Deadline - 13

1736 Kata
Alya dan Deva duduk di ruang tamu sambil membalut tubuh mereka dengan selimut. Keduanya sama-sama meminum teh hangat buatan Bi Ina. "Lagian, kok malam-malam malah berenang, sih?" tanya Bi Ina, tentu dengan omelannya. "Nanti kalo sakit gimana, toh? Bibi, mah, gak mau rawat." "Alya kuat, Bi. Dia gak akan sakit walaupun berenang di laut utara," kata Deva. Alya mencubit lengan Deva, membuat pria itu memekik kesakitan. Keduanya justru saling membalas cubitan satu sama lain. Bi Ina yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Wanita paru baya itu nemilih kembali ke kamarnya. Melihat yang sedang kasmaran, membuatnya harus pergi, tak mau mengganggu. Belum selesai perang cubit antara Alya dan Deva, keduanya justru saling tertawa. Baju basah mereka bahkan terabaikan. "Pak Deva bisa ngeselin juga, ya?" Deva tersenyum simpul. "Saya orangnya menyenangkan. Kamu aja yang suudzon duluan." "Tapi Pak Deva itu nyebelin pas ngasih deadline. Pak Deva, tuh, kejam. Gak tahu apa, otak saya ini dibawah rata-rata? Jadinya gak bisa disuruh mikir keras sesingkat itu." "Jadi, itu alasan kamu kenapa selalu gak terima deadline saya?" "Iya!" Deva menyilangkan tangannya. "Sebenarnya, saya kasih deadline singkat itu ada alasannya, Alya. Saya mau mengajarkan kalian caranya menghargai waktu. Tahu sendiri, mahasiswa jaman sekarang kalo ngerjain tugas pasti pas mepet deadline. Itu kurang menghargai waktu." Alya manggut-manggut. Ia setuju juga dengan alasan Deva. Tapi tetap saja ... ia tidak suka deadline kilat. "Susah, deh, kalo ngomong sama yang otak berlian. Apalah daya otak kentang kaya saya." "Kamu pintar, Alya," kata Deva dengan wajah serius. Alya yang dipuji tentu saja senang. "Pintar ngasalnya." Senyum di wajah Alya langsung menghilang. Ia kembali memukuli Deva dengan wajah sebal. Kenapa Deva senang sekali menggodanya? Deva menahan tangan Alya yang hendak memukul perutnya. Tatapan keduanya terkunci. Kini Deva mendorong Alya membuat posisi mereka berbalik dengan Deva di atasnya. Deva mulai mendekati wajah Alya. Jantung Alya berdebar hebat. Bibir Deva mendarat sempurna di bibir tipis Alya. Sebuah lumatan yang mampu membuat Alya luluh dan tak berdaya. Keduanya sama-sama terbuai oleh suasana. Hingga beberapa detik kemudian, ciuman itu berakhir. Deva menggendong Alya ala bridal style. Pria itu membawanya ke kamar. Deva menghempaskan tubuh Alya ke tempat tidur lalu melanjutkan ciuman mereka. Awalnya Alya tidak melakukan apapun selain menerima perlakuan Deva, namun tangannya mulai terulur dan mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. Napas keduanya memburu begitu cepat. Kini tangan Alya menyentuh kancing piama Deva, wajahnya begitu ragu. Manik matanya terfokus pada kancing piama itu, namun tangannya tidak bergerak sama sekali. Deva menyadari ekspresi yang ditunjukkan istrinya. "Lepaskan saja, Alya," katanya dengan suara serak. Alya mulai membuka kancing baju teratas milik Deva, namun di kancing kedua, Alya berhenti melakukannya. Deva mengernyitkan dahi. Alya memalingkan wajahnya yang memerah. Lucu sekali. Deva jadi gemas. Ia mengecup telinga Alya yang merah. Gadis itu tetap tidak bergeming. Deva mengecupnya lagi. Ia menarik wajah Alya agar menatapnya. "Kenapa?" Jujur saja, Alya gugup. Oke, mungkin Alya dan Deva pernah melakukannya di hotel waktu itu. Tapi itu saat Alya tidak dalam keadaan sadar. Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi. Ia tidak tahu ... apa yang harus ia lakukan, dan rasa sakit yang kemarin ia rasakan seolah mengguncang hatinya. Ia ... agak takut. "Saya ..." Alya menelan salivanya. Deva mendekati telinga Alya. Gadis itu bisa merasakan embusan napas Deva yang hangat menyentuh bagian telinganya. "Jangan takut ... we'll do it together." Belum sempat Alya bicara, Deva sudah membungkamnya dengan ciuman lagi. *** Sinar matahari membuatnya mengerjapkan matanya. Alya menggunakan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya yang menyilaukan. Ia menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Seketika matanya membulat. "Mampus, gue telat!" Alya langsung berlari menuju kamar mandi. Ia mengabaikan rasa sakit di daerah selangkangannya. Alya menyisir rambutnya asal. Ia berlari melewati Bi Ina yang baru saja akan memberikan roti lapis pada Alya. "Non, sarapan dulu!" "Gak sempat, Bi," teriak Alya. Alya terus melirik ke arah jam tangannya. Sudah telat setengah jam ia terlambat di jam pertama. Alya merutuki dirinya sendiri. Tentu saja tak lupa memaki Deva. Dasar nyebelin. Bangunin gue apa susahnya, sih? Alya sampai di ambang pintu dengan napas ngos-ngosan. "Pagi, Pak. Maaf saya telat." Seseorang kini berdiri di hadapannya. Mau tak mau Alya mendongak. Wajah asing yang tak pernah Alya lihat sebelumnya. Pria yang kini menatapnya sambil menyunggingkan senyum. "Karena saya dosen baru, jadi saya maafkan. Jangan ulangi lagi," katanya, ramah. "Iya, Pak. Maaf, ya." Dosen baru itu mengangguk, lalu mempersilakan Alya duduk di tempatnya. Alya menghela napas lega. Untung saja ia masih selamat. Ia harus buat perhitungan dengan pria menyebalkan itu. "Hebat, Al. Rekor telat lo yang biasa cuma 5-10 menit, sekarang meningkat jadi setengah jam. Lo tidur apa mati?" tanya Silvy heran. Alya menggaruk alisnya. "Ck, orang rumah emang gak ada yang mau bangunin gue." "Padahal Pak Deva udah datang dari jam setengah tujuh." Masa bodo lah. Deva memang tidak pernah mau membangunkannya. Padahal hanya membangunkan saja. Kan, tidak sulit. Menyebalkan sekali. "Baik. Karena tadi ada teman kalian yang baru datang, biar saya perkenalkan diri saya kembali. Saya Aron Geraldi. Panggil saya Aron. Saya dosen baru di sini. Mohon bantuannya, Alya." Alya menoleh kebingungan. "Pak Aron tahu nama saya?" Aron mengangkat buku absennya. "Cuma nama kamu yang belum diabsen." Alya membulatkan mulutnya, lalu mengangguk. Ia kira, Aron itu semacam cenayang yang bisa menebak nama. Selama kelas, pikiran Alya tidak fokus. Ia terus membayangkan kejadian semalam. Meskipun untuk yang kedua kalinya, tapi itu yang pertama dalam keadaan sadar. Pipi Alya sampai terasa panas. Ia tak bisa menahan senyumnya. Jadi begini rasanya pengantin baru? "Kamu mikirin apa, Alya?" Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia mendongak medapati Aron yang berdiri di sampingnya. "Eh, enggak, Pak." "Kalau di kelas saya jangan melamun. Saya gak tanggung jawab kalau ada demit yang genit sama kamu." Alya terkekeh. "Mereka takut sama saya, Pak." "Iya, lah, Pak. Siapa juga yang mau dekatin dia. Setan aja gak berani. Alya galak." Satu kelas tertawa mendengarnya. Alya hanya bisa menahan malu karena ucapan Silvy. "Ya sudah, untuk hari ini kita akhiri saja, dan untuk kelas besok, saya mau semua datang ke perpustakaan. Kita akan melakukan bedah buku dan diskusi. Paham?" "Paham, Pak." Alya merapikan buku-bukunya yang ada di atas meja. Salah satu temannya menghampiri Alya sambil membawa sebuah map cokelat. "Al, ini rekap absen bulan ini. Nanti tolong kasih Pak Deva, ya." "Hmm, taruh aja. Nanti gue kasih." Silvy menarik lengan Alya untuk mengajaknya ke kantin, namun Alya menolaknya karena harus mengantarkan map cokelat milik Deva. "Yaelah, Al. Pak Deva bisa nanti. Perut itu nomor satu." "Gini, deh. Lo antar gue ke Pak Deva. Nanti kita langsung ke kantin." "Ya udah, deh. Terserah lo aja, lah." Keduanya pergi menuju kantor Deva untuk memberikan map cokelat itu. Ketika mereka sampai di ambang pintu, keduanya berhenti saat melihat Deva dan Reyna yang tengah tertawa sambil mengobrol asik. Tidak ada wajah datar Deva yang selalu ditunjukkannya di dalam kelas. Alya menyipitkan matanya. Ia mengetuk pintu agak keras. Deva dan Reyna sama-sama menoleh. "Permisi, Pak. Maaf menggangu. Saya mau antar rekapan absen bulan ini," kata Alya dengan nada yang sedikit ketus. "Iya, taruh aja di atas meja saya." Cih, datar banget ngomong sama gue. Alya menaruh map cokelat itu lalu bersiap pergi. Langkah Alya dan Silvy terhenti saat berpapasan dengan Aron. "Eh, Alya?" Alya tersenyum. "Eh, Pak Aron." "Eh, Pak Ganteng," susul Silvy dengan nada yang sok manis, membuat Alya jijik. "Kalian gak ke kantin?" "Kita lagi mau ke kantin, kok, Pak." Deva menatap ketiganya yang tengah mengobrol riang di luar ruangan. Meskipun agak jauh, tapi Deva masih bisa mendengar percakapan mereka. "Pak Aron mau bareng kita ke kantin?" tawar Silvy. "Boleh." "Ayo, Pak. Perut saya udah lapar. Soalnya tadi pagi gak sempat sarapan karena telat. Biasa, lah, Pak. Orang rumah suka gak tahu diri, gak pernah mau bangunin saya." Alya sengaja mengeraskan suaranya agar didengar jelas oleh Deva. Tentu saja didengar. Tanpa berteriak pun, Deva masih bisa mendengarnya. "Kalo kamu tinggal di rumah saya, kamu pasti bangun pagi terus. Soalnya Kakak saya punya bayi, suka nangis subuh-subuh. Alarm alami." Ketiganya tertawa. Deva memukul mejanya. Tidak terlalu keras, tapi mampu membuat Reyna terkejut. Alya tersenyum senang melihat wajah masam Deva. Ia berteriak dalam hati. Janganlah engkau melawan seoarang Alya, wahai Pakde. Deva bangkir dari duduknya. Ia mengambil map cokelat yang dibawakan Alya tadi, lalu berjalan menghampiri ketiganya. "Alya, ikut saya. Ada yang harus saya diskusikan mengenai rekapan absen bulan ini." Alasan. Bilang aja mau berkoar-koar. "Baik, Pak." Alya pamit tidak ikut ke kantin pada Silvy dan Aron. Ia lantas berlari kecil menyusul Deva yang sudah berjalan jauh dengan langkah cepat. Keduanya berhenti di ruang jurnalistik yang memang kebetulan sepi. Deva menarik tangan Alya dan menutup pintu. Ia mendorong Alya ke tembok. Tangan kanannya di tahan oleh Deva sedangkan tangan kirinya menahan tubuh Deva yang terlalu dekat dengannya. Jantung Alya berdebar cepat. "Apa, sih, Pak? Katanya mau bahas soal absen?" Deva menyipitkan matanya menatap wajah Alya dalam pencahayaan yang agak remang karena hanya lampu bagian kanan yang dinyalakan. "Sejak kapan kamu dekat Pak Aron?" Alya terkekeh. "Pak Deva cemburu?" "Saya tanya, sejak kapan dekat Pak Aron?" "Eng," Alya mengusap dagunya seraya berpikir, "Sejak tiga jam lalu." "Saya gak suka." Alya menaikkan sebelah alisnya. "Saya juga gak suka, Pak Deva ketawa sama Kak Reyna segitu senangnya. Ketawa sama saya aja bisa dihitung jari." "Saya sama Reyna hanya sebatas teman." "Ya, saya sama Pak Aron juga sebatas mahasiswa dan dosen," jawab Alya tak mau kalah. Deva menghela napas. Ia melonggarkan cengkramannya pada tangan kanan Alya. "Maaf, Alya," kata Deva dengan suara pelan. Meskipun begitu, Alya masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Kenapa Pak Deva gak bangunin saya? Saya, kan, jadi telat! Kenapa juga gak bolehin Bi Ina bangunin saya? Pak Deva ada dendam tersembunyi, kah?" Deva terkekeh. Ia mencubit pipi Alya gemas, lalu mengusapnya perlahan. Tangannya terulur untuk menyesipkan rambut Alya yang menutupi mata ke belakang telinga. "Maaf juga soal ini. Saya buru-buru tadi pagi karena harus ketemu Dekan. Kalo saya minta Bi Ina bangunin kamu, nanti Bi Ina kaget ngelihat kamu gak pakai baju." Wajah Alya memerah. Ia mencubit perut Deva sebal. Bagaimana bisa Deva mengatakan itu? Tapi ada benarnya juga. Apa jadinya jika Bi Ina datang ke kamar dan melihatnya tidur tanpa sehelai kain? Ah, sungguh memalukan. "Lain kali bangunin saya! Capek tahu lari-lari dari depan kampus ke kelas! Saya juga sampai gak solat subuh," omel Alya. "Iya, maaf. Lain kali saya bangunin kamu. Maaf, ya, istriku." Mendengar Deva mengatakan itu, Alya semakin malu. Wahai pipi chuby milik Alya, tolong jangan semakin merah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN