Deadline - 12

1493 Kata
Alya terbangun di tengah malam. Tenggorokannya terasa kering sekali. Ia berniat mengambil air di dispenser. Alya menekan tombol merah untuk air hangat. Namun, saat meminumnya air itu tidak hangat sama sekali. Alya mendengkus. Jika sudah begini, ke mana lagi ia harus mengambil minum? Alya melirik ke arah Deva yang tengah tertidur pulas di tempat tidur. Alya tersenyum. Ia merangkak ke arah Deva lalu mengguncang tubuh pria itu dengan keras. "Pakde! Ayo bangun! Ada gempa bumi!" Deva langsung membuka matanya dan bangkit. Wajahnya terlihat panik. Matanya merah khas orang mengantuk. "Gempa bumi? Kamu gapapa? Ada yang luka?" tanya Deva sambil memperhatikan wajah Alya, tangan, bahkan punggung Alya. "Saya gapapa, Pak. Tapi saya haus." Deva mengerutkan dahinya. Ia menyadari bahwa Alya berbohong soal gempa bumi. "Gak ada gempa?" "Enggak ada, lah. Kalo gempa saya gak mungkin bangunin Pak Deva. Mendingan saya kabur duluan. Nyawa saya lebih penting." Deva menghela napas berat. "Saya haus, Pak. Tapi pengin minum air hangat. Di dispenser air hangatnya rusak." "Lalu?" tanya Deva sambil menaikkan sebelah alisnya. "Antar saya ke raung tengah ambil air hangat." "Minta pelayan hotel, Alya." "Enggak mau. Nanti kalo minuman saya diracuni? Dikasih obat? Dikasih jampe-jampe? Pak Deva mau tanggung jawab? Belajarlah dari pengalaman!" Deva menyingkirkan tangan Alya dari atas tubuhnya. Pria itu bangkit lalu berjalan menuju pintu. "Ayo!" Keduanya berjalan menyusuri lorong hotel menuju ruang tengah yang dibuat khusus untuk mendapatkan cemilan malam, minum, dan kebutuhan lainnya. Deva berjalan mengekori Alya dari belakang dengan wajah mengantuk. Setelah Alya mendapatkan air hangatnya, mereka tidak langsung kembali ke kamar. Keduanya duduk di salah satu sofa yang menghadap ke luar jendela kaca. "Besok kita pulang," kata Deva. "Yah ... padahal saya masih mau liburan." "Kamu baru dua malam udah banyak nyusahin saya, Alya." Alya menatap tak terima. "Loh, salah, yang benar itu baru dua malam di sini, saya udah jadi korban pelecehan." "Saya gak berdosa meskipun melakukan itu ke kamu." Alya memutar bola mata malas. "Saya boleh tanya?" tanya Deva, menatap si pemilik mata cokelat itu. Menatap Alya mungkin jadi kesenangannya akhir-akhir ini. Entah kenapa melihat wajah Alya bisa menenagkan hatinya. "Bilang enggak pun, Pak Deva tetap akan nanya. Ya udah langsung nanya aja." "Arvee. Berapa lama kamu jadian sama dia?" Alya menghentikan tegukannya. Ia menatap Deva kebingungan. Kenapa tiba-tiba membahas soal Arvee? Alya menaruh gelasnya di meja, lalu menyilangkan tangan. Kini keduanya bertatapan seolah hanya objek di depan mereka lah yang harus dilihat. "3 tahun, waktu SMA," jawab Alya pada akhirnya. Ia penasaran, kemana arah pembicaraan Deva. "Kenapa kalian putus?" Alya menghela napas. "Kenapa Pak Deva mau tahu?" Bukannya menjawab, Deva malah semakin menatap Alya dengan wajah serius. Alhasil, Alya mengalah saja. "Salah paham." Deva tak sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Alya. Gadis itu jadi risi. Ia mendengkus sebal. "Ya, pokoknya salah paham. Kita itu putus karena Arvee gak jujur." Alya menghela napas. Ia kembali menerawang ke 3 tahun lalu, waktu di mana keduanya bertengkar hebat di depan rumah Alya. Alya sangat ingat, begitu jelas, tanpa melupakannya sedikitpun. "Dia bohongin saya, waktu dia bilang dia gak datang ke aniversary kita karena Mamanya sakit. Tapi ternyata, dia pergi ketemu mantannya yang lagi ulang tahun. Kita putus malam itu juga. Setelah itu saya baru tahu, ternyata itu ulang tahun terakhir mantannya sebelum meninggal. Dia sakit parah, dan Arvee cuma nepatin janjinya. Saya tahu Arvee gak salah. Tapi saya gak suka dibohongi. Sekali bohong, selanjutnya pasti akan begitu. Setidaknya dia bisa bilang." Tidak ada tanggapan dari Deva, membuat Alya jengah. "Saya udah ceritain panjang kali lebar kali sisi, tapi Pak Deva diam aja. Nyahut, kek, kasih tepuk tangan gitu. Biar gak sepi." "Kenapa kamu gak balikan sama dia?" "Ya kalaupun saya balikan sama dia, saya tetep nikah sama Pak Deva. Kasihan, lah. Berarti dia beruntung putus sama saya. Kecuali, Pak Deva gak ada niatan buat ajak saya ke desa durjanah itu. Seandainya tahu kaya gitu, saya mending dapet nilai C daripada ngorbanin hidup saya." Deva menyilangkan kedua tangannya. "Itu sebenarnya salah kamu. Lagian pake teriak dan bikin onar, padahal cuma kucing. Kalo kamu gak teriak, kita gak akan nikah." "Ck. Kok, Pak Deva malah nyalahin saya? Saya itu korbannya!" "Saya juga korban!" Keduanya saling membuang muka. Alya merutuk Deva dalam hati. Suasana hatinya jadi berubah buruk. Deva benar-benar menyebalkan. Sepertinya memang sifat bawaan dari lahir. "Terus, kamu menyesal menikah sama saya?" Pertanyaan itu tiba-tiba dilontarkan Deva. Alya awalnya agak ragu menjawabnya, namun, akhirnya ia mengatakannya dengan lantang. "Menyesal atau enggak, apa gunanya sekarang?" Alya mendekati Deva, lalu berbisik. "Saya udah milik Pak Deva," bisik Alya dengan nada yang dibuat kecewa. Mendengar itu, Deva berbalik mendekati Alya dan berbisik. "Jadi kalo kemarin malam kita gak melakukannya, penyesalan kamu masih berguna?" "Oh, ya, tentu. Saya masih bisa mengubah semuanya kembali menjadi semula. Tapi, ternyata saya terlambat. Kalo seandainya saya hamil, Pak Deva harus terima konsekuensinya." "Alya, kita baru melakukannya sekali. Gak ada jaminan kamu akan hamil." "Tapi kemungkinannya besar karena Pak Deva ..." Alya tidak melanjutkan ucapannya. Mana mungkin ia mengatakannya? Lagipula, bagaimana ia bisa yakin jika Deva tidak memakai pengaman malam itu? Ia ingat saja tidak. Ah, otak Alya sudah ternodai. Bisa-bisanya ia memikirkan kejadian malam itu disaat-saat seperti ini. Sungguh memalukan. "Ah, pokoknya saya sebal sama Pak Deva." Alya bangkit dan pergi meninggalkan Deva yang masih duduk di sofa. *** Alya sedang duduk di sofa sambil memakan camilannya. Ketika bel rumah berbunyi, ia langsung berlari ke arah pintu. Silvy dan Raka datang dengan membawa tiga kotak piza. Alya tersenyum senang. "Ah, kalian terbaik," pekiknya, girang. "Suruh masuk dulu, dong. Pegal, nih." "Iya, iya. Silakan masuk." Silvy menaruh kotak piza itu di atas meja. Raka langsung mengambil posisi rebahan di sofa sambil memainkan ponselnya. "Laki lo mana?" tanya Silvy karena tidak melihat Deva ada di ruang tamu. "Tuh!" Alya menunjuk Deva yang sedang berkutat dengan laptopnya d meja dapur. "Pak suami lagi ngerjain tugas-tugas istrinya yang cantik ini," kata Alya dengan bangga. "Serius, lo? Lo pelet pake apa?" Alya membuka kotak pizanya, lalu melahap sepotong. "Rahasia alam. Gak boleh dikasih tahu." "Eh, iya. Di kampus ada dosen baru. Ganteng, body goals, boyfriendable banget. Lebih tua dari Pak Deva, tapi kecenya parah, sih. Namanya Pak Aron." Alya terlihat tidak tertarik membicarakan dosen baru itu. Mulutnya sibuk mengunyah, matanya sibuk melihat ke arah layar tv. "Dia jomlo lagi. Gue gebet, ah. Pengin ngerasain juga nikah sama dosen sendiri." "Terserah, kalo lo gak mau bernasib kaya gue." Alya mengambil sepotong piza lagi lalu berlari kecil menghampiri Deva. "Pak Deva, buka mulut!" "Kena—" Alya memasukkan piza yang ia pegang ke mulut Deva. "Semangat ngerjain tugas saya, Pak," kata Alya dengan nada meledek. Baru saja Alya akan pergi, Deva menarik lengan gadis itu, membuat Alya terhuyung ke pangkuan Deva. Pria itu menarik pinggang Alya dan mencium Alya begitu saja. Bukan hanya mencium. Deva memindahkan piza di mulutnya ke mulut Alya. Gadis itu memukul bahu Deva dengan keras, namun percuma saja. Deva berhasil membungkam mulut Alya dengan piza dari mulutnya. Alya melotot. Ia mengunyah piza itu dengan cepat lalu menelannya. "Pak Deva!" pekik Alya. Ia melirik ke arah ruang tamu. Untung saja Silvy dan Raka sibuk dengan tontonan mereka. Alya menatap Deva sebal. "Saya bakal ceburin Pak Deva ke kolam kalau mereka lihat yang tadi," kata Alya mengancam. Deva tidak menggubrisnya. Ia kembali fokus pada laptopnya. Alya pergi dari sana dengan wajah masam. Menyebalkan sekali. Dasar Pakde m***m! "Bersihkan sampahnya kalau udah selesai," kata Deva yang tiba-tiba saja datang dari belakang Alya. Deva berjalan menuju meja, lalu mengambil sepotong piza. Ia melirik Alya. "Piza nya enak." Setelah mengatakan itu, Deva kembali ke dapur. Tolonglah, hilangkan saja aku dari bumi. "Kapan Pak Deva makan piza kita?" tanya Silvy yang keheranan. Padahal Deva baru mengambilnya. Bagaimana bisa mengatakan bahwa piza itu enak? "Udah lanjut nonton! Gue matiin, nih!" "Lah, dia sewot." Setelah hampir seharian di rumah Alya, Silvy dan Raka pamit pulang. Alya mengantar mereka sampai ke depan pintu. Silvy berjalan lebih dulu, namun Raka mendekati Alya dan berbisik, "Betewe, yang di dapur, gue lihat. Petcahhhh!" "RAKA!" Raka tertawa lalu berlari sebelum menjadi samsak pukulan Alya. Gadis itu menutup pintu agak kasar. Ia melihat Deva yang hendak menaiki tangga. Tatapan Alya begitu menyeramkan. "Kenapa lihatin saya?" tanya Deva yang kebingungan. "PAK DEVA!" teriak Alya lalu berlari menghampiri Deva. Pria itu sontak berlari menghindar. "PAK DEVA HARUS NYEBUR KE KOLAM!" "Saya, kan, gak, tahu kalo ketahuan," kata Deva masih terus menghindari tangkapan Alya. "Gak mau tahu!" Mereka sudah berada di dekat kolam. Alya berniat akan mendorong Deva, namun justru ia yang kehilangan keseimbangan dan tercebur. Deva yang melihat itu langsung tertawa keras. Namun, tawanya berhenti ketika melihat Alya kesulitan berenang. Deva menceburkan dirinya. Ia menarik Alya dan membantunya keluar kolam. Hari sudah mulai gelap dan dingin. Alya menggigil. "Alya, maafin saya. Saya gak tahu kalau kamu gak bisa berenang." Namun saat itu juga, Alya mendorong Deva hingga pria itu tercebur lagi. Kali ini Alya yang tertawa keras. "Hahaha. Seorang Alya gak bisa berenang? Gak asik." "Awas kamu, ya!" Alya menujulurkan lidahnya, lalu berlari ke dalam rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN