkan aktifitas menontonnya. "Saya mau pergi sama teman." Deva mengangguk. Ia memeriksa beberapa file tugas yang dikirimkan mahasiswanya, termasuk milik Alya. "Oh, iya. Saya boleh, kan, ke acara Kakak teman saya? Acaranya juga nanti malam." Deva mengangguk. "Iya." Tumben, gak kepo pergi sama siapa dan di mana? Lagi dalam mode mager nanya kayaknya. Alya kembali menonton acara kesukaannya. Acara variety show dari negeri gingseng yang menampilkan beberapa artis dan idol ternama. Sungguh lucu dan mampu membuat mood Alya menjadi baik. Deva menatap ke layar televisi sambil menyipitkan matanya. "Kamu nonton acara kaya gini emangnya ngerti gak pake subtitle?" tanya Deva. Ia heran, Alya bisa tertawa lepas seolah gadis itu mengerti bahasa mereka. Alya menunjukkan cengirannya. "Enggak sih, Pak." Alya menggaruk alisnya. "Saya ketawa karena saya gak ngerti." Deva memejamkan matanya sejenak. Ia menghela napas. Tabahkanlah hati hamba yang harus menikahi anak semacam dia, Ya Allah. *** Alya melihat pantulan dirinya di cermin. Dress hijau daun selutut dengan hiasan bulu di bagian d**a. Alya tersenyum sambil sekali lagi merapikan rambut ikalnya yang dibiarkan terurai. "Gila, kenapa gue baru sadar kalo gue cantik?" katanya sambil terkikik. Ia mengambil dompet putihnya juga ponsel. Gadis itu turun ke bawah dengan terburu-buru. Deva sudah tidak ada di rumah. Pria itu sudah pergi setelah salat magrib tadi. Alya menunggu Arvee di depan gerbang. Tak lama, sebuah mobil putih datang dari arah kanan Alya. Mobil itu berhenti tepat di depan Alya. Kaca mobil itu perlahan menurun, lalu terlihatlah wajah sang pengemudi. "Nunggu pacar, ya?" goda pengendara mobil itu. "Pacar mbahmu!" Alya langsung berlari dan duduk di kursi penumpang. Selagi memasang seatbelt-nya, Arvee menatap Alya dari samping. Gadis itu masih sama ... "Lo cantik." Alya sudah tidak terkejut mendengar itu dari Arvee. Pria itu memang selalu memujinya. "Iya, gue tahu." "Udah lama banget gak ngelihat lo. Pangling gue. Emang, ya, bener kata orang. Yang udah jadi mantan itu pasti cakep." Alya menepuk bahu Arvee lalu keduanya tertawa bersama. Mobil mereka berhenti di depan sebuah gedung besar yang menjulang tinggi. Alya terkagum-kagum. Tidak heran, sih. Keluarga Arvee memang keluarga kaya. Arvee dan Alya berjalan beriringan masuk ke dalam. Acara diadakan di aula utama. Banyak orang penting yang datang. Semua berpakaian formal dan berkelas. Sebenarnya tujuan utama Alya datang ke acara itu adalah .... "Aaaa, gila. Dessert-nya menggoda semua," gumam Alya sambil mengigit bibir bawahnya. Alya berlari kecil menghampiri meja bundar yang penuh dessert yang menyegarkan mata. Ada Banoffee pie, Toast, Mochi, Makowiec, Waffle, dan masih banyak lagi. Alya mengambil sepotong Makowiec, roti gulung dengan isi biji bunga poppy. Ini adalah dessert khas Polandia dan tentunya dessert favorit Alya. Selagi sibuk memakan dessertnya, Alya memerhatikan tamu undangan satu-persatu. Aura mereka memang aura-aura keturunan sultan. Alya bisa apa. Bahunya ditepuk, gadis itu menoleh. "Udah selesai makannya? Kita ke Kak Bryan dulu, yuk. Dia nanyain lo." "Ah, oke." Alya membersihkan beberapa remahan roti di sudut bibirnya lalu tersenyum. Sudah lama tidak melihat Kakak tampan Arvee—Bryan. Pria itu sedang mengobrol dengan seseorang. Jas merah maroon dan jam tangan silver membuat Bryan semakin tampan. Asal kalian tahu ... Bryan adalah salah satu tipe idealnya. Tinggi sekali bukan? Padahal gue cuma kentang. Bryan tersenyum saat melihat Alya. "Hai, Alya. Apa kabar?" tanyanya dengan suara bariton yang khas. "Baik, Kak." Alya tersenyum semanis mungkin. "Udah tiga tahun kita gak ketemu, kamu makin cantik sekarang." "Ah, Kak Bryan bisa aja. Jadi malu." "Oh, iya. Kenalin, ini teman Kakak," kata Bryan memegang bahu seseorang di sampingnya. Dahi Alya berkerut, matanya menyipit. Pak Deva? Ini dosen satu ngapain di sini? "Deva, kenalin ... ini Alya, anak Om Anggara. Dia teman SMA nya Arvee. Mantannya juga," goda Bryan yang membuat Alya hanya tertawa sumbang. Deva maju selangkah menghampiri Alya. Tangan pria itu terlulur, membuat Alya agak bingung apa yang sedang dilakukan pria itu. "Saya Deva," katanya memperkenalkan diri. Oh, jadi pengin akting pura-pura baru kenal? "Saya Alya Naura, anak Pak Anggara yang paling cantik sepanjang masa," kata Alya sambil membalas jabatan tangan Deva. Keduanya saling tatap selama beberapa detik, sebelum akhirnya Deva melepaskan jabatan mereka. "Kak Bryan gimana bisa kenal sama ... Kak Deva?" Hello, Kak Deva? Gue yang ngomong kok ngeri, ya? "Kita satu sekolah dulu. Tapi Deva terlalu pintar makanya lompat kelas. Ya jadi ... Kuliahnya duluan dia lulusnya daripada Kakak." Alya mengangguk mengerti, lalu pamit pergi dari sana dan melanjutkan acara berjelajah makanannya. Ketika semua orang sibuk mengobrol ria, Alya sibuk dengan dunia kulinernya. Lagipula, tidak ada yang ia kenal di sini selain Arvee dan Bryan. Keduanya sibuk menyapa tamu. Ah, ya … dan juga Deva. "Ayo, pulang," kata seseorang yang menarik tangannya menjauh dari meja makan. Alya terpaksa menaruh piringnya dan berjalan agak cepat menyamai langkah pria itu sampai ke luar gedung. "Pak, pelan-pelan, kek. Sakit tahu!" Deva melepaskan cengkaraman dari lengan tangan Alya. "Jadi ini yang kamu bilang teman?" "Lah, iya. Kan, Arvee emang teman saya." Alya menyilangkan kedua tangannya. "Mantan," koreksi Deva. Alya menoleh menatap Deva sambil menyipitkan matanya. "Kenapa? Pak Deva cemburu?" "Saya gak cemburu. Tapi saya gak suka kamu bohong. Tinggal bilang kamu pergi sama mantan memang apa susahnya?" "Masalah sepele kaya gini apa perlu ngasih tahu juga?" "Bukan soal masalah sepele, Alya. Tapi ini soal etika. Kamu sudah bersuami, harusnya kamu paham di mana batasan kamu." Alya tertawa sumbang. Ia menatap Deva tak terima. Mungkin dulu sebelum menikah dengan Deva, Alya masih agak sungkan mengutarakan pikiran dan unek-uneknya. Tapi setelah menikah, ia tidak ragu lagi. Toh, dosennya yang satu ini benar-benar tidak tahu waktu dan memancing emosi lebih dulu. "Saya menikah bukan untuk dibatasi, Pak. Lagian, saya sama Arvee—kita berdua sahabatan. Saya dekat dengan keluarga dia begitupun sebaliknya. Kak Bryan juga Kakak saya. Wajar kalo saya datang ke sini." "Tapi sebagai istri saya yang benar. Bukan sebagai pasangan anak itu." "Pasangan? Saya dan Arvee datang sebagai teman. Imajinasi Pak Deva terlalu tinggi." Alya berjalan pergi meninggalkan Deva yang masih berdiri di tempatnya. Alya mengumpat sejadi-jadinya. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Deva. Hancurlah sudah moodnya jika seperti ini. Alya memijat betisnya yang pegal karena memakai high heels. Sungguh sial. Pergi dengan mobil mewah, pulang dengan wajah pasrah. Alya ingin memesan taksi online, namun baterai ponselnya habis. Lengkaplah sudah penderitaannya. "Jadi, gue harus jalan kaki sampe rumah? Gila aja. Bisa patah kaki gue." Tidak ada yang bisa Alya lakukan tanpa ponsel. Semuanya serba ponsel. Mana bisa ia memesan taksi secara ofline? Dan taksi tidak akan lewat di jalan perumahan ini. Sebuah klakson mobil megagetkannya. Mobil silver dengan plat nomor yang unik berhenti di sebelahnya. Di lihat dari mobilnya, Alya tahu itu milik siapa. Alih-alih berhenti, Alya terus melanjutkan langkahnya. Deva mengejar Alya lalu menahan lengannya. "Alya, ayo pulang!" Alya diam saja. Ia mencoba mengabaikan Deva. Lebih tepatnya, ia sedang malas berdebat. "Alya ... Saya bicara sama kamu." "Enggak, deh. Saya mau pulang sendiri aja. Udah biasa saya, mah," kata Alya dengan sedikit nada jenaka. Meskipun itu terkesan sebagai paksaan. Tanpa disadari, tubuh Alya diangkat paksa. Deva menggendong Alya ala bridal style. Meskipun Alya terus memukuli d**a Deva dengan sekuat tenaga, namun pria itu tidak dengan mudah melepaskan Alya. Deva mendudukkan Alya di kursi mobil, lalu memasang seatbelt pada gadis itu. "Ini namanya penculikan! Saya bisa laporin Pak Deva ke polisi, ya!" ancam Alya. Deva kini sudah berada di kursi kemudi. Ia memasang seatbelt miliknya. "Silakan kamu lapor polisi. Mereka gak akan mau menindak lanjuti kasus suami yang ingin membawa pulang istrinya yang berjalan sendirian di tengah malam." Alya bungkam. Sudahlah. Ia tidak akan sanggup melawan Deva lagi. Ia kalah. "Besok pagi saya berangkat ke Bali. Jangan lupa apa yang saya ajarkan kemarin malam. Tolong sampaikan materi saya dengan jelas supaya teman-teman kamu mengerti. Saya gak terima alasan apapun kalau sampai nilai ujian mereka rendah. Kamu ...." Deva menghentikan ucapannya. Ia menghela napas saat mendapati Alya yang sudah tertidur dengan tenangnya. Padahal baru beberapa menit lalu gadis itu bicara. Setelah sampai di rumah, Deva menggendong Alya dan membawanya ke kamar. Ia menidurkan Alya perlahan agar tidak membangunkan gadis itu. Ia meraih selimut lalu memakaikannya sampi menutupi d**a Alya. Deva tertegun. Di dalam kamar dengan cahaya remang karena lampu tidur, ia masih bisa melihat wajah Alya dengan jelas. Wajah yang tenang, dan damai. Alya memang cantik, Deva mengakui itu. Sungguh berbeda melihat Alya yang begitu pendiam kala tertidur. Deva tersenyum simpul. Ia menggerakkan tangannya, menyesipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Alya. "Saya tidak menyesal menikahi kamu, Alya. Tapi kenapa ... saya merasa ... kita seharusnya tidak menikah?" "Saya tidak tahu, takdir apa yang sedang Tuhan mainkan untuk kita." Deva menatap wajah Alya tanpa berkedip. "Saya bingung. Saya ingin mengenal kamu, tapi saya merasa ada sebuah tembok besar yang gak bisa saya hancurkan. Apa dia orangnya? Arvee? Atau ada seseorang yang lain?" "Tolong beritahu saya, Alya. Saya harus menghancurkan tembok itu, agar kamu tidak pergi." Saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Lalu Tuhan menghadirkan kamu. Meski kita tidak mencintai satu sama lain, saya tidak main-main. Saya akan membuat kamu tetap bersama saya. Deva menghela napasnya. Ia bangkit lalu mengambil bantal yang ada di sebelah Alya dan berjalan menuju sofa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN