Deadline-3

1022 Kata
Alya menggigit bibir bawahnya. Setelah semalaman menangis, akhirnya Alya hanya bisa pasrah. Ia juga sudah menelepon kedua orang tuanya yang langsung datang dari Malang ke sana juga Kakaknya, Aldo. Karena peraturan di desa ini, keluarga Alya baru bisa sampai di sana jam 10 pagi. Bukan Alya yang menelepon kedua orang tuanya, tapi Deva. Alya tidak sanggup untuk sekadar mengucapkan sepatah kata. Aldo menghampiri Alya yang sudah rapi dengan kebaya seadanya milik putri kepala desa yang baru menikah beberapa bulan lalu. Tidak ada pesta, hidangan makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Masjid yang menjadi tempat berakhirnya hidup indah Alya. "Jangan nangis mulu, muka lo jelek, sumpah," kata Aldo sambil mengusap air mata adiknya. "Gue gak pengin nikah, kak." "Ya, gimana lagi. Lagian si lo make teriak sampe bikin heboh sekampung. Jadi gini, kan. Salah lo sih emang, gue kaga nyalahin Deva." "Jahat banget, lo, jadi makhluk bumi." "Salah. Gue makhluk langit." "Ah, somplak!" Disisi lain, Deva sedang berhadapan dengan keluarganya; Mamanya, Ayahnya, Kakak dan suaminya. Disha—sang Kakak memukul bahu Deva agak keras. Pria itu meringis. "Lo lagian pake segala ngajak anak orang ke sini lagi. Sebelum ke sini, caritahu dulu aturan desa mereka. Otak pinter lo kaga berguna, sumpah," cerca Disha sambil mengipas wajahnya yang panas karena emosi. "Udahlah, Sa. Lagian Deva udah dewasa, udah cocok nikah. Kamu gak kasihan lihat adik kamu menjomlo sepanjang masa?"kata Benua menenangkan istrinya. "Ya tapi enggak dengan cara kegrebek warga juga, kali. Malu-maluin aja lo!" Deva masih diam sambil menundukkan wajahnya. Sily mengusap kepala anaknya pelan. "Yang terpenting kamu tanggung jawab. Mama percaya ini cuma salah paham. Tapi karena kalian gak punya bukti, jadi kalian tetap dianggap salah. Lagian, Alya anaknya cantik. Ya, kan, Mas?" tanya Sily pada Daren—suaminya. "Hmm." Sily memukul paha suaminya. "Iya, cantik. Kaya Mama kamu." "Kaya Mamanya, Mas. Masa kaya aku?" "Iya, maksud Ayah kaya Mamanya." "Tapi Deva takut, Ma. Deva belum siap berkeluarga. Deva takut gak bisa jaga Alya." Sily tersenyum. Ia menggengam tangan putra bungsunya itu. "Semua butuh proses. Kamu akan terbiasa. Yang terpenting ... kamu harus ikhlas." Deva menghela napas pelan, kemudian mengangguk. "Deva ikhlas, Ma." "Kalo gitu, ayo kita ke sana. Mama belum ketemu orang tua Alya." Setelah kedua keluarga berbincang-bincang singkat, ijab qobul pun dimulai. "Bismillah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Alya Naura Anggara binti Anggara Nelda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai sebesar 50 juta rupiah dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya, Alya Naura Anggara binti Anggara Nelda dengan mas kawin tersebut tunai." "Sah?" "Sah," jawab beberapa warga yang datang sebagai saksi. Kedua keluarga saling berjabat tangan dan berpelukan. Mereka tampak bahagia seperti pernikahan yang sesungguhnya. Sedangkan Alya ... gadis itu tidak tersenyum sama sekali. "Ayo, dicium tangan suaminya." Alya meraih tangan Deva dengan malas, lalu menciumnya dilanjut Deva yang mencium kening Alya. Setelah pernikahan selesai, kedua keluarga izin pamit pada sang kepala desa dan tentu saja minta maaf atas apa yang disebabkan oleh kedua anak mereka. Alya melangkah cepat menuju mobilnya. Ia ingin cepat-cepat pulang dan menangis di kamarnya. Hidup indah gue berakhir. Betapa menyedihkannya nasib gue yang harus nikah sama dosen paling menyebalkan sepanjang sejarah. Selamat datang di dunia Deva, Alya. Alya baru saja akan masuk ke dalam mobil, namun tangganya di tahan oleh Deva. "Alya." "Apa, sih, Pak?" tanya Alya agak sewot. "Kamu mau ngapain?" Alya menaikkan sebelah alisnya. "Naik mobil, lah." "Tolong jangan marah sama saya, Alya." Alya melepaskan pegangan Deva dari lengannya. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil tanpa merespon pria itu. Deva menghela napas pelan lalu kembali ke mobilnya. *** Mereka sampai di rumah Alya. Deva dan keluarganya memutuskan untuk ikut ke sana. Ya ... Tentu saja mereka harus membahas tentang Deva dan Alya ke depannya. Karena memang pernikahan itu tidak terencana, jadi tidak ada persiapan apapun. Alya langsung berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan panggilan Aldo. Deva menatap punggung Alya yang semakin lama semakin menjauh. Gadis itu begitu murung sejak dari desa. Nayla—sang Mama hanya bisa menghela napas. "Maafin Alya, ya, Deva." "Enggak, kok, Tante. Saya tahu ... Alya masih belum terima ini." Nayla tersenyum. "Mama. Panggil saya Mama,” katanya dengan nada hangat. Deva menggaruk belakang kepalanya dan ikut tersenyum. "Iya, Ma." "Kamu samperin Alya, sana." Deva hanya mengangguk mengiyakan. Ia menaiki tangga dengan perasaan ragu, namun akhirnya kaki panjang itu melangkah menuju sebuah pintu bercat merah muda yang ada di hadapannya. Pintunya tidak terkunci. Ia bisa melihat Alya yang tidur dengan posisi tengkurap sambil memainkan ponselnya. Deva melangkah masuk. Alya tahu, Deva datang. Ia bisa melihat pantulan Deva dari layar ponselnya. Deva duduk di tepi kasur sambil menatapnya. "Alya," panggilnya pelan. Tapi Alya tetap diam tak menjawab. Ia sibuk men-scroll beranda instagramnya. "Alya Naura," panggil Deva sekali lagi, dan akhirnya gadis itu berbalik menatap Deva malas. "Apa?" "Kamu masih marah sama saya?" Iya. Gue marah sama lo! Gue marah karena lo nyebelin. "Saya mau marah juga percuma. Gak ada gunanya." Deva menghela napas. "Sekali lagi, saya minta maaf, Alya. Saya tahu kamu terpaksa. Saya pun awalnya begitu. Tapi apa gunanya mengeluh? Dunia gak berjalan mundur. Saya akan mencoba. Kita jalani dulu sama-sama. Tapi yang terpenting, saya gak pernah mengaggap pernikahan ini main-main. Saya serius waktu saya bilang saya ingin menikahi kamu." Alya meletakkan ponselnya. Ia menghela napas lalu mengangguk pelan. Saya cuma gak nyangka aja, saya nikahnya sama Pak Deva. Dalam hati saya yang paling dalam, saya bahkan pernah berdoa untuk kesejahteraan istri Pak Deva kelak. Siapa tahu dia stres hidup bareng Bapak yang nyebelinnya sepanjang sejarah. Tahunya saya yang jadi istri Bapak. "Besok, kita akan pindah ke rumah baru. Kamu beresin barang-barang yang mau kamu bawa." Alya baru saja akan melangkah keluar, namun ia urungkan. Ia berbalik menghampiri Deva. "Saya punya syarat." "Syarat apa?" "Pernikahan ini, gak boleh ada yang tahu sebelum saya lulus kuliah. Saya gak mau teman-teman saya tahu. Apalagi tahu kalo saya nikahnya sama Pak Deva." "Kenapa kalo mereka tahu kamu nikah sama saya?" Bisa malu tujuh turunan delapan tanjakan saya, Pak! "Pokoknya gak boleh." "Oke. Hanya itu?” “Untuk saat ini, hanya itu.” Alya dan Deva saling tatap selama beberapa detik sebelum akhirnya mereka berjabat tangan sebagai tanda persetujuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN