Deadline - 11

1566 Kata
Deva dan Alya duduk di sofa yang ada di lobi. Keduanya saling diam. Alya menatap pria itu sambil menyipitkan matanya. Yang ditatap hanya menundukkan kepala. "Semalam—" Deva mencoba membuka suara. "Iya. Semalam kenapa? Coba jelasin!" "Alya, semalam kamu itu—" Deva menghentikan ucapannya. Ia tidak mungkin memberitahu Alya bahwa diminumannya dan minuman Reyna yang Alya ambil mengandung obat. Deva pikir, Alya tidak perlu tahu. Ia akan mencaritahu sendiri, sebenarnya siapa yang sengaja melakukannya. Sudah dipastikan tujuannya hanya satu ... Alya. Entah mungkin Alya atau dirinya. Pasti tujuannya memisahkan mereka. "Pak Deva kalo ngomong yang bener, ih!" sewot Alya. Gadis itu sudah benar-benar kesal. Bukannya apa. Sejujurnya tidak masalah juga jika mereka melakukannya. Tapi bagaimana bisa mereka melakukan tanpa sadar? Bahkan Alya hampir tidak ingat. Lagipula, Alya bukan istri durhaka yang menolak hal itu. Tapi maksud gue bukan sekarang, elah! "Tadi malam ... kamu minum bir punya Reyna, terus kamu mabuk." Alya mengernyitkan dahi. "Bir rasa marjan?" Alya ingat sekali rasa minuman yang ia minum semalam sangat manis, lebih mirip sirup. Sedangkan bir ... ia memang tidak pernah meminumnya. Tapi ia pernah dengar rasanya agak pahit dan baunya kuat. Yang ia minum semalam tidak seperti itu. "Maaf, Alya." "Untuk?" Deva menghela napas. "Menyentuh kamu tanpa izin." Alya ikut menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya. "Ada syaratnya." "Apa syaratnya?" "Tapi Pak Deva harus janji gak boleh nolak." Deva mengangguk. "Selama masuk akal." "Kerjain tugas saya yang numpuk. Semuanya! Deadlinenya lusa. Pokoknya saya harus dapat A." "Iya." Alya tersenyum puas. Setidaknya besok ia tidak harus berpikir keras sampai bergadang mengerjakan tugas. "Deal." Disisi lain, suara gebrakan terdengar keras memenuhi ruangan. Pria paruh baya itu kini berdiri menatap lawan bicaranya dengan tatapan marah. "Gimana bisa Alya yang meminumnya? Kerja kamu gak becus!" omel Felix pada pria yang kini tengah menunduk meminta maaf. "Maaf, Tuan. Saya tidak tahu gadis itu tiba-tiba datang." Felix mendengkus. "Hari ini biarlah gagal. Tapi lain kali harus berhasil." "Rencana apalagi yang tuan punya?" Pria paruh baya itu mengusap dagunya, lalu menunjukkan senyum sinis. "Saya punya rencana besar. Dan kali ini saya yakin, tidak ada kegagalan.” *** Alya dan Deva, keduanya berjalan-jalan di taman hotel. Hotel itu memiliki taman yang luas. Bukan hanya taman, banyak stand penjual makanan yang berjejer di sana. Alya berjalan sambil menatap sepatunya. Ia terus-menerus menghela napas. "Kamu gak mau beli sesuatu?" tanya Deva memecahkan keheningan antara keduanya. "Enggak." "Gak lapar?" "Enggak." "Gak mau beli es krim?" Alya menghela napas. Ia menghentikan langkahnya, lalu menatap Deva sebal. Cerewet banget, sih. Gak tahu, apa, gue lagi berdiskusi sama otak gue biar gak canggung gara-gara semalam? Ah, dasar. Kala itu, mata Alya langsung menangkap sebuah lampion cantik yang sedang diterbangkan beberapa anak kecil. Matanya berbinar. Alya langsung berjalan menuju kerumunan anak-anak yang tengah menerbangkan lampion yang tadi ia lihat. "Lampion kalian bagus," kata Alya memuji lampion merah muda milik seorang anak kecil. "Tapi kenapa nerbanginnya siang-siang gini? Lebih cantik kalau malam," jelas Alya. "Malam datangnya lama." Alya terkekeh. "Tapi lampionnya gak bercahaya." "Lampion ini bukan untuk bercahaya, tapi untuk terbang ke angkasa," katanya. Alya sedikit tertegun. "Kakak mau?" kata gadis kecil itu sambil menyodorkan sebuah lampion berwarna biru muda. Alya tersenyum lalu menerimanya dengan senang hati. "Kata papa, lampion bisa mengantarkan doa. Aku mau antar doa ke mama yang ada di sana," katanya menunjuk langit. Alya sekarang mengerti. Gadis ini tidak butuh lampion yang bercahaya, dia hanya butuh lampion yang bisa terbang tinggi hingga bisa menyampaikan doanya. "Kalau gitu, Kakak juga mau berdoa untuk Mama kamu." Alya menutup matanya mengucapkan doa, lalu menerbangkan lampion miliknya. Gadis kecil itu tersenyum. Dari kejauhan, Deva yang melihatnya juga ikut tersenyum. "Itu pacar Kakak, ya?" bisik gadis kecil itu sambil melirik ke arah Deva yang berdiri di belakang mereka. "Dari tadi lihatin Kakak terus." Alya terkekeh. "Kakak mau kasih tahu rahasia, tapi jangan bilang-bilang, ya," bisik Alya. Gadis kecil itu mengangguk cepat. "Dia suami Kakak." "Bisik-bisik apa?" tanya Deva tiba-tiba mengagetkan keduanya. "Enggak ada." Gadis kecil itu berlari pergi setelah pamit pada Alya. "Saya tiba-tiba lapar. Makan di sana, yuk!" Alya dan Deva memutuskan untuk makan di salah satu stand makanan yang menghiasi pandangan mereka. Ini lebih seperti foodcourt. Makanan di sana memang tidak semewah makanan hotel, namun rasanya tak kalah enak. Alya sibuk menghabiskan makannya, sedangkan Deva sibuk membalas pesan-pesan penting yang masuk di ponselnya. "Pak Deva gak makan?" Yang ditanya malah diam saja. Masa bodo, Alya tidak mempedulikannya. Namun matanya kini fokus melihat makanan Deva yang masih utuh. "Pak Deva kalau gak dimakan, ini buat saya aja, ya?" Tetap tidak dijawab. Sepenting itukah pesan-pesannya sampai telinganya berhenti berfungsi? Hebat sekali. Alya mengambil makanan milik Deva pada akhirnya. Toh, si pemilik makanan tidak merespon apapun. Tiba-tiba saja pria itu bangkit dari kursinya, lalu menatap Alya. "Saya ke hotel dulu sebentar. Nanti saya ke sini lagi." Belum sempat Alya menjawab, Deva sudah menghilang. "Dasar jahara. Gue ditinggalin lagi. Tahu gitu, makan di hotel aja tadi." Alya menaruh sendoknya. Nafsu makannya jadi hilang seketika. Setelah membayar, Alya memutuskan untuk kembali ke hotel tanpa memberitahu Deva. Ketika sedang berjalan, seseorang mengagetkannya dari belakang. Alya menoleh cepat. "Hai, cewek." "Arvee? Kok, lo ada di sini?" tanya Alya dengan wajah terkejut. "Ikut Kak Bryan. Lo ngapain di sini? Lagi ada acara keluarga?" "Gue? Enggak ada. Lagi pengin jalan-jalan ke hotel aja." "Sendiri?" "Berdua. Sama bayangan." Arvee tertawa. Alya memang selalu bisa membuatnya tertawa. Karena itulah … ia menyukainya. "Karena kita udah ketemu, gimana kalo lo ajak gue jalan-jalan ke mall yang di depan sana, tuh. Gue pengin ke sana." Arvee menyentil dahi Alya. "Dasar cewek konda! Ke Mall mulu kerjaan lo." "Ye, daripada lo, galau mulu habis putus sama gue." "Ya udah, deh. Gue kalah. Hari ini gue traktir lo belanja." Alya melompat saking girangnya, namun tiba-tiba bagian bawahnya terasa nyeri. Gadis itu langsung meringis dan berhenti melompat. "Kenapa? Lo sakit?" tanya Arvee panik. Sial! Kenapa masih sakit, sih? "Enggak, kok. Yuk, jalan!" *** Deva berlari menuju tempat ia dan Alya makan tadi. Namun ia tidak menemukan Alya ada di sana. Padahal ia baru meninggalkannya selama 15 menit, gadis itu sudah menghilang. Deva menghampiri salah satu penjaga stand dan bertanya, "Pak, lihat cewek yang tadi duduk di sini?" "Oh, udah pergi dari tadi, Mas." Deva mencari Alya ke stand lain, berharap gadis itu sedang berkeliling. Namun tidak menemukannya sama sekali. Hari sudah mulai gelap, tapi Alya belum kembali ke hotel. Deva sudah menunggu selama 3 jam lebih. Ia mencoba menelpon Alya namun ponsel Alya tidak aktif. Ia bahkan melapor pada satpam yang ada di sana untuk membantu mencari istrinya. Reyna juga ikut mencari Alya. Gadis itu menghampiri Deva yang tengah duduk berdiri dengan wajah khawatir. "Alya pasti ketemu. Dia udah dewasa, gak mungkin nyasar. Lagian, kalo aku jadi dia ... paling aku pergi ke Mall di depan." Mall? Astaga, Deva lupa jika ada Mall tak jauh dari hotel ini. "Alya pasti di sana,” katanya. Baru saja ia ingin menyusul Alya ke Mall, matanya menangkap sosok Alya yang kini sedang berada di gendongan Arvee. Pria itu membawa Alya yang tengah tetidur. "Alya?" panggil Reyna. Arvee yang tidak mengenal Reyna pun langsung berhenti kala gadis itu menyebut nama mantannya. "Kenal Alya?" "Iya, dia itu ..." Omongan Reyna terhenti saat tiba-tiba saja Deva mengambil alih Alya dari gendongan Arvee. Pria itu sempat terkejut. Namun kala melihat wajah Deva, ia mengernyitkan dahi. "Kamu teman Kak Bryan, kan?" tanya Arvee. "Iya, saya teman Bryan. Dan Alya datang ke sini sama saya. Jadi saya yang akan bawa dia ke kamar." Deva pergi meninggalkan Arvee yang kebingungan. Alya datang bersama Deva? Ada hubungan apa? Pertanyaan itu terus terngiang di otak pria itu. "Makasih, udah bawa Alya pulang. Kita semua panik cari dia tadi." Arvee mengangguk dengan canggung. "Kalau boleh tahu, yang tadi itu siapanya Alya?" Reyna mengerutkan dahinya. "Oh, dia suaminya Alya." "Suami?" Deva menidurkan Alya di tempat tidur dengan perlahan agar tak membangunkannya. Ia mengambil selimut lalu menyelimutinya. Pria itu menghela napas pelan. "Baru saya tinggal 15 menit, kamu udah jalan sama cowok lain." Beberapa saat kemudian, bel kamar mereka berbunyi. Deva berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Ia sempat terkejut melihat Arvee yang berdiri di sana. Pria itu menyodorkan belanjaan milik Alya. "Ini punya Alya." Deva meraih tas belanja yang diberikan Arvee. "Terima kasih." Baru saja Deva akan menutup pintu, Arvee menahannya. "Tunggu!" Deva mengernyitkan dahi. "Jadi ... Alya udah menikah?" tanya Arvee dengan nada agak ragu. Deva sempat diam selama beberapa saat, namun akhirnya pria itu mengangguk mantap. "Iya. Saya suaminya." Arvee mengangguk pelan. Jujur saja ia sangat kecewa. Sebenarnya, perasaanya terhadap Alya masih sangat dalam. Alya adalah seseorang yang selalu ada di hatinya selama ini. Ia pikir dengan kembali ke Indonesia, ia bisa mendapat kesempatan memperbaiki apa yang pernah mereka mulai dan dengan bodohnya ia hancurkan. Namun, mengetahui Alya sudah menikah, Arvee sungguh kecewa. "Alya itu baik, dia emang beda dari gadis kebanyakan. Jangan sampai kehilangan dia, kalo gak mau menyesal kaya saya." Setelah mengucapkan itu, Arvee pamit pergi. Deva menatap kepergian pemilik rambut ikal itu hingga menghilang dari pandangannya. Jangan sampai kehilangan dia, kalo gak mau menyesal kaya saya. Perkataan Arvee terus terngiang dipikiran Deva. Pria itu kini duduk menghadap Alya yang tengah tertidur pulas. Wajahnya begitu tenang. "Saya gak bisa meramal masa depan. Saya gak tahu apa yang akan menanti kita, Alya. Tapi saya janji, selama saya masih ada di bumi ini, saya gak akan biarin kamu pergi." "Saya rasa ... saya mulai takut kehilangan kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN